Jumat, 22 November 2013

Otonomi Energi


Otonomi Energi
Rosari Saleh Guru Besar Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  21 November 2013



Salah satu masalah yang paling besar di dunia saat ini adalah energi atau lebih tepatnya krisis energi. Seluruh bagian dunia ini tidak dapat mengingkari bahwa berbagai persediaan sumber energi alami yang berasal dari fosil (misalnya minyak bumi, batu bara, dan gas) semakin lama semakin menipis karena mereka merupakan sumber energi yang tidak terbarukan (non-renewable fuels). 

Data global juga menunjukkan bahwa ekstraksi sumber energi fosil masih jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan penggunaan sumber energi terbarukan. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah konsumsi minyak bumi dunia saat ini lebih besar dari jumlah penemuan cadangan baru dan 80% dari produksi tersebut datang dari cadangan yang ditemukan sebelum 1973. 

Kondisi ini sudah terjadi sejak 1980-an dan banyak analis memperkirakan bahwa manusia telah menemukan sekitar 90% cadangan minyak bumi yang ada (Ngo & Janowitz, 2009). Sudah barang tentu sesuai hukum ekonomi, kelangkaan akan mendorong harga naik dan untuk kasus minyak bumi seringkali kelangkaan tersebut bersifat ekstrem terkait beberapa event di dunia yang mengancam pasokan minyak bumi atau mendorong kenaikan jumlah konsumsi. 

Harga minyak bumi yang sangat volatil memberikan pengaruh yang besar pada perekonomian dunia dan Indonesia. Kenaikan harga akan memukul perekonomian negara seperti Indonesia yang sudah menjadi net-importer karena kenaikan pendapatan tidak seberapa dibandingkan kenaikan pengeluaran untuk konsumsi BBM serta subsidi. 

Tantangan Indonesia 

Masalah ketersediaan cadangan bahan bakar fosil ini tidak hanya pada minyak bumi. Sumber lain seperti batu bara dan gas bumi juga mengalami masalah yang sama walaupun tidak sesignifikan minyak bumi. Jika pada 2013 ini Indonesia sudah mengalami defisit neraca perdagangan yang akhirnya melemahkan rupiah yang salah satu pos terbesarnya adalah impor minyak bumi, ketika 20 tahun lagi minyak bumi Indonesia habis—tanpa ada penemuan cadangan baru—sektor keuangan Indonesia akan mendapatkan pukulan telak serta akan merembet pada sektor-sektor lain. 

Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar baik bagi kalangan akademisi, praktisi energi, pemerintah, maupun masyarakat umum. Dari kekhawatiran tersebut lahirlah Perpres 5/2006 tentang Energi Mix Nasional sebagai salah satu visi untuk menyelesaikan masalah ini. Disusul dengan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang merupakan langkah pemerintah untuk menyelesaikan masalah ketergantungan pada bahan bakar fosil ini. 

Selain itu juga hadir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi. Walaupun sudah ditopang berbagai aturan hukum, jika kita berkaca pada data, akan ditemukan bahwa kondisi sepuluh tahun terakhir secara umum tidak menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung memburuk dengansangat cepat. 

Pada 2012saja rata-rata terjadi defisit 647.000 barel per hari karena Indonesia hanya mencapai lifting minyak sebanyak rata-rata 918.000 barel per hari sementara rata-rata konsumsi mencapai 1.556.000 barel per hari (BP Statistical Review of World Energy, 2013). 

Opsi Energi Terbarukan 

Indonesia merupakan negara yang diberkahi dengan semua potensi energi terbarukan. Bukan hal yang sulit jika memang pemerintah mau untuk serius melakukan diversifikasi, bukan hanya niat di atas kertas. Semua jenis energi terbarukan tersedia dalam jumlah yang melimpah seperti tenaga air, panas bumi, biomass, tenaga matahari, dan tenaga angin. Namun, pemanfaatannya masih sangat rendah. 

Semua jenis energi terbarukan itu sangat menguntungkan untuk dimanfaatkan. Namun, ada satu sumber energi terbarukan yang akan memberikan keuntungan baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan yang lebih besar dibanding sumbersumber energi terbarukan lain yaitu tenaga matahari. Secara teoritis, energi yang berasal dari sinar matahari yang mencapai bumi dalam waktu satu jam saja, sudah cukup untuk memenuhi konsumsi energi dalam kurun waktu satu tahun. 

Tidak mengherankan jika para ilmuwan berpandangan bahwa matahari satu-satunya calon potensial yang dapat sepenuhnya menjawab tuntutan kebutuhan dunia dalam menghadapi krisis energi. Teknologi pemanfaatan tenaga matahari melalui solar cell sudah meningkat pesat. Saat ini kita sudah mengenal tiga generasi solar cell dan sudah akan mulai mengembangkan generasi keempat. 

Pada 1954, ketika para peneliti di Bell Labs menemukan sel berbasis silikon kristal, muncullah titik terang untuk melakukan komersialisasi solar cell yang pertama, efisiensinya masih sangat rendah yakni 4%. Namun, di solar cell generasi ketiga tingkat efisiensinya sudah ada yang melebihi 40% walaupun untuk skala komersial paling banyak di kisaran 20-30%. Tren kenaikan penggunaan solar cell di dunia menjadi bukti yang tak terbantahkan. 

Beberapa negara sudah melihatnya sebagai opsi jangka panjang terbaik untuk melepaskan diri dari ketergantungan dari bahan bakar fosil. Jika mengamati data pertumbuhan kapasitas terpasang lima besar negara pengguna, akan terlihat perkembangan yang sangat tinggi dari penggunaan solar cell. Jerman, Italia, China, AS, dan Jepang menjadi pemimpin dalam penggunaan tenaga matahari sebagai sumber energi. 

Satu hal yang sangat menarik dari lima besar ini adalah pemanfaatan tenaga matahari bukan hanya didominasi oleh negara-negara yang relatif miskin sumber daya bahan bakar fosil seperti negara-negara Eropa dan Jepang, melainkan juga oleh negara yang kaya bahan bakar fosil seperti China dan AS. Setelah sebelumnya sempat mengalami stagnasi pada periode 1995 hingga awal 2000 pemakaian tenaga matahari sebagai sumber energi listrik di Jerman melaju sangat cepat. 

Jika pada 2001 kapasitas PLTS terpasang hanya 186 MW, pada akhir 2012—hanya dalam 11 tahun—kapasitas itu naik 175 kali lipat menjadi 32.643 MW. Tenaga matahari menyumbangkan listrik 28 TWH dari total 617,6 TWH listrik yang dihasilkan di Jerman pada 2012 yang berarti 4,53% dari produksi di Jerman. Padahal pada 2001 listrik yang dihasilkan hanya 0,1 TWH yang berarti hanya 0,017% dari produksi listrik Jerman pada tahun tersebut. 

Bukan hanya pada skala negara, bahkan tercatat beberapa perusahaan raksasa minyak bumi yang menginvestasikan uangnya di industri solar cell seperti Total, Chevron, Shell, British Petroleum, dan bahkan Saudi Aramco—perusahaan minyak bumi terbesar di dunia— mulai meliriknya. Perusahaan- perusahaan raksasa minyak ini sadar bahwa bisnis harus tetap berjalan, bahkan saat minyak habis nanti. Alangkah baiknya jika perusahaan minyak nasional kita Pertamina bisa mempelajari langkah ini agar bisa menjadi pemain besar dalam bisnis energi dunia. 

Langkah Indonesia 

Tanggal 12 Juni tahun ini salah satu momen yang menggembirakan bagi kemajuan pemanfaatan sel surya di Indonesia. Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik. 

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota kapasitas PLTS Fotovoltaik dan kepada pemenang lelang seluruh hasil produksi listriknya akan dibeli seharga USD25 sen per KWH. Harga itu bahkan bisa naik ke harga tertinggi sebesar USD30 sen per KWH jika menggunakan modul fotovoltaik dengan tingkat kandungan komponen dalam negeri minimal 40%. 

Dalam aturan itu disebutkan kontrak pembelian berlaku selama 20 tahun dan bisa diperpanjang. Tahun ini saja pemerintah melelang total 140 MWp untuk 80 lokasi di seluruh Indonesia dengan variasi kapasitas PLTS 1-8 MWp. Langkah lelang pembangunan PLTS dan jaminan pembelian oleh PLN ini bisa menjadi fondasi awal untuk mem-bangun sistem feed-in tariff untuk menjadi jaminan baik bagi calon pengguna individual ataupun korporasi yang ingin mengembangkan PLTS di Indonesia dalam posisinya sebagai independent power producer. 

Sistem feedin tariff yang jelas dan tawaran harga pembelian yang menarik di berbagai belahan dunia seperti Jerman, AS, Kanada, Jepang, dan berbagai negara lainnya terbukti menjadi insentif yang menarik dan mendorong perkembangan PLTS. Jika langkah awal ini dikembangkan dengan sepenuh hati, akan membawa hasil yang manis. Kita bisa berkaca pada kesuksesan sistem feed-in tariff di Jepang dalam mendorong penggunaan energi terbarukan, khususnya solar cell. 

Setelah kejadian ledakan beberapa reaktor nuklir Fukushima Daiichi, Jepang yang tadinya sangat menggantungkan sumber energinya pada nuklir harus mengubah arah. Jepang menelurkan kebijakan feed-in tariff untuk energi terbarukan pada 1 Juli 2012 dengan tawaran yang sangat menarik yaitu 42 yen (sekitar Rp4.500) per kWh listrik yang masuk ke dalam jaringan PLN-nya Jepang. 

Program ini mendorong berbagai perusahaan serta pelanggan listrik rumah tangga untuk menginstalasi solar panel. Secara instan kapasitas PLTS terpasang di Jepang naik 40,7% dari 4.914 MW pada 2011 menjadi 6.914 MW pada 2012 dan menjadikan Jepang sebagai tempat bagi 6,9% PLTS terpasang di dunia pada 2012. 

Jepang juga menargetkan pada 2020, 20% dari energi mix-nya berasal dari energi terbarukan. Saat ini angkanya baru 10%. Pengalaman itu bisa kita tiru dan sesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Pindah ke energi terbarukan bukan lagi hanya mengedepankan pertimbangan alam saja karena berbagai studi sudah membuktikan bahwa energi terbarukan sudah cukup kompetitif dan yang terpenting bisa memberikan kepastian karena tidak terikat sistem harga yang sangat volatil. 

Pilihan terhadap energi terbarukan memberikan keleluasaan pada pemerintah maupun industri untuk mengeset target pertumbuhannya tanpa harus was-was setiap saat memperhatikan harga minyak, dunia, gas bumi, dan batu bara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar