Salah satu masalah yang paling besar di
dunia saat ini adalah energi atau lebih tepatnya krisis energi. Seluruh
bagian dunia ini tidak dapat mengingkari bahwa berbagai persediaan sumber
energi alami yang berasal dari fosil (misalnya minyak bumi, batu bara, dan
gas) semakin lama semakin menipis karena mereka merupakan sumber energi
yang tidak terbarukan (non-renewable fuels).
Data global juga menunjukkan bahwa ekstraksi sumber energi fosil masih jauh
lebih tinggi daripada pertumbuhan penggunaan sumber energi terbarukan. Hal
yang sangat mengkhawatirkan adalah konsumsi minyak bumi dunia saat ini
lebih besar dari jumlah penemuan cadangan baru dan 80% dari produksi
tersebut datang dari cadangan yang ditemukan sebelum 1973.
Kondisi ini sudah terjadi sejak 1980-an dan banyak analis memperkirakan
bahwa manusia telah menemukan sekitar 90% cadangan minyak bumi yang ada
(Ngo & Janowitz, 2009). Sudah barang tentu sesuai hukum ekonomi,
kelangkaan akan mendorong harga naik dan untuk kasus minyak bumi seringkali
kelangkaan tersebut bersifat ekstrem terkait beberapa event di dunia yang
mengancam pasokan minyak bumi atau mendorong kenaikan jumlah konsumsi.
Harga minyak bumi yang sangat volatil memberikan pengaruh yang besar pada
perekonomian dunia dan Indonesia. Kenaikan harga akan memukul perekonomian
negara seperti Indonesia yang sudah menjadi net-importer karena kenaikan
pendapatan tidak seberapa dibandingkan kenaikan pengeluaran untuk konsumsi
BBM serta subsidi.
Tantangan Indonesia
Masalah ketersediaan cadangan bahan bakar fosil ini tidak hanya pada minyak
bumi. Sumber lain seperti batu bara dan gas bumi juga mengalami masalah
yang sama walaupun tidak sesignifikan minyak bumi. Jika pada 2013 ini
Indonesia sudah mengalami defisit neraca perdagangan yang akhirnya melemahkan
rupiah yang salah satu pos terbesarnya adalah impor minyak bumi, ketika 20
tahun lagi minyak bumi Indonesia habis—tanpa ada penemuan cadangan
baru—sektor keuangan Indonesia akan mendapatkan pukulan telak serta akan
merembet pada sektor-sektor lain.
Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar baik bagi kalangan
akademisi, praktisi energi, pemerintah, maupun masyarakat umum. Dari
kekhawatiran tersebut lahirlah Perpres 5/2006 tentang Energi Mix Nasional
sebagai salah satu visi untuk menyelesaikan masalah ini. Disusul dengan
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang merupakan langkah
pemerintah untuk menyelesaikan masalah ketergantungan pada bahan bakar
fosil ini.
Selain itu juga hadir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Konservasi Energi. Walaupun sudah ditopang berbagai aturan hukum, jika kita
berkaca pada data, akan ditemukan bahwa kondisi sepuluh tahun terakhir
secara umum tidak menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung memburuk
dengansangat cepat.
Pada 2012saja rata-rata terjadi defisit 647.000 barel per hari karena
Indonesia hanya mencapai lifting minyak sebanyak rata-rata 918.000 barel
per hari sementara rata-rata konsumsi mencapai 1.556.000 barel per hari (BP
Statistical Review of World Energy, 2013).
Opsi Energi
Terbarukan
Indonesia merupakan negara yang diberkahi dengan semua potensi energi
terbarukan. Bukan hal yang sulit jika memang pemerintah mau untuk serius
melakukan diversifikasi, bukan hanya niat di atas kertas. Semua jenis
energi terbarukan tersedia dalam jumlah yang melimpah seperti tenaga air,
panas bumi, biomass, tenaga matahari, dan tenaga angin. Namun,
pemanfaatannya masih sangat rendah.
Semua jenis energi terbarukan itu sangat menguntungkan untuk dimanfaatkan.
Namun, ada satu sumber energi terbarukan yang akan memberikan keuntungan
baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan yang lebih besar dibanding
sumbersumber energi terbarukan lain yaitu tenaga matahari. Secara teoritis,
energi yang berasal dari sinar matahari yang mencapai bumi dalam waktu satu
jam saja, sudah cukup untuk memenuhi konsumsi energi dalam kurun waktu satu
tahun.
Tidak mengherankan jika para ilmuwan berpandangan bahwa matahari
satu-satunya calon potensial yang dapat sepenuhnya menjawab tuntutan
kebutuhan dunia dalam menghadapi krisis energi. Teknologi pemanfaatan
tenaga matahari melalui solar cell sudah meningkat pesat. Saat ini kita
sudah mengenal tiga generasi solar cell dan sudah akan mulai mengembangkan
generasi keempat.
Pada 1954, ketika para peneliti di Bell Labs menemukan sel berbasis silikon
kristal, muncullah titik terang untuk melakukan komersialisasi solar cell
yang pertama, efisiensinya masih sangat rendah yakni 4%. Namun, di solar
cell generasi ketiga tingkat efisiensinya sudah ada yang melebihi 40%
walaupun untuk skala komersial paling banyak di kisaran 20-30%. Tren
kenaikan penggunaan solar cell di dunia menjadi bukti yang tak
terbantahkan.
Beberapa negara sudah melihatnya sebagai opsi jangka panjang terbaik untuk
melepaskan diri dari ketergantungan dari bahan bakar fosil. Jika mengamati
data pertumbuhan kapasitas terpasang lima besar negara pengguna, akan
terlihat perkembangan yang sangat tinggi dari penggunaan solar cell.
Jerman, Italia, China, AS, dan Jepang menjadi pemimpin dalam penggunaan
tenaga matahari sebagai sumber energi.
Satu hal yang sangat menarik dari lima besar ini adalah pemanfaatan tenaga
matahari bukan hanya didominasi oleh negara-negara yang relatif miskin
sumber daya bahan bakar fosil seperti negara-negara Eropa dan Jepang,
melainkan juga oleh negara yang kaya bahan bakar fosil seperti China dan
AS. Setelah sebelumnya sempat mengalami stagnasi pada periode 1995 hingga
awal 2000 pemakaian tenaga matahari sebagai sumber energi listrik di Jerman
melaju sangat cepat.
Jika pada 2001 kapasitas PLTS terpasang hanya 186 MW, pada akhir 2012—hanya
dalam 11 tahun—kapasitas itu naik 175 kali lipat menjadi 32.643 MW. Tenaga
matahari menyumbangkan listrik 28 TWH dari total 617,6 TWH listrik yang
dihasilkan di Jerman pada 2012 yang berarti 4,53% dari produksi di Jerman.
Padahal pada 2001 listrik yang dihasilkan hanya 0,1 TWH yang berarti hanya
0,017% dari produksi listrik Jerman pada tahun tersebut.
Bukan hanya pada skala negara, bahkan tercatat beberapa perusahaan raksasa
minyak bumi yang menginvestasikan uangnya di industri solar cell seperti
Total, Chevron, Shell, British Petroleum, dan bahkan Saudi
Aramco—perusahaan minyak bumi terbesar di dunia— mulai meliriknya.
Perusahaan- perusahaan raksasa minyak ini sadar bahwa bisnis harus tetap
berjalan, bahkan saat minyak habis nanti. Alangkah baiknya jika perusahaan
minyak nasional kita Pertamina bisa mempelajari langkah ini agar bisa
menjadi pemain besar dalam bisnis energi dunia.
Langkah Indonesia
Tanggal 12 Juni tahun ini salah satu momen yang menggembirakan bagi
kemajuan pemanfaatan sel surya di Indonesia. Menteri ESDM Jero Wacik
menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota
kapasitas PLTS Fotovoltaik dan kepada pemenang lelang seluruh hasil
produksi listriknya akan dibeli seharga USD25 sen per KWH. Harga itu bahkan
bisa naik ke harga tertinggi sebesar USD30 sen per KWH jika menggunakan
modul fotovoltaik dengan tingkat kandungan komponen dalam negeri minimal
40%.
Dalam aturan itu disebutkan kontrak pembelian berlaku selama 20 tahun dan
bisa diperpanjang. Tahun ini saja pemerintah melelang total 140 MWp untuk
80 lokasi di seluruh Indonesia dengan variasi kapasitas PLTS 1-8 MWp.
Langkah lelang pembangunan PLTS dan jaminan pembelian oleh PLN ini bisa
menjadi fondasi awal untuk mem-bangun sistem feed-in tariff untuk menjadi
jaminan baik bagi calon pengguna individual ataupun korporasi yang ingin
mengembangkan PLTS di Indonesia dalam posisinya sebagai independent power
producer.
Sistem feedin tariff yang jelas dan tawaran harga pembelian yang menarik di
berbagai belahan dunia seperti Jerman, AS, Kanada, Jepang, dan berbagai
negara lainnya terbukti menjadi insentif yang menarik dan mendorong
perkembangan PLTS. Jika langkah awal ini dikembangkan dengan sepenuh hati,
akan membawa hasil yang manis. Kita bisa berkaca pada kesuksesan sistem feed-in
tariff di Jepang dalam mendorong penggunaan energi terbarukan, khususnya
solar cell.
Setelah kejadian ledakan beberapa reaktor nuklir Fukushima Daiichi, Jepang
yang tadinya sangat menggantungkan sumber energinya pada nuklir harus
mengubah arah. Jepang menelurkan kebijakan feed-in tariff untuk energi
terbarukan pada 1 Juli 2012 dengan tawaran yang sangat menarik yaitu 42 yen
(sekitar Rp4.500) per kWh listrik yang masuk ke dalam jaringan PLN-nya
Jepang.
Program ini mendorong berbagai perusahaan serta pelanggan listrik rumah
tangga untuk menginstalasi solar panel. Secara instan kapasitas PLTS
terpasang di Jepang naik 40,7% dari 4.914 MW pada 2011 menjadi 6.914 MW
pada 2012 dan menjadikan Jepang sebagai tempat bagi 6,9% PLTS terpasang di
dunia pada 2012.
Jepang juga menargetkan pada 2020, 20% dari energi mix-nya berasal dari
energi terbarukan. Saat ini angkanya baru 10%. Pengalaman itu bisa kita
tiru dan sesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Pindah ke energi
terbarukan bukan lagi hanya mengedepankan pertimbangan alam saja karena
berbagai studi sudah membuktikan bahwa energi terbarukan sudah cukup
kompetitif dan yang terpenting bisa memberikan kepastian karena tidak
terikat sistem harga yang sangat volatil.
Pilihan terhadap energi terbarukan memberikan keleluasaan pada pemerintah
maupun industri untuk mengeset target pertumbuhannya tanpa harus was-was
setiap saat memperhatikan harga minyak, dunia, gas bumi, dan batu bara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar