|
Di banyak media belakangan ini, kita menyaksikan keluhan
Presiden Yudhoyono yang berbuntut beragam komentar dari masyarakat.
Reaksi yang muncul konon sebagai respons keras presiden
terhadap pernyataan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan
Ishaaq di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terkait dugaan kedekatan presiden
dengan Bunda Putri yang diduga sebagai calo yang mengatur proyek pemerintah.
Presiden juga mengeluhkan Anas Urbaningrum dan ormas
Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang dibentuk Anas, serta menuduh Anas hendak
menghancurkan dirinya dan Partai Demokrat yang dipimpinnya.
Soal keluhan, beberapa tahun lalu, atas permintaan seorang
teman, saya terlibat dalam audit sosial perusahaan. Satu hal yang mendapat
perhatian, di antara berpuluh aspek yang hendak diperiksa adalah complaint
procedure atau prosedur penanganan keluhan.
Secara teori, selain prosedur penanganan keluhan dari
pelanggan (eksternal), dalam perusahaan sangat penting memastikan adanya
penanganan keluhan karyawan (datang dari internal).
Keluhan yang datang dari karyawan umumnya berupa perasaan
ketidakpuasan atau ketidakadilan pribadi karyawan yang berkaitan dengan
kerjanya. Sebuah perusahaan atau organisasi tidak boleh mengabaikan keluhan
karyawan atau anggotanya.
Itu mengapa prosedur keluhan disusun sebagai suatu proses
yang sistematis formal yang memungkinkan karyawan untuk mengungkapkan keluhan
tanpa membahayakan pekerjaan mereka. Pada saat bersamaan, manajemen perlu
memastikan adanya “pengecekan dan penyeimbangan” (checks-and-balances).
Pengaturan ini memastikan keakuratan keluhan, menjamin
transparansi, mencegah dominasi, dan menjaga proses yang adil. Tujuannya untuk
membantu manajemen mencari penyebab dan solusi untuk keluhan.
Di mana letak keluhan para pemimpin perusahaan? Pada saat
bersamaan, perusahaan juga memiliki mekanisme kontrol internal sebagai penjaga
dari adanya tindak penipuan dan kesalahan karena kelalaian yang bisa merugikan
atau mengancam bubarnya perusahaan.
Dalam sistem dengan checks-and-balances,
kewenangan untuk membuat keputusan, dan tanggung jawab terkait untuk
memverifikasi pelaksanaan yang tepat, didistribusikan di antara departemen/unit
yang berbeda. Prinsipnya tidak ada satu unit yang dapat menyelesaikan transaksi
semua sendiri.
Sebagai contoh, departemen pembelian pesanan bahan baku dan
penjualan barang/jasa, menerima dan membandingkan pesanan pembelian
masing-masing; departemen jaminan kualitas memeriksa dan memverifikasi
kualitasnya; departemen akuntansi memverifikasi jumlah faktur, dan keuangan
melakukan pembayaran untuk pembelian.
Proses ini menekankan saling ketergantungan dan menciptakan
rekam data atau dokumen yang dapat diaudit. Tujuannya agar tidak ada
“kekuasaan” yang absolut berada hanya di satu posisi, termasuk pemimpin
perusahaan. Dengan kata lain, tidak ada dominasi di satu pemegang kekuasaan;
tidak ada yang boleh berbuat semaunya sendiri dengan kekuasaan yang
dimilikinya.
Di masyarakat global, sistem hukum ketenagakerjaan
diharuskan memastikan adanya pengakuan terhadap ruang penyampaian keluhan dan
penanganannya.
Kita tahu para pemilik perusahaan, misalnya, tunduk
terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang salah satunya menjamin adanya
penyampaian keluhan atau aspirasi kepada lembaga negara seperti presiden
(langsung atau melalui kementerian terkait), Dewan Perwakilan Rakyat
(legislatif), dan mekanisme peradilan (yudikatif).
Filosofinya, dalam industri sekalipun, negara harus
memastikan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial (yang menjadi tujuan
bernegara) terwujud.
Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machtstaat), melainkan
negara hukum (rechtstaat). Sebagai konsekuensi perubahan UUD, prinsip
kedaulatan rakyat dibagi secara horizontal dengan memisahkannya (separation of power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan
saling mengendalikan, berdasarkan prinsip check
and balances.
Kekuasaan negara mesti diatur, dibatasi bahkan dikontrol,
sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara dapat
dicegah dan diatasi.
Selain lewat norma hukum, yang tidak kalah penting adalah
diperlukannya norma etika-moral guna mengatur, mengendalikan, dan mendorong
dinamika kehidupan yang bermartabat, misalnya bagaimana seorang pemimpin bisa
menempatkan posisinya sebagai pemimpin negara, “individu”, atau “pemimpin
partai politik”.
Dari kecil orang tua mendidik saya bahwa sikap pemimpin
bukanlah mengeluh, tetapi nyata melayani rakyat. Didikan ini terus saya yakini.
Bagi saya, sebagai presiden, Pak Yudhoyono semestinya
berhenti mengeluh, apalagi soal internal Partai Demokrat. Dalam pemilihan umum
lalu yang menjadi legitimasinya sebagai presiden, rasanya tak ada etika-moral
yang menempatkannya mendahulukan kepentingan Partai Demokrat dibandingkan
kepentingan rakyat, termasuk perempuan dan anak, yang mesti nyata dilayaninya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar