Sabtu, 23 November 2013

Tayangan Sinetron nan Absurd

Tayangan Sinetron nan Absurd
Th Rosid Ahmad  ;   Mantan Guru SMP 9 Semarang
SUARA MERDEKA,  21 November 2013



“Orang dewasa tahu tindakan itu hanya lakon sinetron, tapi itu sangat berbahaya jika ditiru anak-anak”

Tiga dekade lalu, pemirsa televisi di Tanah Air akrab dengan drama seri ”Losmen”, film cerita ”Aku Cinta Indonesia”, dan ”Keluarga Cemara”. Sajian gambarnya menarik, ceritanya mendidik, dan akting para bintangnya pun tergolong apik. Kini, sajian film nasional pada televisi identik dengan sinetron.

Cerita sinetron kini umumnya seputar kehidupan remaja dengan intrik cinta segi tiga, konflik keluarga, kadang terselip dakwah agama. Banyak sinetron lebih mirip sajian pamer kemewahan, kisah perselingkuhan, dan aksi vulgar lain. Sejujurnya sinetron yang hadir sejak pagi hingga larut malam teramat berisiko bagi pemirsa anak-anak, termasuk di Jateng.

Ingat, sesuatu yang disaksikan berulang kali dan tiap hari, bisa membuat anak berpikir apa yang tersaji itu normal dan benar adanya. Tentu ini sangat memprihatinkan. Data berbicara, sinetron dengan masa tayang terlama, ”Tersanjung”  garapan  Multivision Plus bertahan 7 tahun (10 April 1998-25 Februari 2005) dengan 259 episode dalam 7 musim. Adapun berepisode terbanyak adalah ”Cinta Fitri” garapan MD Entertainment, mencapai 1.002 episode dalam 7 musim dengan masa tayang 4 tahun (2 April  2007-8 Mei 2011).

Sungguh fenomenal. Demi tujuan komersial, cerita sinetron bisa diulur-ulur hingga lebih dari 1.000 episode dengan mengorbankan kualitas dan mengesampingkan segi pendidikan. Semisal ”Tukang Bubur Naik Haji” di RCTI. Dari segi pendidikan sungguh merisaukan. Dari awal hingga memasuki episode ke-875 banyak tersaji perilaku kurang terpuji. Simak saja tingkah H Muhidin, pemeran ketua RW yang mengaku sudah dua kali naik haji.

Di satu sisi harus diakui akting Latief Sitepu (pemeran H Muhidin) lumayan bagus. Pembawaannya jumawa, selalu menyalahkan orang lain, menganggap diri paling benar dan mau menang sendiri membuat pemirsa frustrasi. Rasanya tidak masuk akal dia yang sudah ”dua kali” naik haji, ketua RW pula, tapi begitu arogan dan sikapnya amat menjengkelkan.

Lakon Sinetron

Tokoh antagonis lain adalah Mak Enok (Lenny Charlotte). Wanita setengah baya ini suka pamer kekayaan, dan siap mendamprat siapa pun bila beda sikap. Dengan seenaknya dia lempar-lemparkan dagangan tukang sayur keliling yang cuma bisa melongo tanpa mampu protes. Orang dewasa tahu tindakan itu hanya lakon sinetron, tapi lakon itu sangat berbahaya jika ditiru anak-anak.

Anehnya, sejauh ini tak pernah terdengar masyarakat protes menyangkut peran H Muhidin atau Mak Enok. Saya menduga hal itu lantaran orang pada sibuk pada urusan sendiri hingga tiada waktu mencermati masalah ini. Bisa juga mereka berpikir ah itu kan lakon sinetron, senyatanya Latief Sitepu dan Lenny Charlotte tak sejahat yang ia perankan.

Ya, mungkin benar. Tapi pernahkah terbayang dampak negatif dari tayangan seperti itu? Ingat, bersama pembantu di rumah, anak-anak bisa seharian di depan televisi, dan itu amat riskan. Mereka yang dalam masa pertumbuhan dihadapkan pada hal-hal yang absurd dan menjerumuskan.

Bisa saja mereka lantas berpikir berlaku jahat pada orang lain itu wajar dan bisa dibenarkan hanya karena melihat orang lain berbuat serupa, sebagaimana dalam sinetron.

Serial itu bukan satu-satunya yang cukup merisaukan. Untung, masih tersedia film cerita lain yang bisa dibilang lebih bermutu, sebut saja FTV atau TVM.

Mencermati hal itu, perlu menemukan solusi terbaik melibatkan semua pihak, tokoh masyarakat memberi teladan yang benar dalam ucapan dan tindakan. KPI mesti lebih ketat ”menyensor” sinetron yang akan tayang, dan aparat memberi hukuman menjerakan bagi pelanggar. Semua mesti dilakukan mengingat nasib anak bangsa jadi taruhannya.

Guru di Jateng sudah mengajar dan mendidik dengan benar dan baik. Tapi bila dalam keseharian di rumah anak disuguhi berbagai tayangan destruktif, upaya mendidik sesuai ajaran moral yang benar akan sia-sia. Padahal, berkaca pada beberapa kasus tawur antarpelajar di Jateng, apalagi tindak kriminal lain, yang kena getah pastilah pendidik. Ingat, membimbing anak berbuat kebajikan itu relatif lebih sulit ketimbang mengajak anak berbuat kemudaratan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar