Sabtu, 23 November 2013

Hubungan “Tambal Sulam”

Hubungan “Tambal Sulam”
Anna Yulia Hartati  ;   Peneliti dari Lab Diplomasi, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA,  21 November 2013



’’TIDAK ada harga yang lebih mahal dari sebuah kedaulatan,’’ kata Menlu Marty Natalegawa dalam wawancara dengan MetroTV (18/11/13). Pernyataan itu untuk  kembali menegaskan bahwa kedaulatan adalah segala-galanya bagi negara dan tak bisa ditawar atau diganti apa pun. Apalagi untuk kali ke sekian Australia menyinggung kedaulatan negara kita, selain berkait isu-isu sensitif antarnegara.

Sejumlah dokumen yang dibocorkan whistleblower Edward Snowden, yang berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian, menyebut nama SBY dan 9 orang di lingkaran dalamnya, sebagai target penyadapan Australia. Marty menyesalkan tanggapan Australia lewat media, seolah-olah penyadapan itu hanya insiden dismissive, lumrah dilakukan (antara­news.com, 18/11/13).

Lagi-lagi hubungan kita dengan Negeri Kanguru menegang setelah pasang surut hubungan berkait banyak isu. Reaksi Indonesia saat ini sedikit mengalami kemajuan dengan memanggil pulang Dubes Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, sebagai wujud protes.

Indonesia masih menunggu pemberian klarifikasi, kendati PM Tony Abbot sudah menyatakan penolakannya. Ada pula dokumen yang menyebutkan badan intelijen elektronik Australia, melacak kegiatan SBY melalui telepon genggamnya selama 15 hari pada Agustus 2009, saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi perdana menteri.

Sadap-menyadap informasi sudah ada sejak peradaban manusia. Bahkan pada Perang Dunia I dan II praktik itu lazim dilakukan. Dalam hubungan antarnegara, selain diplomat resmi, negara-negara membentuk badan yang diistilahkan ’’dinas rahasia’’. Mereka khusus mendampingi dan menjaga para diplomat dan kepala negara dalam menjalankan tugas di luar negeri.

Sebaliknya, diplomat yang menjalankan tugas di luar negeri, sekaligus berfungsi sebagai mata-mata (intelijen) bagi negaranya (Ranny Emilia, 2013). Namun Pasal 27 Konvensi Wina mengatur tentang perlindungan/ kemerdekaan berkomunikasi. Apa yang dilakukan oleh Australia melanggar konvensi tersebut.

Setelah Perang Dunia II, secara resmi AS, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris, mengikat perjanjian saling bertukar data intelijen. Namun tak ada perjanjian serupa dengan Indonesia sehingga kita berhak memprotes atau bertindak lain, sebagaimana diatur dalam tata cara hubungan diplomatik. Pasal 9 Konvensi Wina misalnya, menyebut negara berhak mengusir diplomat negara lain (persona non grata).

Krisis Hubungan

Pengungkapan isu penyadapan itu muncul saat hubungan bilateral dua negara tengah meruncing terkait tudingan mata-mata sebelumnya, dan isu mengenai penanganan manusia perahu yang melewati Indonesia menuju Australia. Terlepas dari isu itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh.

Pertama; sejarah hubungan bilateral kedua negara yang ’’tambal sulam’’. Sejak tahun pertama, hubungan politik Australia dengan Indonesia mengalami dilema. Di satu pihak, ada simpati terhadap perjuangan kemerdekaan kita dan keinginan murni memelihara hubungan baik. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bila Belanda keluar dari Indonesia, Australia merasa tidak aman.

Kemudian, muncul beberapa pertanyaan dan kekhawatiran dari mereka, apakah kemerdekaan Indonesia akan menguntungkan Australia? Apakah Indonesia mampu membendung ancaman komunis?

Australia khawatir bila mendukung Indonesia mengusir Belanda maka tindakan itu  mempercepat berakhirnya kekua­saan kolonial Eropa di kawasan Asia Tenggara. Tapi realitasnya pada 27 De­sember 1959 pemerintah Australia resmi mengakui kemerdekaan kita, dan me­nyatakan ingin menjalin hubungan.

Kedua; kurangnya pemahaman budaya politik masing-masing negara. Hal ini terkait dengan politik luar negeri Australia, yang menganggap ’’wilayah utara’’ sebagai ancaman. Ketiga; belum banyak pakar Indonesia ’’menguasai ilmu’’ Australia,  sementara cukup banyak ilmuwan Aus­tralia yang mendalami studi tentang Indonesia.

Keempat; media berperan cukup besar terhadap perkembangan perspektif kedua negara dalam sejarah hubungan bilateral. Sydney Morning Herald misalnya, yang memicu dengan menyebut ada pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan AS dan Australia di Jakarta. Adapun The Guardian menulis bahwa Badan Intelijen Australia menyadap Indonesia sejak 2007 ketika negara kita menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua Bali.

Hubungan diplomatik harus mendasarkan pada kepercayaan, adapun skandal penyadapan merupakan kebalikannya, dan realitas itu mengindikasikan tak ada teman yang abadi. Kita perlu terus membangun kewaspadaan untuk menjaga apa yang kita miliki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar