’’TIDAK
ada harga yang lebih mahal dari sebuah kedaulatan,’’
kata Menlu Marty Natalegawa dalam wawancara dengan MetroTV (18/11/13).
Pernyataan itu untuk kembali menegaskan bahwa kedaulatan adalah
segala-galanya bagi negara dan tak bisa ditawar atau diganti apa pun.
Apalagi untuk kali ke sekian Australia menyinggung kedaulatan negara kita,
selain berkait isu-isu sensitif antarnegara.
Sejumlah dokumen yang dibocorkan whistleblower Edward Snowden, yang
berada di tangan Australian
Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian, menyebut nama SBY dan 9 orang di lingkaran
dalamnya, sebagai target penyadapan Australia. Marty menyesalkan tanggapan
Australia lewat media, seolah-olah penyadapan itu hanya insiden dismissive, lumrah dilakukan (antaranews.com, 18/11/13).
Lagi-lagi hubungan kita dengan Negeri
Kanguru menegang setelah pasang surut hubungan berkait banyak isu. Reaksi
Indonesia saat ini sedikit mengalami kemajuan dengan memanggil pulang Dubes
Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, sebagai wujud protes.
Indonesia masih menunggu pemberian
klarifikasi, kendati PM Tony Abbot sudah menyatakan penolakannya. Ada pula
dokumen yang menyebutkan badan intelijen elektronik Australia, melacak
kegiatan SBY melalui telepon genggamnya selama 15 hari pada Agustus 2009,
saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi perdana menteri.
Sadap-menyadap informasi sudah ada sejak
peradaban manusia. Bahkan pada Perang Dunia I dan II praktik itu lazim
dilakukan. Dalam hubungan antarnegara, selain diplomat resmi, negara-negara
membentuk badan yang diistilahkan ’’dinas rahasia’’. Mereka khusus
mendampingi dan menjaga para diplomat dan kepala negara dalam menjalankan
tugas di luar negeri.
Sebaliknya, diplomat yang menjalankan
tugas di luar negeri, sekaligus berfungsi sebagai mata-mata (intelijen)
bagi negaranya (Ranny Emilia, 2013).
Namun Pasal 27 Konvensi Wina mengatur tentang perlindungan/ kemerdekaan
berkomunikasi. Apa yang dilakukan oleh Australia melanggar konvensi
tersebut.
Setelah Perang Dunia II, secara resmi AS,
Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris, mengikat perjanjian saling
bertukar data intelijen. Namun tak ada perjanjian serupa dengan Indonesia
sehingga kita berhak memprotes atau bertindak lain, sebagaimana diatur
dalam tata cara hubungan diplomatik. Pasal 9 Konvensi Wina misalnya,
menyebut negara berhak mengusir diplomat negara lain (persona non grata).
Krisis
Hubungan
Pengungkapan isu penyadapan itu muncul
saat hubungan bilateral dua negara tengah meruncing terkait tudingan
mata-mata sebelumnya, dan isu mengenai penanganan manusia perahu yang
melewati Indonesia menuju Australia. Terlepas dari isu itu, ada beberapa
faktor yang berpengaruh.
Pertama; sejarah hubungan bilateral kedua
negara yang ’’tambal sulam’’. Sejak tahun pertama, hubungan politik
Australia dengan Indonesia mengalami dilema. Di satu pihak, ada simpati
terhadap perjuangan kemerdekaan kita dan keinginan murni memelihara
hubungan baik. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bila Belanda keluar
dari Indonesia, Australia merasa tidak aman.
Kemudian, muncul beberapa pertanyaan dan
kekhawatiran dari mereka, apakah kemerdekaan Indonesia akan menguntungkan
Australia? Apakah Indonesia mampu membendung ancaman komunis?
Australia khawatir bila mendukung
Indonesia mengusir Belanda maka tindakan itu mempercepat berakhirnya
kekuasaan kolonial Eropa di kawasan Asia Tenggara. Tapi realitasnya pada
27 Desember 1959 pemerintah Australia resmi mengakui kemerdekaan kita, dan
menyatakan ingin menjalin hubungan.
Kedua; kurangnya pemahaman budaya politik
masing-masing negara. Hal ini terkait dengan politik luar negeri Australia,
yang menganggap ’’wilayah utara’’ sebagai ancaman. Ketiga; belum banyak
pakar Indonesia ’’menguasai ilmu’’ Australia, sementara cukup banyak
ilmuwan Australia yang mendalami studi tentang Indonesia.
Keempat; media berperan cukup besar
terhadap perkembangan perspektif kedua negara dalam sejarah hubungan
bilateral. Sydney Morning Herald misalnya, yang memicu dengan menyebut ada
pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan AS dan Australia di Jakarta. Adapun
The Guardian menulis bahwa Badan Intelijen Australia menyadap Indonesia
sejak 2007 ketika negara kita menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim
PBB di Nusa Dua Bali.
Hubungan diplomatik harus mendasarkan
pada kepercayaan, adapun skandal penyadapan merupakan kebalikannya, dan
realitas itu mengindikasikan tak ada teman yang abadi. Kita perlu terus
membangun kewaspadaan untuk menjaga apa yang kita miliki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar