Pascakebuntuan pembicaraan
seputar manusia perahu pekan lalu, hubungan antara Indonesia dan Australia
kembali memanas. Pemerintah Indonesia memanggil pulang Duta Besar RI di
Canberra atas tuduhan bahwa agen mata-mata Australia menyadap ponsel
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
dalam konferensi pers pada Senin (18/11) menyatakan bahwa Indonesia sangat
terganggu oleh hal ini. Lebih lanjut ia menegaskan, aksi penyadapan ini
bukanlah perbuatan cerdas karena melanggar asas-asas kepatutan serta hukum
nasional dan internasional.
Sungguhpun Perdana Menteri
Australia, Tony Abbott, sangat menyesalkan implikasi dari pemberitaan media
terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi ia menolak minta maaf.
Abbott berdalih bahwa Australia tak perlu meminta maaf atas langkah-langkah
yang diambil untuk melindungi negaranya sekarang atau di masa lalu. Ini
sama halnya dengan mengharapkan negara-negara tertentu meminta maaf kepada
negara lain atas kesalahan yang dilakukan pemerintah negara itu di masa
lalu.
Tanpa tedeng aling-aling, sikap
Abbott ini sudah menegaskan bagaimana pendirian seorang Perdana Menteri Australia
terhadap skandal yang mereka lakukan terhadap simbol negara lain yang
bernama presiden. Bagi Indonesia, aksi penyadapan ini memang tidak bisa
ditoleransi.
Tindakan The Defence Signals Directorate (DSD)--yang sekarang disebut The Australian Signals Directorate (ADS)--sama
saja dengan membiarkan pihak Australia mengobok-obok bendera negara atau
kedaulatan bangsa. Aksi ini seharusnya dijadikan sebagai momen untuk
meneguhkan resistensi domestik berupa penguatan kemandirian bangsa.
Dalam banyak hal, semisal sektor
pendidikan dan perdagangan, posisi Australia sangat diuntungkan dalam
hubungannya dengan Indonesia. Asia
Research Centre (ARC) dari Universitas Murdoch (2013) melaporkan bahwa
terdapat sekitar 12 ribu mahasiswa Indonesia studi ke Australia setiap
tahun, sedangkan siswa Australia yang belajar di Indonesia hanya sekitar 50
orang per tahun. Jumlah mahasiswa Indonesia yang beroleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS)
sekitar 300-400 orang per tahun tak sebanding dengan jumlah mahasiswa
Indonesia lainnya yang menuntut ilmu ke Negeri Kanguru tersebut dengan dana
pribadi.
Ketimpangan proporsi peluang
pendidikan ini seharusnya mendorong perguruan tinggi di Indonesia mengambil
peran lebih dominan dan proaktif meningkatkan kemandirian bangsa lewat
jalur perguruan tinggi. Perlu percepatan untuk mentransformasikan pelbagai
perguruan tinggi di Indonesia sebagai universitas berbasis riset, bukan semata-mata
pengajaran.
Inilah kunci untuk mendongkrak
kualitas perguruan tinggi di Tanah Air untuk bisa menyamai berbagai universitas
ternama di Australia, Singapura, atau Malaysia. Hingga kini, puluhan
sekolah di Australia datang ke Indonesia saban tahun guna menjemput rezeki
mengingat tingginya animo kelas menengah ke atas untuk menyekolahkan
anak-anaknya ke Australia.
Dalam perdagangan, Indonesia
memiliki pasar yang lebih besar dan lebih dinamis daripada di Eropa, belum
lagi bahwa Indonesia merupakan pasar terdekat untuk pemasaran produk-produk
Australia dibandingkan pasar lainnya yang lebih besar di seluruh dunia. Bagaimana
dengan nasib sapi-sapi Australia, ke mana akan diekspor? Indonesia adalah
pasar ekspor terbesar sapi-sapi Aus tralia meskipun Australia hanya menempati
urutan ke-12 sebagai negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia.
Kemandirian ekonomi sejatinya
dimulai dengan mengembalikan kedaulatan peternak atau para pengusaha ternak
Tanah Air. Kita memiliki areal peternakan yang sangat luas dengan pasar
yang sama luasnya. Basrizal Koto (Basko), sebagai misal, memiliki kawasan
peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara yang berada di wilayah Riau,
lebih kurang 300 hektare.
Ia adalah pengusaha sukses (from zero to hero) yang
berpengalaman untuk memberdayakan para peternak juga menumbuhkan
kelas-kelas pengusaha baru. Kerja sama antara petani, peternak, dan
pengusaha menjadi keniscayaan untuk mengembangkan kemandirian ekonomi lokal
demi terciptanya pengawasan mutu, akses ke pasar, dan ketersediaan
finansial.
Aksi penyadapan ini pun
mengingatkan banyak pihak bahwa tidak ada makan siang yang gratis (there is no free lunch). Amerika
Serikat dan sekutunya seperti Australia ingin tetap mendominasi dunia
dengan memonopoli informasi. Mereka menggunakan segala cara yang halus,
tersembunyi, dan tidak disadari.
Putra-putri Indonesia yang
tengah menuntut ilmu di Negeri Down
Under tak perlu gentar bersikap kritis hanya karena mereka beroleh
beasiswa dari Pemerintah Australia. Para intelektual yang didanai beasiswa
Fullbright di AS tetap saja kritis terhadap kebijakan negara Paman Sam itu,
semisal Arief Budiman, Amien Rais, dan Syafii Maarif. Jauh sebelumnya,
Hatta sudah menunjukkan dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda,
mekipun ia ke kesana untuk belajar atas beasiswa dari Kerajaan Belanda.
Di pihak Australia, Abbott
bukanlah seorang pembelajar yang arif. Presiden Obama telah meluncurkan
telaah komprehensif terhadap seluruh program pengawasan AS dalam menanggapi
tuduhan serupa tatkala intelijen AS memata-matai panggilan pribadi dari
banyak pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel. Obama
menelepon Merkel dan tokoh-tokoh lain dan mengutarakan penyesalannya.
Abbott seharusnya bisa menempuh upaya serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar