Jumat, 22 November 2013

Snowden dan Penyadapan Komunikasi

Snowden dan Penyadapan Komunikasi
Djoko Susilo Duta Besar RI untuk Swiss
TEMPO,  21 November 2013



Australia dan sekutu anglo-Amerika-nya, yakni Inggris, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat, sudah lama bekerja sama dalam operasi intelijen di seluruh penjuru dunia. Banyak yang mengira, mereka hanya memata-matai lawan tradisional, seperti Kuba, Korea Utara, atau Iran. Ternyata mereka juga mengintip para pemimpin negara sahabat, termasuk Indonesia.

Di Eropa, operasi penyadapan yang dilakukan National Security Agency milik Amerika Serikat dan Government Communications Headquarters menyasar beberapa kepala negara, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel dan politikus di Islandia. Pemerintah Jerman sangat marah dan tersinggung.

Operasi ini dibocorkan Edward Snowden, bekas staf NSA, dalam sedikitnya 200 ribu dokumen dengan klasifikasi secret dan top secret, dan super top secret. Data itu--kini dikenal sebagai "dokumen Snowden"--berbeda dengan dokumen yang dibocorkan prajurit Bradley Manning kepada Julian Asange dari Wikileaks. Meski jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 400 ribu dokumen, klasifikasi bocoran Asange hanya confidentials, khususnya mengenai kawat-kawat komunikasi Kedutaan Besar AS di seluruh dunia.

Di antara dokumen Asange adalah laporan pertemuan staf politik Kedubes AS di Jakarta dengan saya pada 2008, yang membicarakan demokratisasi di Burma alias Myanmar. Ketika itu saya aktif dalam ASEAN Inter-Parliamentary on Myanmar Caucus. Dokumen Snowden jauh lebih gawat dan merugikan daripada Wikileaks. Berdasarkan dokumen Snowden ini terbukti bahwa Australia, AS, dan sekutunya melakukan tindakan mata-mata, termasuk kepada sekutu atau negara sahabatnya.

Hampir semua negara melakukan operasi intelijen, tapi ada aturan tidak tertulis untuk tidak memata-matai negara sahabat. Kalaupun perwakilan organisasi intelijen suatu negara ada di negara lain, biasanya mereka melakukan kegiatan intelijen terbuka. Artinya, mereka mengumpulkan data dari informasi terbuka dan legal, seperti jumlah penduduk, topografi, iklim, produksi nasional, dan data perdagangan. Kegiatan pengumpulan data melalui kedutaan, sebagaimana diatur Konvensi Wina, pun hanya memungkinkan pengumpulan data secara terbuka. Karena itu, di masa perang dingin, AS dan Uni Soviet sering saling mengusir diplomat yang terbukti melakukan kegiatan intelijen tertutup.

Dalam konteks kepentingan bangsa, para pendiri negara ini sejak awal memandang perlunya badan intelijen. Kita mengenal Badan Intelijen Negara--dulu Badan Koordinasi Intelijen Negara--dan Badan Intelijen Strategis untuk kepentingan militer. Ada satu lagi lembaga yang tidak terkenal tapi perannya sangat penting, yakni Lembaga Sandi Negara. Saking tidak terkenalnya, pada waktu awal menjadi anggota DPR pada 1999, saya baru tahu keberadaan lembaga yang berdiri pada 1946 ini.

Sayang, sikap para pejabat terhadap pengamanan rahasia negara sangat rendah, khususnya di luar lingkungan pejabat keamanan. Pengalaman saya selama 10 tahun di Komisi Pertahanan DPR menunjukkan bahwa para pejabat umumnya enggan menggunakan sistem keamanan komunikasi yang minimal sekalipun. Jadi, dengan kata lain, menyadap komunikasi pejabat Indonesia, apalagi pejabat politik seperti anggota DPR, DPD, bahkan sejumlah menteri, bisa dikatakan sangat mudah. 

Ketika saya menjadi anggota Komisi I selama sepuluh tahun sejak 1999, kami sangat memprioritaskan proteksi keamanan komunikasi di antara para pejabat. Landasan hukum pun sudah disiapkan dengan sejumlah peraturan pemerintah. Kendala utamanya bukan pada teknologi, melainkan perilaku para pejabat itu sendiri.

Pada umumnya para tokoh, seperti anggota DPR, gubernur, politikus, atau pejabat tinggi, merasa tidak perlu ada yang disembunyikan. Dulu masyarakat sempat gempar, tapi hanya sesaat, ketika percakapan antara Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib terbuka ke publik. Tapi, mungkin, karena saat itu bukan hasil sadapan intelijen asing, masyarakat cepat melupakan dan merasa adem ayem.

Para bupati dan gubernur umumnya juga tidak menganggap penting satuan pengaman komunikasi. Mereka tidak paham bahwa komunikasi seperti SMS, e-mail, dan faksimile, sangat mudah dideteksi pihak lain. Perang dagang saat ini juga sudah melibatkan perang intelijen ekonomi. Di Swiss, masyarakat sangat sadar bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Karena itu, pengamanan data sangat diprioritaskan oleh pemerintah dan perusahaan di Swiss. 

Bisa dikatakan, saat ini kemampuan teknologi persandian dan sekuriti komunikasi sudah sangat tinggi. Sayang kurang dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para pemangku kepentingan. Cara menjebol komunikasi bermacam-macam, ada yang dengan memasang BTS palsu, membajak komputer atau server pemerintah, bisa juga dengan "cara klasik", yaitu mengirim hadiah atau karangan bunga yang di dalamnya ditanami mini transmitter. Ada lagi yang agak sederhana dengan menanam transmitter di ruang rapat, dinding, atau pintu kamar kerja pejabat. 

Sesungguhnya, dengan kecanggihan teknologi penyadapan NSA, semua komputer yang terhubung dengan Internet bisa dibobol. Karena itu, sekali lagi, pengamanan hanya bisa dilakukan jika alat komunikasi para pejabat kita disandikan. Ini hanya bisa dilakukan jika para pejabat mempunyai tingkat kesadaran keamanan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar