Sabtu, 23 Maret 2013

Tantangan Pemimpin Baru China


Tantangan Pemimpin Baru China
Syamsul Hadi ;  Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 23 Maret 2013


Tanggal 17 Maret, Kongres Rakyat Nasional China secara resmi menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China.
Ia didampingi Li Keqiang sebagai perdana menteri (PM). Xi menggantikan pendahulunya, Hu Jintao, sementara Li menggantikan Wen Jiabao, yang menjadi presiden dan PM sejak 2002. Dalam pidato pertamanya sebagai kepala negara, Xi menyerukan agar ada kesadaran untuk terus merealisasikan era renaisans bangsa China dan ”impian China” (Kompas, 18/3). Tak cukup jelas apa yang dimaksud dengan ”renaisans dan impian China”. Xi menyebut pentingnya mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkesinambungan, meningkatkan kekuatan militer, dan menghindari perubahan politik yang dapat mengurangi kekuatan partai.
Jelas Xi menyampaikan pesan bahwa kesinambungan kekuasaan Partai Komunis China (PKC) dan jalan pembangunan yang ditempuh para pendahulunya akan tetap dijaga. Apa saja tantangan yang dihadapi Xi dalam memimpin China lima tahun ke depan?
Warisan Era Hu
Setelah satu dekade kepemimpinan Hu Jintao, China telah menghadirkan diri sebagai kekuatan besar dunia yang disegani. Dalam kepemimpinan Hu, China banyak mengukir prestasi ekonomi besar, termasuk pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah krisis ekonomi yang melanda AS dan Eropa. Di bawah Hu, China menjadi pemilik cadangan devisa terbesar di dunia (melampaui Jepang sejak 2006), menjadi negara pengekspor terbesar di dunia (melampaui Jerman sejak 2009), dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia (melampaui Jepang sejak 2010).
Tahun 2012, pertumbuhan ekonomi China 7,8 persen. Meski turun dibandingkan tahun 2011 (9,1 persen), angka ini jauh di atas pertumbuhan AS dan Jepang yang sama-sama 2 persen atau zona euro yang mengalami kontraksi 0,4 persen. Nilai PDB China 2012 mencapai 51,93 triliun yuan (8,28 triliun dollar AS, sekitar 12 kali lipat PDB Indonesia). Tahun 2012, cadangan devisa China 3,31 triliun dollar AS, sekitar 22 kali cadangan devisa kita.
Dengan demikian, dari sudut ekonomi makro, performa ekonomi China memang luar biasa. China benar-benar menjadi global factory yang produknya membanjiri seluruh penjuru dunia. Namun, upah buruh di China cenderung stagnan, bahkan mengalami penurunan. Meski dipuji Bank Dunia sebagai negara yang tak tertandingi dari sisi keberhasilan mengentaskan kemiskinan, China tetaplah negara miskin dinilai dari pendapatan per kapita yang urutan ke-127 di dunia, dengan 150 juta orang hidup di bawah pendapatan 2 dollar AS per hari. Dari sisi lingkungan hidup, polusi makin sulit teratasi dan China juga menjadi negara penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di dunia.
Kesenjangan sosial ekonomi juga dibarengi peningkatan instabilitas sosial. Data statistik resmi Pemerintah China menunjukkan, protes massa berjumlah rata-rata 8.000 kali dalam setahun ketika Hu mulai berkuasa. Delapan tahun kemudian (2010), jumlahnya meningkat rata-rata 90.000 kali per tahun. Tindakan represi yang dilakukan pemerintah terhadap kerusuhan di Xin Jiang, Tibet, dan sekte agama Falun Gong cermin bahwa otoritarianisme politik tetap menjadi alat yang diandalkan pemerintah untuk mencegah ”anarki” di bidang politik.
Gaya Kepemimpinan
Yang cukup menarik perhatian para analis adalah gaya kepemimpinan Xi yang lebih informal, banyak berbicara dan berusaha mencitrakan dirinya sebagai politisi yang membumi. Ini sangat berbeda dengan gaya Hu yang formal, impersonal, dan sangat mengutamakan kolektivitas dan konsensus. Dalam era media sosial yang sulit disensor saat ini, gaya Xi mungkin lebih cocok untuk meningkatkan citra PKC. Namun, para analis memperkirakan perubahan dalam gaya kepemimpinan itu tidak berkaitan dengan keinginan melakukan reformasi politik sebagaimana diimpikan sebagian kalangan. Sebuah reformasi yang mengarah pada pluralisme politik dan perluasan kebebasan individu justru dapat melemahkan PKC. Alih-alih menggiring sistem China ke arah ”demokrasi ala Barat”, pilihan mempertahankan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi tampaknya akan ditonjolkan Xi sebagai basis legitimasi politiknya, di samping peningkatan upaya pemberantasan korupsi yang terus digaungkan.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, kita berharap gaya kepemimpinan Xi yang lebih luwes dan informal dibandingkan pendahulunya akan berimplikasi positif terhadap arah politik luar negeri China yang akhir-akhir ini dikhawatirkan banyak pihak. Pemerintah China cenderung bersikap keras dan tak kompromistis dalam konflik teritorial dengan Jepang dan sejumlah negara ASEAN. Persepsi tentang China yang semula mengutamakan prinsip ”kebangkitan yang damai” (peaceful rise) tampaknya kian berganti dengan kekhawatiran akan sikap tak kooperatif yang justru merangsang negara-negara lain bersikap tak ramah terhadap China, baik secara ekonomi maupun politik. Banyaknya investor Jepang yang berpindah ke Vietnam sejak ketegangan teritorial meningkat antara Jepang dan China adalah contoh implikasi ekonomi dari sikap politik China yang kurang fleksibel akhir-akhir ini.
Menguatnya nasionalisme dan rasa percaya diri di kalangan masyarakat dan elite politik China akibat kebangkitan ekonomi fenomenal merupakan hal yang harus dikelola dengan bijak oleh Xi dan pemimpin China lain. Sebagai negara pengekspor terbesar di dunia, terbukti dengan membanjirnya barang-barang made in China, China jelas perlu iklim hubungan yang baik dengan negara lain. Hubungan yang baik tentu lebih mudah dibangun dengan mengutamakan prinsip tenggang rasa daripada rasa kebanggaan diri yang berujung pada pemaksaan kehendak atas dasar pemilikan hard power.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar