Minggu, 24 Maret 2013

Relasi Tuhan dan Manusia dalam Sastra


Relasi Tuhan dan Manusia dalam Sastra
Komarudin  ;  Esais
KOMPAS, 24 Maret 2013
  

Empat kali Chairil Anwar menyebut nama ”Tuhanku” dalam puisinya, ”Doa”, yang juga ditujukan kepada pemeluk teguh, sedangkan Abdul Hadi WM, tiga kali menyebut kata ”Tuhan” dalam karyanya, ”Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Kerinduan mereka seakan-akan lebih bertenaga dan sempurna jika diulang tiga hingga empat kali dengan kata yang sama.
Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, hubungan itu merupakan relasi khusus antara dua kutub konseptual utama, yakni Tuhan dan manusia. Relasi itu tak sederhana dan juga tak unilateral, tetapi bersifat ganda dan bilateral, dalam relasi yang timbal balik.
Izutsu lalu membagi dalam empat bentuk tipe relasi yang berlainan antara Tuhan dan manusia. Pertama, relasi ontologis; antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan manusia sebagai representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Kedua, relasi komunikatif di sini Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain—Tuhan tentu saja mengambil inisiatif—melalui komunikasi timbal balik. Ketiga, relasi Tuan-hamba: relasi ini melibatkan, Tuhan sebagai Tuan (Rabb), manusia sebagai ”hamba”-Nya (abd). Keempat, relasi etik. Relasi ini didasarkan perbedaan dua aspek. Tuhan yang kebaikannya tak terbatas dan Tuhan yang murka. Di sisi manusia terdapat perbedaan antara rasa syukur di satu pihak dan takut kepada Tuhan di sisi lain.
Jika meminjam istilah Rudolf Otto, Tuhan bisa dimaknai sebagai misteri yang menakutkan (mysterium tremendum) sekaligus misteri yang menggetarkan (mysterium fascinosum), Tuhan sebagai yang Suci, yang penuh kebaikan, belas kasih, yang menarik, menggembirakan, membahagiakan, sehingga manusia merasakan Tuhan sebagai yang Mahakasih, Mahacinta, Maharahim, Mahabijaksana, Mahapengampun.
Pertikaian
Pandangan Izutsu tentang empat tipe relasi itu dapat kita elaborasi dalam dunia sastra, misalnya, dalam cerpen ”Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis. Tuhan saling berkomunikasi dengan manusia. Suatu hubungan yang amat dekat. Membaca cerpen ini mampu menggiring kita untuk mengkritisi kembali paham ataupun kebiasaan yang telah kita anut selama ini. Kisah Haji Saleh yang telah menghabiskan waktunya seumur hidup hanya untuk beribadah, tetapi membiarkan dirinya melarat, sampai anak cucunya pun teraniaya.
Sebagai penjaga surau, Haji Saleh tak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungut tiap Jumat. Tiap enam bulan ia hanya dapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Sekali setahun orang-orang mengantarkan zakat fitrah kepadanya.
Haji Saleh tersenyum bangga karena rajin menyembah Tuhan. Kepada Haji Saleh, Tuhan mengajukan pertanyaan pertama. ”Engkau?”/”Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”/ ”Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”/ ”Ya, Tuhanku.”/”Apa kerjamu di dunia?”/”Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”/ ”Lain?”/”Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.”/”Lain.”/”Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.”
Dalam cerpen itu Haji Saleh dan rekan-rekannya melakukan protes kepada Tuhan—meminjam istilah Annemarie Schimmel—”pertikaian dengan Tuhan”. Ia menganggap Tuhan tidak adil atas tindakan yang ia lakukan selama ini. Ia menilai apa yang dilakukannya langsung menjamin masuk surga. Padahal, ia terlalu egoistis. Mementingkan diri sendiri, melupakan kehidupan kaumnya, serta tak memedulikan kehidupan anak istri.
Manusia dan Tuhan
Relasi timbal balik terdapat pula dalam puisi ”Doa” karya Chairil Anwar. Dalam konteks ini, doa bisa diartikan sebagai pembicaraan akrab, atau munajat, antara manusia dan Tuhan, sebagai bertukar kata cinta yang menghibur hati duka meskipun tak langsung dijawab.
Doa dalam arti permohonan merupakan hak khusus manusia. Meskipun semua makhluk memuji Tuhan dengan bahasa mereka masing-masing, hanya manusialah yang dapat berbicara dengan-Nya, mengadukan penderitaan, serta harapannya kepada Tuhan yang Mahabijaksana. Dalam diskursus mistik, doa adalah bahasa kerinduan akan kekasih cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi.
Hal senada ditulis Abdul Hadi: Tuhan/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/Dalam gelap/Kini aku nyala/Pada lampu padammu.
Relasi yang ”lebih dekat dari pada urat leher”, manunggaling kawulo gusti, bahkan dikatakan ”siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya”dulcis hospes animae, titik temu antara yang manusiawi dan yang ilahi.
Dua puisi itu ditulis dengan serangkaian kalimat pendek dan padat. Semua tindakan berbicara kepada sumber kekuatan yang tak terlihat. Semua tindakan berbicara yang bukan merupakan penggunaan kata-kata sehari-hari.
Membaca bait-bait puisi Chairil itu sangat kuat pesan yang ingin disampaikan adalah penyerahan diri kepada Kehendak Ilahi. Langkah yang diambil oleh tiap-tiap orang, sebagai persoalan batin dan eksistensi dirinya, untuk menyerahkan jiwanya kepada Tuhan. Kata Chairil: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namamu.
Karena Tuhan adalah Penguasa Mutlak, maka satu-satunya sikap manusia terhadap Tuhan yang mungkin adalah berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghina diri di hadapan-Nya tanpa syarat. Pendek kata, seorang hamba harus berbuat dan bertingkah laku sebagai seorang hamba. Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh.
Membaca keseluruhan puisi itu Chairil merespons positif keberadaan Tuhan. Ia merespons dengan positif dan percaya. ”Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling,” kata Chairil. Betapa ia sadar diciptakan dalam keadaan lemah, dan ia sadar betul ia bukan apa-apa di hadapan Tuhan yang memberikan segala sesuatu karena rahmat karunia-Nya.
Keseluruhan puisi berkisah di seputar satu gagasan pusat, Tuhan, yang dengan kata berirama dari sudut yang berbeda-beda, kadang-kadang meninggi, kadang-kadang menjadi ulangan yang monoton. Dalam puisi itu, seruan kepada Tuhan yang terus-menerus, kerinduan dan hasrat yang mendalam, harap, dan cemas terdengar mengesankan.
Puisi Chairil Anwar, Abdul Hadi, dan cerpen AA Navis ingin memperlihatkan manusia pasrah sempurna kepada kehendak Tuhan; ke situlah semua harapan dan kecemasan seorang insan. Melalui puisi mereka mengekspresikan pemahamannya terhadap Tuhan. Namun, pada realitasnya, tak menutup kemungkinan orang merespons secara negatif keberadaan Tuhan. Betapapun seringnya Tuhan menyeru manusia ke jalan yang benar. Itu karena Tuhan tak sekadar suatu yang tertulis dalam bahasa, tetapi realitas yang tak terjangkau. Suatu relasi yang tak sederhana dan tak egoistis atau memaksakan kehendak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar