DALAM dua minggu terakhir
ini rakyat dikagetkan dengan isu akan adanya gerakan untuk menjatuhkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam bahasa Prancis,
penggulingan kekuasaan terhadap sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa
disebut coup d'etat (kudeta),
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai strike to the state.
Benarkah akan terjadi kudeta? Mengapa ada
pihak-pihak yang akan melakukan kudeta? Mungkinkah terjadi kudeta
terhadap Presiden Yudhoyono?
Bila kita menyimak berbagai berita yang
disuguhkan media massa dan juga media sosial di Ibu Kota Jakarta dalam
kurun waktu dua minggu terakhir ini, tampak jelas betapa masyarakat yang
melek politik memberi nada minor atas isu kudeta itu.
Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDIP
Pramono Anung, yang diwawancarai berbagai televisi, menampik adanya isu
kudeta itu. “Hari gini ada kudeta?
Enggaklah.“ Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang juga berasal dari Fraksi
PDIP TB Hasanuddin menyatakan, “...Saya
juga tidak melihat potensi kudeta.“
Komentarnya tersebut sesuai dengan
laporan intelijen mengenai adanya banyak pendapat yang menimbulkan
kegaduhan politik, khususnya sejak Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas
Urbaningrum dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK dan terkait dengan
rencana kongres luar biasa (KLB) Demokrat akhir Maret ini di Bali. Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Laode Ida juga mengatakan cukup
sulit untuk melakukan kudeta sebelum Pemilu 2014. Sikap panik berlebihan
SBY dan upaya mengundang belas kasihan rakyat melalui berbagai pernyataan
SBY dinilai oleh Laode Ida sebagai `bagian
dari politik cengeng' (`Kudeta tak Masuk Akal', Kompas, 19/3).
Kita tahu, memang banyak masalah bangsa
yang dihadapi Presiden, terutama yang menohok jantung kekuasaan seperti
isu korupsi yang dihadapi Partai Demokrat dan KLB Demokrat yang masih
menimbulkan persoalan internal di partai itu. Pernyataan para tokoh dari
alumnus HMI yang memberikan rasa kesetiakawanan sosial terhadap Anas yang
juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
di era awal reformasi, seperti dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan mantan Ketua Umum Partai Golkar
Akbar Tandjung, telah menimbulkan rasa khawatir bagi SBY bahwa akan ada
gerakan besar yang akan mengganggu pemerintahannya.
HMI adalah organisasi kemahasiswaan
ekstrakampus terbesar dan tertua di Indonesia pascakemerdekaan Republik
Indonesia. Alumni HMI juga ada di mana-mana (omnipresent), baik di ormas-ormas, partai-partai politik,
perusahaan swasta, atau bahkan birokrasi pemerintahan.
SBY memang tidak pernah menyebut akan
adanya kudeta terhadap pemerintahannya yang tinggal setahun ini.
Menjelang keberangkatannya ke Jerman, Presiden hanya mengungkapkan bahwa
akan ada gerakan yang akan mengganggu jalannya pemerintahan, yang pada
gilirannya akan merugikan rakyat.
Namun, serial undangan Presiden Yudhoyono
untuk datang ke Istana secara berturut-turut pada 12-15 Maret kepada
mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad Prabowo Subianto, 7 jenderal
purnawirawan TNI-AD (Luhut Binsar Panjaitan, Subagyo HS, Fachrul Razi,
Agus Widjojo, Johny Josephus Lumintang, Sumardi, dan Suaidi Marasabessy),
13 tokoh ormas Islam, serta pemimpin redaksi media massa terkemuka di Ibu
Kota, menunjukkan betapa Presiden berupaya menuai dukungan luas agar masa
jabatannya yang tinggal setahun ini berjalan aman.
Demonstrasi
Bukan Kudeta
Isu kudeta bertambah ramai dengan
keluarnya pernyataan Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia
(MKRI) Ratna Sarumpaet yang akan mengadakan demonstrasi besar-besaran
secara serempak di beberapa kota besar di Indonesia pada 25 Maret ini,
yang antara lain menuntut agar Presiden turun dari jabatannya. Pertemuan
antara beberapa tokoh di Gedung Joang 45, Menteng Raya, Jakarta, yang
antara lain dihadiri mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) Adnan Buyung Nasution, minggu lalu, semakin menambah aroma
politik akan adanya kudeta ini.
Ratna Sarumpaet dalam dialog di Jak TV
bersama penulis, pada Jumat (22/3) malam, mengatakan bahwa demo itu untuk
memberikan ultimatum politik agar SBY mengubah situasi yang sudah gawat
di Indonesia. Situasi itu ialah adanya berbagai undang-undang (UU)
ekonomi seperti UU Mineral dan Batu Bara, UU mengenai Air, serta UU
mengenai perdagangan yang membuat kedaulatan negara terancam oleh
kepentingan asing. Perusahaan-perusahaan asing sudah menguasai ekonomi
Indonesia. Ekonomi memang bertumbuh 6,3%, tapi hidup rakyat bawah semakin
sulit.
Ratna menambahkan, kehidupan berbangsa
dan bertanah air kita sudah amat menyedihkan. Kita bukan lagi bangsa yang
Bhinneka Tunggal Ika karena ada kelompok-kelompok mayoritas yang menindas
kelompok minoritas etnik dan agama, contohnya kasus Ahmadiyah, kasus
Gereja Yasmin, dan kasus Islam Syiah di Sampang, Madura.
Gerakan antiteror yang dilakukan polisi,
khususnya Densus 88, lebih banyak merupakan rekayasa polisi dalam
kaitannya dengan gerakan antiterorisme internasional.
Ratna Sarumpaet sudah beberapa kali
mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono, baik melalui Ibu Negara
maupun langsung ke Istana, tetapi tidak digubris. Ratna sudah mengirimkan
DVD Rekayasa di Balik Teror dan
Perpecahan Antaragama, yang dibuat oleh Australia dengan
judul Inside Indonesia's War on
Terror serta diberi subtitle
dan diduplikasi oleh Ratna
Sarumpaet Crisis Center. Front Pembela Islam (FPI) bukannya membela
Islam yang menjadi kambing hitam dalam isu terorisme itu, malah melakukan
gerakan yang mengundang ketakutan masyarakat, khususnya yang terkait
dengan penyerangan terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Negeri ini, di mata Ratna Sarumpaet,
sudah menjadi negeri yang menakutkan, baik bagi rakyat maupun bagi
pelancong asing. Di saat Indonesia membutuhkan pemimpin yang menangani
berbagai persoalan itu, Presiden malah asyik memfokuskan perhatiannya
pada persoalan di internal partainya, Partai Demokrat.
Demo 25 Maret ini, menurut Ratna
Sarumpaet, merupakan awal dari kegiatannya agar Presiden memperhatikan
hal-hal yang menjadi kegelisahan masyarakat banyak, jika SBY tidak mau
diturunkan. SBY memang harus turun jika kita ingin membangun suatu sistem
pemilu yang lebih baik, yang menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin
bangsa yang baik pula. Tanpa itu, sulit bagi bangsa ini untuk menjadi
bangsa yang siap bertarung dalam kancah politik internasional mendatang.
Tidak
Akan Terjadi
Apa yang disuarakan Ratna Sarumpaet dan
MKRI-nya merupakan sesuatu yang secara sah dapat dilakukan dalam sistem
politik demokrasi. Demokrasi bukan hanya menghasilkan kepemimpinan yang
absah (legitimate), menimbulkan
dukungan rakyat kepada pemerintah, dan mengharuskan rakyat patuh pada
komando atau aturan yang dibuat oleh penguasa. Demokrasi juga memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk aktif berpartisipasi di antara dua pemilu,
termasuk, tetapi tidak terbatas pada, melakukan kritik dan demonstrasi
terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Sikap kritis atau kata-kata yang
menginginkan Presiden Yudhoyono turun bukanlah suatu kudeta, melainkan
hanya ungkapan kekesalan sebagian masyarakat atas ketiadaan kepemimpinan
yang responsif di negeri ini. Kalau pun terjadi demonstrasi yang besar
pada hari ini, itu juga bukan suatu kudeta.
Kudeta membutuhkan beberapa prasyarat.
Pertama dan yang utama ialah situasi ekonomi dan politik yang sudah amat
akut. Kedua, gelombang delegitimasi terhadap pemerintah sudah begitu
besar dan sulit untuk dibendung lagi. Ketiga, proses politik yang
konstitusional tidak lagi dapat menyelesaikan krisis yang sedang dihadapi
negara tersebut. Keempat, kaum intelektual, khususnya mahasiswa sebagai kekuatan
moral, sudah mulai bergerak, baik atas dasar kemauan sendiri ataupun ada
kelompokkelompok politik dan/atau militer yang menggerakkan serta
melindungi, seperti yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966. Kelima,
adanya penyatuan kekuatan antara kelompok intelektual, massa dari rakyat
golongan miskin kota, kelompok-kelompok buruh, kekuatan kepentingan
ekonomi dan politik, ditambah dengan kekuatan militer yang kemudian
mengatasnamakan `kekuatan rakyat' atau people power.
Itu terjadi di Indonesia saat penggulingan,
atau meminjam istilah Daniel Dhakidae, `kudeta merangkak', terhadap
Presiden Soekarno pada 1965-1967. Atau penggulingan Presiden Ferdinand
Marcos di Filipina pada 1986 setelah terbunuhnya Senator Benigno Aquino
(ayah Presiden Filipina saat ini, Aquino).
Di mata penulis, situasi Indonesia tidak
seperti pada pertengahan 1960-an, di kala kelompok neokolonialisme dan
imperialisme Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris, menginginkan
kejatuhan Soekarno. Kemudian adanya pertarungan kekuasaan (struggle of power) antara PKI,
Soekarno, dan TNI-AD, ditambah situasi ekonomi dan politik yang amat
kacau pada era itu.
Kudeta konstitusional juga tidak dapat
dilakukan terhadap SBY, seperti yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terhadap Presiden Soekarno pada
sidang MPRS 16 Februari 1967 yang menolak pertanggungjawaban presiden
melalui pidato Nawaksara (Delapan Pasal) perbaikan penjelasan Soekarno
atas peristiwa 1 Oktober 1965.
Contoh lain ialah saat kelompok `Poros
Tengah-Plus' menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid melalui pemakzulan
pada Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, atau dalam kadarnya yang
lebih rendah, saat MPR RI menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie
pada akhir masa jabatannya. Hal itu menutup kesempatan bagi Habibie untuk
maju menjadi calon presiden melalui Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999.
Partai-partai politik yang ada di
parlemen saat ini, kelompok sekretariat gabungan pendukung SBY-Budiono
ataupun PDIP, Hanura, dan Gerindra, tentunya tidak ingin sistem pemilu
lima tahunan yang reguler untuk memilih anggota legislatif dan presiden
terganggu oleh isu kudeta. Kudeta justru merusak sistem pemilu yang
reguler ini dan menyebabkan kita melangkah mundur. Kudeta hanya akan
memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan
demokrasi, sipil maupun militer, untuk mengembalikan sistem politik
menuju era Orde Lama dan Orde Baru yang korup, busuk, dan otoriter.
Apa yang diucapkan KSAD Jenderal TNI
Pramono Edhie Wibowo adalah benar, yakni agar adik-adiknya, para perwira
menengah dan anggota TNI, tak tergerak oleh isu kudeta ini. Kudeta bisa
saja didalangi jenderal militer, tetapi pelaku lapangannya sering kali
adalah seorang letnan kolonel atau kolonel. Kudeta di berbagai negara
lebih banyak dilakukan para perwira menengah angkatan darat, hanya sekali
oleh angkatan laut di Cile, dan sekali oleh angkatan udara di Argentina
terkait Perang Malvinas antara Argentina dan Inggris.
Kasus penyerangan ke Lembaga
Pemasyarakatan Sleman pada Sabtu (23/3) dini hari, yang dilakukan 15
orang bersenjata yang amat terlatih, memang amat menyeramkan. Itu terkait
dengan balas dendam atas terbunuhnya Sersan Satu Santosa yang merupakan
anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup 2 Kandang Menjangan,
Surakarta, Selasa (19/3). Mereka masuk untuk membunuh empat tahanan yang
diduga pembunuh sang sersan tersebut. Sebelumnya, beberapa anggota Yon
Armed di Sumatra Selatan juga melakukan bumi hangus atas Kantor Polres di
Ogan Komering Ulu terkait dengan terbunuhnya rekan mereka oleh anggota
kepolisian yang sedang bertugas. Itu tentunya menimbulkan kekhawatiran
bahwa bisa saja kelompok-kelompok sempalan di TNI-AD melakukan tindakan
di luar jalur komando resmi TNI-AD.
Namun, jika Presiden Yudhoyono dan
jajaran di TNI-AD dapat mengendalikan para anggotanya, serta tidak ada
benturan kepentingan antara Presiden dan TNI-AD, kemungkinan terjadinya
kudeta tetap kecil. Pemerintahan SBY memang mengalami krisis kepemimpinan
dan kemerosotan legitimasi. Namun, lebih baik segalanya diselesaikan
melalui pilihan raya Pemilu 2014 ketimbang kudeta di tengah jalan. Kudeta,
dengan alasan apa pun, melawan sistem demokrasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar