Diblokirnya separuh dari pagu
anggaran 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 73,0874
triliun oleh Kementerian Keuangan menggambarkan betapa ”halaman
selanjutnya” kegiatan dunia pendidikan kita pada 2013 harus lebih cermat
dan lebih adil.
Rancangan semula di Kemdik- bud
dalam merinci pagu anggaran 2013 sebesar itu sebagai berikut. Pertama, Rp
21,9566 triliun untuk anggaran pendidikan di luar Kemdikbud. Kedua, dari
Rp 51,1308 triliun khusus untuk Kemdikbud dirancang alokasi penggunaannya
sebesar 16,7 persen (Rp 12,1959 triliun) untuk pendidikan dasar, 16,1
persen (Rp 11,5075 triliun) untuk pendidikan menengah, dan 52,5 persen
(Rp 38,4074 triliun) untuk pendidikan tinggi. Di situlah ketidakcermatan
dan ketidakadilan itu terasa.
Mari kita bayangkan, konsekuensi
dari pemblokiran itu berarti bahwa dalam semester I 2013 ini, dana yang
sudah pasti dialokasikan untuk pendidikan dasar sebesar Rp 6 triliun
(saja), untuk pendidikan menengah hampir Rp 6 triliun (saja), sedangkan
untuk pendidikan tinggi—wah—Rp 19 triliun.
Halaman Demi Halaman
Harus diakui ”halaman pertama”
kegiatan utama Kemdikbud semester I 2013 pasti terfokus pada implementasi
Kurikulum 2013 dan ujian nasional. Itu berarti alokasi dananya diambilkan
dari, sebutlah Rp 12 triliun, dana pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, mengingat implementasi kurikulum itu hanya kena-mengena pada
tataran pendidikan dasar dan menengah.
Melihat isi kegiatan ”halaman
pertama” ini ada rasa khawatir, jangan-jangan alokasi dana yang tersedia
di pendidikan dasar dan pendidikan menengah sudah akan habis di semester
I ini. Padahal, tantangan di kegiatan semester II 2013 bukannya lebih
ringan atau lebih kecil. Pertanyaannya, bagaimana Kemdikbud akan mengisi
”halaman selanjutnya”? Satu-satunya jawaban: meninjau ulang rancangan
semula yang mengalokasikan secara tidak adil (karena lebih dari 50 persen
untuk pendidikan tinggi).
Kemdikbud tetap harus sadar
bahwa halaman selanjutnya yang tidak pernah boleh dilewatkan ialah
peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan para ”supervisornya”, yaitu
kepala sekolah atau kepala madrasah dan pengawas. Mereka semua berada di
bawah Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah, bukan di
Ditjen Pendidikan Tinggi.
Kewenangan Daerah
Dewasa ini timbul pertanyaan
bertubi-tubi terkait kewenangan daerah dalam pendidikan: ”Apa yang
masih menjadi kewenangan daerah?” Tidak berapa lama lagi masalah pelik
ini akan terkait dengan masalah pengangkatan guru. Dalam waktu dekat,
terutama ketika Program Pendidikan Guru (PPG) berasrama untuk 2.400
peserta segera direalisasikan, pengangkatan mereka menjadi guru mungkin
saja akan ditolak sejumlah daerah mengingat kemampuan keuangannya.
Di satu sisi pendidikan guru
disiapkan oleh pusat (Kemdikbud), di sisi lain kewenangan mengangkat ada
di daerah. Isu yang akan mengisi halaman Kemdikbud berikutnya adalah
sentralisasi manajemen guru. Relakah daerah melepaskannya mengingat guru
senantiasa menjadi ”massa politis” di saat-saat pilkada?
Halaman selanjutnya dunia
pendidikan ialah tantangan atas keresahan masyarakat sekitar ”ganti
menteri, ganti kebijakan”, mengingat tahun 2014 sudah tinggal disingkap
setelah implementasi Kurikulum 2013. Jangan-jangan jerih payah di halaman
pertama ini tidak diakomodasikan nanti di halaman-halaman selanjutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar