Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 untuk
mempercepat peningkatan nilai tambah produk mineral.
Instruksi itu dialamatkan kepada
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menko Perekonomian,
Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri BUMN, Menteri Lingkungan Hidup, serta gubernur dan
pemerintah daerah (bupati/wali kota). Instruksi ini menjadi momentum
penting menertibkan izin pertambangan yang dikeluarkan pemda.
Persoalannya, pasca-pemberlakuan
UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, otoritas pemberi izin usaha
pertambangan (IUP) adalah pemda. Peran gubernur sebagai perpanjangan
tangan pusat hanya sebatas menerbitkan tambang lintas-kabupaten. Menteri
tak bisa mengintervensi tambang yang tumpang tindih karena pemda yang
kehilangan jarahan bisa melakukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi.
Pemda pun menjadi raja-raja
kecil yang serampangan mengeluarkan izin tambang. Mereka tak peduli lagi
apakah pemberian izin konsesi menabrak aturan hukum atau tidak. Asal ada
potensi, semua digadaikan kepada korporasi tambang.
Alhasil, tak satu pun wilayah
Nusantara bebas eksploitasi tambang. Samarinda misalnya, 70,66 persen
wilayahnya dicaplok untuk pertambangan (Dinas Pertambangan Samarinda,
2010). Pulau-pulau kecil dengan topografi berbukit, seperti Nusa Tenggara
Timur (NTT), tak luput dari tambang. Padahal, UU No 27/2007
mengamanatkan, pulau-pulau kecil di daerah pesisir bebas tambang karena
merusak ekosistem alam, lahan pertanian, dan tatanan sosial-budaya
masyarakat lokal.
Bahkan, areal hutan lindung pun
dialihfungsikan menjadi areal pertambangan. Tak heran, dari 10.235 IUP,
hanya 4.151 IUP yang dinyatakan bersih. Selebihnya, 6.084 IUP, dinyatakan
ilegal.
Mencari Untung
Watak bawaan korporasi adalah
mengakumulasi modal. Cara paling ampuh mencari untung adalah melalui
state capture alias menyandera pejabat publik dengan suap. State capture
makin mulus di tengah sistem politik uang pada tingkat lokal.
Mahalnya biaya pilkada membuat
pemda menggadaikan kekayaan daerah kepada investor tambang. Terjadilah
simbiosis mutualisme: elite lokal berkepentingan melanggengkan kekuasaan,
perusahaan berkepentingan mengakumulasi modal.
Kerja sama korporasi-penguasa
ini membuat transaksi ekonomi mulai dari mulut tambang hingga pengiriman
bahan tambang ke pelabuhan bongkar muat dipermudah. Polisi dan petugas
bea cukai mendapat bagian untuk memuluskan pengapalan bahan tambang.
Bagi investor, sektor
pertambangan adalah primadona karena pengembalian modalnya cepat. Sektor
ini sangat mudah mendapat uang. Habis dikeruk bisa langsung diekspor
tanpa pengelolaan melalui smelter. Data Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara (Minerba, 2013) menunjukkan hanya tujuh perusahaan besar yang
memiliki pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Selain itu, baru 67 perusahaan mengajukan rencana
pembangunan smelter. Sisanya
yang ribuan itu belum punya.
Belakangan Dirjen Minerba
melansir, ternyata perusahaan tambang yang mengekspor nikel, bijih besi
dan bauksit, membawa serta unsur logam tanah jarang (rear earth) yang menempel pada beberapa komoditas tertentu.
Artinya, pemerintah belum mampu mendeteksi aset-aset berharga dalam perut
bumi Nusantara.
Data Pusat Sumber Daya Geologi
menyebut cadangan mineral logam jarang Indonesia mencapai 200.000 ton,
tetapi belum dimaksimalkan karena tak paham cara mengolahnya. Logam ini
mengandung neomagnet yang memungkinkan kelahiran teknologi baru.
Indonesia menjual habis aset
bumi pertiwi untuk kepentingan segelintir orang tamak. Menambang dalam
ketidakpahaman membuat kita mudah diakali perusahaan tambang yang tanpa
etika dalam berbisnis.
Lonjakan ekspor bahan mentah
akan meningkat tajam jika pemerintah tak konsisten mengimplementasikan
Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 tentang batas atas ekspor mineral dan
kewajiban perusahaan tambang membangun smelter.
Sampai tahun 2013, baru 167
perusahaan mendapat izin tambang (Dirjen Minerba, 2013). Jika pemerintah
pusat gagal memverifikasi tambang ilegal di daerah, bukan tak mungkin
akan terjadi lonjakan ekspor mineral besar-besaran pasca-pemberlakuan UU
No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan. Lonjakan ekspor bijih besi
700 persen dan bauksit 800 persen.
Pemerintah bisa merugi karena
neraca perdagangan dan penerimaan negara dari pertambangan berkurang.
Padahal, banyak perusahaan tambang di daerah diam-diam mengekspor bahan
mentah dan tak tercatat sebagai wajib pajak (WP).
Risikonya, penerimaan negara
dari 10.235 IUP hanya 22 persen, tak sebanding dengan kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan. Dari 1.068 perusahaan tambang yang
beroperasi di Kalimantan, hanya 300 perusahaan (30 persen) yang taat
lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).
Tanpa ada perubahan kebijakan
terkait komoditas tambang yang saat ini hanya dianggap sebagai komoditas
tidak strategis, kita akan gagal membangun strategi industri mapan pada
masa depan. Padahal, ke depan, kita butuh bahan tambang untuk menopang
sektor industri dan menyinkronkan sektor agraris dengan industri, seperti
yang terjadi di Eropa. Namun, itu mengandaikan negara bersih agar tak
terkulai saat berhadapan dengan perusahaan hiperkomersial.
Bangsa kaya sumber alam kemudian
tetap gagal membangun fondasi industrial yang mapan. Kita hanya membangun
struktur ekonomi ekstraktif tanpa pembangunan yang bisa memberi nilai
tambah (multiplier effect) bagi
kesejahteraan rakyat.
Supervisi Ketat
Konstitusi UUD 1945
mengamanatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Maka, instruksi
presiden ini menjadi momentum berharga menata kembali pertambangan kita.
Wewenang pemda mengeluarkan izin konsesi tak perlu disabotase. Namun,
peran pemerintah pusat tetap menjadi pengontrol utama apakah konsesi yang
diterbitkan pemda itu ”clean &
clear”.
Presiden harus memerintahkan
menteri terkait memverifikasi kembali izin tambang di daerah, termasuk
membersihkan pegawai bea cukai dan kepolisian daerah dari aneka
kecurangan. Komisi Pemberantasan Korupsi pun perlu turun tangan menginvestigasi
aktivitas tambang ilegal di daerah.
Selain itu, perlu arahan
pembangunan nasional yang terencana dengan pertimbangan keuntungan
komparatif di setiap daerah. Di koridor pertambangan, Dirjen Minerba dan
gubernur perlu intensif menyupervisi agar tambang di daerah tertib.
Transparansi dan akuntabilitas
perlu ditingkatkan agar dana bagi hasil berdampak pada peningkatan
pelayanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Kementerian terkait bersama
gubernur dan pemda bisa memerintahkan pemilik IUP-IUP kecil yang
berdekatan untuk bekerja sama membangun smelter. Demi pembangunan
berkelanjutan, kontrak-kontrak tambang yang tidak memenuhi standar
lingkungan hidup harus ditolak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar