Tanggal 17 Maret, Kongres Rakyat
Nasional China secara resmi menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China.
Ia didampingi Li Keqiang sebagai
perdana menteri (PM). Xi menggantikan pendahulunya, Hu Jintao, sementara
Li menggantikan Wen Jiabao, yang menjadi presiden dan PM sejak 2002.
Dalam pidato pertamanya sebagai kepala negara, Xi menyerukan agar ada
kesadaran untuk terus merealisasikan era renaisans bangsa China dan
”impian China” (Kompas, 18/3). Tak cukup jelas apa yang dimaksud dengan
”renaisans dan impian China”. Xi menyebut pentingnya mewujudkan
pertumbuhan ekonomi berkesinambungan, meningkatkan kekuatan militer, dan
menghindari perubahan politik yang dapat mengurangi kekuatan partai.
Jelas Xi menyampaikan pesan
bahwa kesinambungan kekuasaan Partai Komunis China (PKC) dan jalan
pembangunan yang ditempuh para pendahulunya akan tetap dijaga. Apa saja
tantangan yang dihadapi Xi dalam memimpin China lima tahun ke depan?
Warisan Era Hu
Setelah satu dekade kepemimpinan
Hu Jintao, China telah menghadirkan diri sebagai kekuatan besar dunia
yang disegani. Dalam kepemimpinan Hu, China banyak mengukir prestasi
ekonomi besar, termasuk pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah krisis
ekonomi yang melanda AS dan Eropa. Di bawah Hu, China menjadi pemilik
cadangan devisa terbesar di dunia (melampaui Jepang sejak 2006), menjadi
negara pengekspor terbesar di dunia (melampaui Jerman sejak 2009), dan
menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia (melampaui Jepang
sejak 2010).
Tahun 2012, pertumbuhan ekonomi
China 7,8 persen. Meski turun dibandingkan tahun 2011 (9,1 persen), angka
ini jauh di atas pertumbuhan AS dan Jepang yang sama-sama 2 persen atau
zona euro yang mengalami kontraksi 0,4 persen. Nilai PDB China 2012
mencapai 51,93 triliun yuan (8,28 triliun dollar AS, sekitar 12 kali
lipat PDB Indonesia). Tahun 2012, cadangan devisa China 3,31 triliun
dollar AS, sekitar 22 kali cadangan devisa kita.
Dengan demikian, dari sudut
ekonomi makro, performa ekonomi China memang luar biasa. China
benar-benar menjadi global factory yang produknya membanjiri seluruh
penjuru dunia. Namun, upah buruh di China cenderung stagnan, bahkan
mengalami penurunan. Meski dipuji Bank Dunia sebagai negara yang tak
tertandingi dari sisi keberhasilan mengentaskan kemiskinan, China
tetaplah negara miskin dinilai dari pendapatan per kapita yang urutan
ke-127 di dunia, dengan 150 juta orang hidup di bawah pendapatan 2 dollar
AS per hari. Dari sisi lingkungan hidup, polusi makin sulit teratasi dan
China juga menjadi negara penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di
dunia.
Kesenjangan sosial ekonomi juga
dibarengi peningkatan instabilitas sosial. Data statistik resmi
Pemerintah China menunjukkan, protes massa berjumlah rata-rata 8.000 kali
dalam setahun ketika Hu mulai berkuasa. Delapan tahun kemudian (2010),
jumlahnya meningkat rata-rata 90.000 kali per tahun. Tindakan represi
yang dilakukan pemerintah terhadap kerusuhan di Xin Jiang, Tibet, dan
sekte agama Falun Gong cermin bahwa otoritarianisme politik tetap menjadi
alat yang diandalkan pemerintah untuk mencegah ”anarki” di bidang
politik.
Gaya Kepemimpinan
Yang cukup menarik perhatian
para analis adalah gaya kepemimpinan Xi yang lebih informal, banyak
berbicara dan berusaha mencitrakan dirinya sebagai politisi yang membumi.
Ini sangat berbeda dengan gaya Hu yang formal, impersonal, dan sangat
mengutamakan kolektivitas dan konsensus. Dalam era media sosial yang
sulit disensor saat ini, gaya Xi mungkin lebih cocok untuk meningkatkan
citra PKC. Namun, para analis memperkirakan perubahan dalam gaya
kepemimpinan itu tidak berkaitan dengan keinginan melakukan reformasi
politik sebagaimana diimpikan sebagian kalangan. Sebuah reformasi yang
mengarah pada pluralisme politik dan perluasan kebebasan individu justru
dapat melemahkan PKC. Alih-alih menggiring sistem China ke arah
”demokrasi ala Barat”, pilihan mempertahankan pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi tampaknya akan ditonjolkan Xi sebagai basis legitimasi
politiknya, di samping peningkatan upaya pemberantasan korupsi yang terus
digaungkan.
Sebagai bagian dari masyarakat
internasional, kita berharap gaya kepemimpinan Xi yang lebih luwes dan
informal dibandingkan pendahulunya akan berimplikasi positif terhadap
arah politik luar negeri China yang akhir-akhir ini dikhawatirkan banyak
pihak. Pemerintah China cenderung bersikap keras dan tak kompromistis
dalam konflik teritorial dengan Jepang dan sejumlah negara ASEAN. Persepsi
tentang China yang semula mengutamakan prinsip ”kebangkitan yang damai” (peaceful rise) tampaknya kian
berganti dengan kekhawatiran akan sikap tak kooperatif yang justru
merangsang negara-negara lain bersikap tak ramah terhadap China, baik
secara ekonomi maupun politik. Banyaknya investor Jepang yang berpindah
ke Vietnam sejak ketegangan teritorial meningkat antara Jepang dan China
adalah contoh implikasi ekonomi dari sikap politik China yang kurang
fleksibel akhir-akhir ini.
Menguatnya nasionalisme dan rasa
percaya diri di kalangan masyarakat dan elite politik China akibat
kebangkitan ekonomi fenomenal merupakan hal yang harus dikelola dengan
bijak oleh Xi dan pemimpin China lain. Sebagai negara pengekspor terbesar
di dunia, terbukti dengan membanjirnya barang-barang made in China, China jelas perlu iklim hubungan yang baik
dengan negara lain. Hubungan yang baik tentu lebih mudah dibangun dengan
mengutamakan prinsip tenggang rasa daripada rasa kebanggaan diri yang
berujung pada pemaksaan kehendak atas dasar pemilikan hard power. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar