Di masa sekolah rakyat ibu saya menyelenggarakan
sebuah sandiwara anak-anak “Bawang Merah, Bawang Putih”. Di kota kecil
Tegal pada waktu itu, ibu saya punya banyak teman.
Namanya juga
kota kecil, jadi hampir semua saling mengenal. Para ibu itu pun
mengerahkan anakanak masing-masing untuk menjadi pemain, dan kami,
anak-anak pun, berlatih dengan riang di rumah orang tua saya yang
kebetulan luas dan lokasinya di tengah kota. Di zaman itu tentunya belum
ada sponsor Teh Kotak atau jamu Mustika Perawan. Saya tidak tahu dari
mana ibu-ibu itu mendapat dana, tetapi saya duga dari kantong
masing-masing, dan bergotong-royong, bekerja sama.
Belum ada
katering, jadi ibu-ibu bikin kue-kue sendiri. Tetapi yang jelas,
pertunjukan yang diadakan di Gedung Samudra (gedung pertemuan yang paling
hebring di Tegal pada waktu itu), berlangsung meriah. Hampir semua anak
Tegal menonton pertunjukan yang diadakan dua shift itu. Sampai sekarang pun anak-anak Tegal dari generasi
itu (yang masih hidup) yang sesekali bertemu dengan saya, masih ingat
akan pertunjukan sandiwara yang “spektakuler” tersebut.
Buat yang
belum tahu, dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” ini berasal dari tanah
Melayu (Deli) dan mengisahkan dua orang gadis cantik, bersaudara tiri,
yang berperangai sangat berbeda. Bawang Putih adalah gadis yang rajin
bekerja, halus perasaan, dan berbakti kepada orang tua. Ayahnya sudah
meninggal, sehingga Bawang Putih tinggal bersama ibu tiri dan adik
tirinya, Bawang Merah, yang sama cantiknya, tetapi perangainya manja,
malas bekerja, dan pendengki.
Apalagi
ibunya sangat memanjakannya. Keduanya, ibu dan anak ini, memperlakukan
Bawang Putih lebih kejam dari TKW di Arab Saudi. Pada suatu ketika Bawang
Putih mencuci di sungai, salah satu kain ibu tirinya hanyut. Karena takut
dimarahi Bawang Putih pun menyusuri sungai seraya bertanya kepada setiap
orang yang ditemuinya apakah melihat kain ibunya yang hanyut. Akhirnya
Bawang Putih sampai ke suatu gua yang ditunggui seorang nenek.
Si nenek tahu
di mana kain yang hilang itu, tetapi dia minta supaya Bawang Putih
bekerja dulu untuknya. Dasar memang rajin, Bawang Putih menerima tawaran
nenek, dan sorenya dia pulang dengan membawa kain dan sebuah labu kecil
pemberian nenek. Ketika dia ditawari nenek untuk membawa labu yang lebih
besar, Bawang Putih menolak, “Cukup yang kecil saja”, katanya dan dia pun
pulang dengan bahagia.
Tetapi,
setiba di rumah Bawang Putih justru didamprat oleh ibu dan saudara
tirinya, karena pulang terlambat. Ketika Bawang Putih bercerita tentang
nenek dan labu, dia makin dimarahi, karena memilih labu yang kecil. Maka
labu pun dibanting, praaak...!
Labu pun pecah berantakan. Tetapi, yang keluar dari labu adalah perhiasan
intan permata yang tak ternilai harganya (biasa, namanya juga dongeng).
Akhir cerita
pasti bisa ditebak (tidak jauh-jauh dari sinetron yang juga gampang
ditebak). Bawang Merah pun pergi ke gua dan minta labu. Dia tidak mau
kerja, tetapi mau labu yang besar. Nenek yang baik hati memberikan juga
labu besar dan Bawang Merah membawa pulang labu untuk ditunjukkan ke
ibunya. Maka labu besar pun dibanting juga, praaak! Labu pun pecah berantakan.
Tetapi, yang
keluar dari labu adalah puluhan ular dan binatang berbisa (tidak usah
heran, namanya juga dongeng). Moral dongeng Melayu ini sama dengan moral
dongeng Cinderella, karangan novelis Prancis Charles Perrault pada 1697,
yang belakangan sangat populer melalui film kartun Walt Disney. Keduanya
menggambarkan kejujuran, kebaikan hati, dan rajin bekerja, sebagai moral
yang mulia.
Bedanya, di
akhir cerita Cinderella bertemu dan dipersunting oleh pangeran, sedangkan
di versi Melayu, tidak ada cinta-cintaan atau pangeran imut, tabu! Jadi
berlian dan ularlah ganjaran buat si baik dan si jahat.
Sesudah peristiwa masa kecil itu puluhan tahun
lamanya saya tidak peduli pada bawang-bawangan. Saya memang doyan makan,
tetapi makanan adalah urusan ibu saya, istri saya, atau restoran.
Karena itu
sekarang, ketika bawang merah dan bawang putih mencuat sebagai berita,
saya baru ngeh bahwa hidup kita bukan hanya tergantung pada nasi (sudah
sering sekali jadi isu nasional), tetapi juga pada bawang-bawangan. Saya
tidak bisa membayangkan, misalnya bagaimana rasanya martabak telur tanpa
bawang.
Selain itu
entah berapa juta orang yang dirugikan karena langkanya bawang merah dan
putih ini. Pedagang, pengusaha restoran, distributor, bahkan petani pun
ikut rugi karena lahan pertanian tidak bisa dipaksa berproduksi banyak
seperti mesin pabrik. Di masa bawang mahal, petani belum panen, atau
panen gagal, maka petani tetap gigit jari. Ironisnya, pada saat yang
sama, 42,5 ton bawang merah selundupan, di Tanjung Balai Asahan, Sumatera
Utara, akan dimusnahkan.
Pada saat
banyak orang butuh bawang, kok ada bawang-bawang yang mau dimusnahkan?
Terlepas dari peraturan dan undang-undang yang berlaku, saya jadi tidak
mengerti, bingung (dalam bahasa psikologi: disonan), speechless
deh pokoknya. Tetapi setiap disonansi akan mendorong orang untuk berpikir
mencari penjelasan.
Saya yang
teringat pada dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” langsung berpikir
bahwa di balik semua kisruh perdagangan bawang (dan semua kisruh lain di
Indonesia ini) penyebabnya adalah pelaku-pelaku yang tidak bermoral
Bawang Putih(?), pedagang tidak jujur (menimbun, menyelundup), pegawai
pemerintah malas bekerja (malas turun ke lapangan, ABS), pengusaha
membangun tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan, sehingga lahan pertanian
banjir, puso, dan ketika ditanya wartawan semua bicara yang baik-baik
saja (aman dan terkendali), padahal semua hanya baik di omongan atau di
permukaan saja.
Jadi, terlalu banyak orang yang omongannya Bawang Putih,
tetapi kelakuannya Bawang Merah, alias munafik atau hipokrit. Kalau
setiap pemimpin dan tokoh Indonesia bisa bermental Bawang Putih, dijamin
bangsa ini tidak akan semorat-marit seperti sekarang. Apalagi kalau Bawang
Putih benar-benar ada dan kita pilih jadi presiden. Nahitubaru... maknyoos! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar