AGAMA, diakui atau tidak,
dalam praktiknya acap kali menampilkan wajah paradoksal. Di satu sisi,
orang memasuki agama dan tekun mengerjakan seluruh ritus yang
diajarkannya untuk mencari kedamaian, ketenangan, bahkan juga kebahagiaan
eskatologis. Agama memompakan motivasi ihwal hidup yang tertib, saling
menghargai, dan menginjeksikan motivasi tentang keharusan mengembangkan ketajaman
nalar dan kehalusan pekerti untuk membangun peradaban luhur.
Agama menanamkan haluan tentang mencari
dan mengisi hidup dengan penuh ketenangan. Ketenangan yang diacukan ke
gerak dialektis transendental ketuhanan yang kemudian implikasinya
merembes dalam sejarah pengalaman keseharian. Berdamai dengan Tuhan,
berdamai dengan bumi, serupa dengan apa yang sampaikan salah seorang Nabi
Tuhan, Muhammad SAW, “Siapa yang dapat berdamai dengan
langit, maka dia pasti bisa berdamai dengan bumi.“
Agama diturunkan selalu sebagai counter
kultur terhadap budaya manusia yang telah tersekap
hedonisme-konsumerisme, terkerangkeng oleh pola hidup dan keyakinan yang
menyimpang dari fitrah kemanusiaan. Ia mengajak manusia melalui risalah
yang disampaikan para nabinya untuk merayakan hidup yang bertopang pada
kekuatan akal budi, kehangatan spiritual, kesantunan dalam membangun
relasi kemanusiaan yang dalam konteks Islam dirumuskan dengan ungkapan rahmatan lil alamin.
Namun, di sisi lain, tragisnya kita juga
menyaksikan agama sering kali menjadi pemantik munculnya berbagai bentuk
kekerasan. Agama yang ditafsirkan secara serampangan menjadi pembenaran
ilahiah untuk melakukan segala bentuk kejahatan. Agama dibajak
kepentingan politik dan sekelompok laskar untuk tujuan yang tidak jelas
arahnya, kecuali sekadar nafsu meneguhkan hasrat primitif kejemawaan akan
`keakuan' dan politik sempit perkauman. Itulah yang kita sebut dengan
kekerasan simbolis.
Orang melakukan kekerasan bukan hanya
merasa tidak bersalah, bahkan beranggapan bahwa kekerasan itu menjadi
pintu masuk meraih pahala Tuhan. Surga dalam keyakinannya dibarter dengan
sikap heroisme memberangus hal ihwal yang dianggap berseberangan dengan
pemahamannya, bertentangan dengan haluan agamanya.
Tuhan pun dihadirkan tidak lagi sebagai
zat yang penyayang, tapi lebih sebagai sosok pendendam, penghukum, dan
pemilik azab. Seolah Tuhan dengan teks-teks wahyu-Nya me rekomendasikan
kekerasan. Kekerasan menjadi seakan kehendak Tuhan, seolah sahih kalau
sudah mengatasnamakan agama.
Penafsiran
Keliru
Fenomena kedua inilah yang akhir-akhir
ini acap kali muncul ke permukaan . Tentu tidak ada yang salah dengan
agama dan teks keagamaan apalagi seandainya kesalahan itu dinisbahkan
secara metafisik kepada Tuhan. Kekeliruan itu sepenuhnya terletak pada
cara penafsiran kita terhadap teks itu. Penafsiran yang dicerabut dari
konteks sosial, ahistoris, dan sama sekali mengabaikan dinamika sosial
dan elan vital pesan universal dari wahyu itu.
Akibatnya sangat fatal, ayat-ayat tentang
jihad, misalnya, ditafsirkan secara serampangan. Fantasinya bukan ke
depan, melainkan sejarah masa silam dengan membangun imajinasi realitas
sosial yang dianggap `ideal', autentik, dan sesuai dengan yang diinginkan
Tuhan.
Yang muncul dari tafsir seperti itu,
alih-alih sikap dan penghayatan keberagamaan yang mencerahkan
(iluminasi), membawa perubahan yang manusiawi (transformatif ), dan
membebaskan dari perbudakan hawa nafsu dan nafsu kuasa-kebendaan
(liberasi), justru sebaliknya ialah `involusi teks'.
Terpenjara dalam kungkungan teks yang
sebermula telah diinterpretasikannya secara parsial, harfiah, ahistoris,
dan pada sikap susulannya menganggap kebenaran itu homogen. Melihat yang
lain sebagai keliru dan harus diluruskan, hatta lewat jalan kekerasan
sebagai satu bentuk panggilan Tuhan dan otomatis tindakan suci.
Seperti ditulis Haryatmoko (2010),
tindakan kekerasan, salah satunya, dapat dilihat sebagai proses mental,
yaitu gerak perubahan mulai cara melihat `yang lain', lalu
menstigmatisasi, merendahkan, menghancurkan, dan akhirnya membunuh. Suatu
kelompok cenderung mempertahan kan kemurnian identitas mereka melawan du
nia yang tidak murni penyebab dekadensi moral. Pembenaran simbolis agama
meneguhkan tekad, memperta jam permusuhan, dan memistis kan motif men
jadi perjuangan membela iman dan kebenaran.
Ricoeur (Haryatmoko, 2010) mengurai
alasan mengapa agama memperteguh moti vasi. Pertama, agama memberikan
identitas karena akta pendirian suatu kelompok diaktu alisasikan kembali
dengan representasi diri. Kedua, agama menumbuhkan keya kinan bahwa orang
berada dalam kontak dengan makna terdalam hidupnya. Ketiga, acuan ke
tujuan terakhir memberi pembenaran dan mendasari sikap kritis terhadap
tatanan yang ditolaknya.
Peran
Negara
Dalam konteks inilah negara sebagai
`institusi sekuler' yang telah mendapatkan mandat dari khalayak harus
tampil menyelesaikan hal ihwal kekerasan di ruang publik, termasuk
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Negara ialah `payung' masyarakat yang
wajib memberikan rasa teduh kepada semua penghuni `rumah bangsa',
menjamin rasa aman semua pengisinya di atas jaminan konstitusional dan
haluan realitas sosial yang plural dengan tetap mendistribusikan rasa
keadilan yang merata dan hukum yang tidak pandang bulu.
Binneka Tunggal Ika sesungguhnya satu
bentuk galian yang sangat berharga oleh leluhur kita soal cara mengelola
keragaman agar menjadi energi positif. Para leluhur itu dengan sangat
tajam tidak hanya mampu memotret realitas bangsa yang heterogen,
multietnik, dan multikultural dengan semangat persatuan dan kesatuan,
tetapi juga dengan jernih menawarkan tata kelola negara yang seharusnya
digerakkan para penyelenggaranya.
Sayang hari ini, awal abad ke21, dengan
pendidikan yang lebih maju dan perguruan tinggi yang menjamur, akses
informasi yang mudah dan pergaulan sosial yang semakin global, kita
ternyata tidak lebih cerdas daripada leluhur kita.
Hari ini justru sebagian anak bangsa baik
yang berada dalam sebagian institusi keagamaan atau politik dan keormasan
itu melakukan lompatan menikung. Mereka tidak hanya menafikan realitas
pluralisme, tetapi juga acap kali memaksakan kehendak mereka dengan
cara-cara yang jauh dari keadaban.
Tragisnya, negara tidak hadir ketika hal itu terjadi dengan telanjang di
depan mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar