Pergeseran politik nasional
kurun lima tahun terakhir cukup menarik. Muncul konsep-konsep teoretis
yang mencoba mengedepankan partai sebagai alat uji kemampuan politik.
Partai Islam, partai nasional,
dan partai yang berlabel sekuler (walaupun istilah itu mungkin tidak
banyak yang setuju jika partai non-agama disebut sekuler) bersaing
memperebutkan simpati masyarakat dengan jargon-jargon ’rakyat’. Namun,
sekali lagi, informasi dari media massa yang sudah semakin terbuka
membuat masyarakat tidak aneh lagi dengan isi perut lembaga yang disebut
partai politik.
Mereka laksana artis kondang
yang terus disorot kamera. Apalagi jika tersangkut kasus korupsi dan pelanggaran
etika, seakan semua mata memandang bahwa tingkah laku politikus berlaku
sama. Termasuk di dalamnya partai berlabel agama.
Partai Sebagai Simbol
Bertolak dari nilai-nilai
virtual itu, menarik apa yang ditulis Komaruddin Hidayat, ”Menimbang
Partai Agama” (Kompas, 20/2), mengenai tiga pilar utama kekalahan partai
(agama) Islam dalam panggung politik nasional. Bertolak dari pemikiran
Komaruddin, mari kita lihat secara linear pikiran-pikiran politik
keagamaan dengan konsep-konsep yang rasional tanpa melepaskan
konsesi-konsesi sejarah.
Rasa pesimistik yang dialami
Komaruddin Hidayat tampaknya menyeruak ke dalam legitimasi emosional
partai Islam yang belum berhasil mengedepankan partai Islam sebagai
simbol agama. Suatu simbol yang oleh Clifford Geertz (1973) dikatakan
sebagai satu sistem sosial. Dalam simbol orang bisa membangun sistem
nilai sepenuhnya. Jika tidak logis diperlukan sepenuhnya pada empiris
koersif, jika tidak maka pembenaran secara filosofis, atau empirik
universal.
Kosmologi keagamaan yang
diperjuangkan partai Islam belakangan ini memang mengalami delegitimasi
di masyarakat. Namun, bukan partai sebagai simbol, melainkan partai
sebagai person dan individu yang tidak taat pada fungsi-fungsi simbolik
yang dilegitimasikan ke dalam konsep berpartai.
Jika kita bernegara kemudian
presiden korup, bukan berarti negara tersebut harus ditutup atau disegel,
tetapi person yang melakukan kesalahan itu yang harus kena sanksi hukum.
Dalam konsep antropologis, negara adalah sistem simbol makro yang
memiliki legitimasi hukum internasional, partai adalah simbol mikro dalam
konsep dan undang-undang di satu negara.
”Islam yes partai Islam no”,
seperti Cak Nur agung-agungkan dalam periodisasi sekularistik ala Barat,
adalah satu upaya yang dipahami sebagai satu konsep yang memutuskan mata
rantai sejarah nasional Indonesia. Partai Islam memiliki peran aktif
dalam pembentukan legitimasi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan
terstruktur.
Terjadinya pembentukan
partai-partai agama, termasuk Kristen, dilatarbelakangi keberagaman
pemikiran yang mendorong toleransi budaya politik bagi kaum ulama atau
pendeta yang memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai agama yang harus
diperjuangkan. Periodisasi awal diadakan pemilu tahun 1955, yang
memunculkan banyak partai Islam, menjadi satu contoh sejarah nasional
bahwa betapa kaum agama ikut ambil bagian dalam perpolitikan nasional.
Benar bahwa Indonesia bukan
negara agama. Namun, harus diingat, partai Islam bukanlah satu ekses
mengubah negara RI menjadi negara Islam. Partai adalah satu simbol,
sebuah bendera yang melegitimasi politik kaum agama yang merasa kurang
pas ketika berada di partai lain. Jika, katakanlah, umat Islam tak
berafiliasi ke partai Islam, bukanlah akibat kesalahan partai Islam yang
tidak memberi kontribusi faktual pada bangsa, melainkan satu pilihan
konsesi belaka.
Pertama, kesalahan itu lebih
pada persoalan mentalitas dan manajerial akibat terkooptasi dengan
injeksi nilai-nilai politik yang dibentuk kalangan sekuleristik dan
birokratis. Kedua, mentalitas individu yang mengedepankan nafsu duniawi.
Ketiga, partai Islam dari sejarahnya memang tidak dibentuk untuk menjadi
mesin penggerak birokrasi di republik ini.
Agama sebagai bagian dari proses
ritualisasi individu tidak ditolak kebenarannya. Namun, dimensi lain adalah
satu fenomena yang mendasari pentingnya eksistensi partai Islam selama
republik ini masih ada, yakni kompensasi ritualitas kaum agama untuk
menyalurkan politik. Jika dikatakan bangsa ini sudah religius, bukan
berarti masyarakat sudah taat semua dengan kereligiusannya. Karena itu,
perlu ada satu lembaga politik yang memahami undang-undang etis dari sisi
agama, yang memberikan dorongan untuk terus mempertahankan
religiusitasnya. Partai sebagai simbol dan wadah gerakan sosial politik
umat Islam bisa memberikan payung bagi yang ingin berteduh.
Dalam konteks sejarah, partai
agama merupakan bagian dari sejarah yang tidak terpisahkan dari
perpolitikan di Indonesia. Dia memiliki peran penting walaupun sering
kali dipinggirkan dalam kondisi-kondisi tertentu.
Filosofis Makna
Interpretasi tentang partai-
partai Islam sesungguhnya satu filosofis makna, sebagai satu obyek
politik. Namun, partai Islam secara makro menjadi titik sentral
diferensiasi kebudayaan yang bertolak dari pemikiran sekularistik.
Setidaknya gambaran itu membius kaum sekularisme untuk memiliki
kaidah-kaidah yang bisa dipertanggungjawabkan nilai-nilai moral dan
agama.
Partai Islam saat ini memang
sebagai penyeimbang walaupun perannya tak sepenting partai sekuler.
Namun, partai tersebut bisa jadi fundamentalis jika terjadi pemberontakan
ideologis. Massa Islam akan mendukung kebijakan-kebijakan partai jika
kepentingan keagamaan dikebiri. Sebaliknya, partai itu bisa sekuler
dengan baju agama jika nilai-nilai tersebut tergradasi ke dalam pemahaman
yang sama dengan partai sekuler.
Zaman Orde Baru bisa dilihat
bagaimana massa PPP punya semangat keagamaan yang sangat tajam ketika
muncul kebijakan yang merugikan umat Islam. Mereka memberontak penuh
semangat ideologis ketika berlangsung kampanye pemilu. Di atas kertas,
massa Islam menghijaukan kota dan kampung, walau sebenarnya mustahil
partai Islam sebagai pemenang. Inilah problem partai Islam hingga kini.
Ada pihak yang fobia terhadap gerakan partai Islam yang sangat
dikhawatirkan kaum sekularisme.
Partisipasi politik partai Islam
tidak lain untuk mengedepankan pembangunan peradaban dari sisi agama,
dengan bertitik tolak tumbuhnya impuls-impuls sekularisme di semua lini.
Jika partai non-Islam memperjuangkan kelas sosial dalam arti lebih pada
norma-norma makro yang menggunakan standar ”sekuler” (karena ideologi tak
bisa dipisahkan dari penguasa dunia yang sekularistik dan kapitalistik
ala Barat), maka partai Islam paling tidak membawa wacana yang bisa
mengombinasikan antara sekularisme dan religiusitas.
Karena itu, tak tepat jika
dikatakan keberadaan partai Islam harus tidak ada. Sebab, secara
filosofis ia mengandung banyak makna. Secara historis punya arti penting
dalam perpolitikan Tanah Air, secara budaya membentuk kesatuan yang utuh
untuk membangun nilai-nilai bangsa ini kembali bertitik tolak pada agama
sebagai dimensi yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Emile
Durkheim mengatakan, agama adalah puncak kebudayaan yang paling
tertinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar