Selasa, 06 April 2021

 

Pandemi Rasisme di Amerika

 Lukas Luwarso ; Hubert Humphrey Fellow, Universitas Maryland, 2005-2006

                                                         KOMPAS, 05 April 2021

 

 

                                                           

Kekerasan bermotif rasisme terhadap warga keturunan Asia terus terjadi di Amerika setahun terakhir. Dua warga Indonesia dimaki, ditampar, dan dipukul di satu stasiun kereta di Philadelphia pada 25 Maret 2021.

 

Beberapa hari sebelumnya terjadi tragedi penembakan brutal di tiga lokasi di Atlanta yang menewaskan delapan orang, termasuk enam perempuan keturunan Asia.

 

Berbagai kasus kekerasan yang menimpa warga keturunan Asia disinyalir akibat pandemi. Virus Covid-19 yang kerap diberi label sebagai ”Chinese Virus” oleh Presiden Donald Trump memicu kebencian dan aksi kekerasan terhadap warga Asia. Menurut NBC News, sejak pandemi lebih dari 3.800 kasus kekerasan verbal dan fisik tercatat sampai pertengahan Maret ini.

 

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengajak warga melawan kebencian rasial saat berdialog dengan tokoh masyarakat keturunan Asia. Ia menyatakan, rasisme telah ”meracuni” Amerika.

 

Ia mendesak agar Kongres segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) antikejahatan rasial terkait virus korona. RUU tersebut diusulkan awal bulan ini oleh dua anggota kongres keturunan Asia. Apabila disahkan, RUU itu akan menjadi payung hukum bagi Departemen Kehakiman AS untuk memerangi rasisme.

 

Warga AS keturunan Asia, setahun terakhir, telah mengorganisir diri dalam kelompok Against Asian American and Pacific Islanders (AAPI) dan mengampanyekan ”Stop AAPI Hate”. Dibentuk pada Januari 2020, AAPI adalah respons atas meningkatnya kekerasan bermotif rasisme terkait pandemi.

 

AAPI mengadvokasi dan mendata kasus kekerasan yang terjadi. Selain itu, warga keturunan Asia, dilaporkan Forbes, banyak yang membeli senjata untuk berjaga-jaga membela diri melawan aksi rasisme.

 

Akar kekerasan

 

Amerika diguncang aksi unjuk rasa besar terkait rasisme pada pertengahan 2020. Rangkaian aksi yang berlangsung beberapa minggu di berbagai kota itu melibatkan 20 juta warga. Aksi dilakukan sebagai solidaritas atas terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam, di Minneapolis, Mei lalu. Pelaku pembunuhan adalah perwira polisi kulit putih.

 

Mengusung slogan ”Black Lives Matter”, aksi unjuk rasa itu menuntut reformasi di bidang hukum. Termasuk menuntut agar anggaran kepolisian dipangkas dan dialihkan untuk program sosial. Slogan #BlackLivesMatter sudah dikampanyekan sejak 2013 untuk merespons sejumlah kematian warga kulit hitam akibat kebrutalan polisi. Akan tetapi, polisi pelaku kekerasan sering divonis bebas.

 

Kematian George Floyd mengeskalasi aksi unjuk rasa menjadi kekerasan, perusakan, dan penjarahan di sejumlah kota besar di Amerika. Eskalasi itu mengekspresikan kemarahan terhadap sikap rasis aparat kepolisian saat terjadi pandemi. Ironisnya, kini sebagian warga AS menumpahkan kejengkelan akibat pandemi dengan menyerang warga keturunan Asia.

 

Rasisme selalu mewarnai berbagai aspek perjalanan sejarah Amerika. Rasisme telah berurat berakar, bersifat sistemik, bahkan pernah berkekuatan hukum. Sejumlah kebijakan dan aturan hukum yang diskriminatif terhadap ras nonkulit putih pernah diberlakukan di AS.

 

Warga kulit putih keturunan Eropa, spesifik White Anglo Saxon Protestant (WASP), menikmati previlese sebagai warga kelas satu. Mereka mendapat kemudahan dalam akses pendidikan, keimigrasian, dan proses hukum.

 

Sikap rasisme berakar dalam sejarah terbentuknya negara Amerika. Rasialisme lahir dalam kandungan kolonialisme dan kapitalisme. Dimulai dari penaklukan bangsa dan ras. Memperlakukan ras yang ditaklukkan sebagai budak, dipaksa untuk menggerakkan mesin kapitalisme.

 

Warga asli Amerika (native), Indian, dibantai dan disingkirkan sejak kedatangan imigran Eropa pada abad ke-15. Warga Afrika didatangkan dengan paksa, diperdagangkan sebagai budak. Hingga saat ini, diskriminasi terhadap warga asli dan warga kulit hitam masih terjadi. Sikap diskriminatif juga pernah menimpa imigran Eropa non-Protestan, menimpa warga Yahudi, Hispanik, Irlandia, Polandia, dan Italia.

 

UU Naturalisasi (Naturalization Act of 1790), yang mengatur pemberian kewarganegaraan bagi imigran, awalnya dibatasi berlaku hanya untuk warga kulit putih. Warga Indian baru mendapatkan hak kewarganegaraan secara resmi pada 1924, melalui Indian Citizenship Act of 1924. Imigran dari Asia sampai 1917 masih dilarang sesuai aturan yang dikenal sebagai The Asiatic Barred Zone Act of 1917.

 

Amerika pascarasial

 

Secara legal formal, sikap diskriminatif Amerika terhadap warga nonkulit putih sudah dihapus pada pertengahan abad ke-20. Namun, karakter rasis belum bisa lenyap dari kultur Amerika. Ketidaksetaraan sosio-ekonomi terus terjadi dan politik rasial terus berlangsung. Kesenjangan ekonomi antara warga Kaukasian dan non-Kaukasian terus meningkat dalam soal pendapatan, kepemilikan rumah, dan pendidikan.

 

Bahkan, figur sekaliber Barack Obama, presiden berkulit hitam pertama Amerika, juga mengalami perundungan rasial selama kepemimpinannya. Status kewarganegaraan, agama, dan tempat kelahirannya dipersoalkan. Hinaan dan fitnah dikampanyekan terhadap presiden—ironisnya—oleh Donald Trump, presiden yang menggantikannya.

 

Terpilihnya Obama sebagai presiden dua periode (2008-2016) sempat dianggap sebagai pertanda Amerika bakal lepas dari kubangan rasisme. Amerika bisa menerima warga kulit berwarna sebagai presiden. ”Amerika pascapartisan dan pascarasial,” dalam istilah Lou Dobbs, penyiar media konservatif populer. Namun, fakta tidak mendukung optimisme itu. Sejumlah survei mengindikasikan warga non-Kaukasian masih terus mengalami diskriminasi, termasuk terus berulangnya insiden kekerasan polisi terhadap warga kulit-berwarna.

 

Terpilihnya presiden kulit hitam pertama, Obama, justru memunculkan reaksi-rasis balik (racist backlash). Juga menguatnya sentimen white supremacist. Era Obama justru menyediakan panggung bagi munculnya Donald Trump sebagai politisi populis. Bermunculanlah para pemandu sorak kalangan white nationalist dan alt-right. Mereka menggaungkan politik identitas supremasi kulit putih dan berhasil memenangkan Trump sebagai presiden.

 

Satu periode menjadi presiden, Trump ”berhasil” membangkitkan sentimen rasial supremasi kulit putih di Amerika. Ia mengeluarkan berbagai kebijakan anti-imigrasi, termasuk membangun dinding perbatasan dengan Meksiko. Ia memuntahkan berbagai istilah diskriminatif melalui Twitter, menyebut pandemi Covid-19 sebagai ”kungflu” atau ”virus China”. Juga menyuarakan slogan ”send them back” yang ditujukan kepada sejumlah anggota kongres kulit berwarna yang bukan terlahir di Amerika.

 

Trump bukan politisi pertama yang memainkan kartu rasisme. Politik Amerika selalu diwarnai isu rasial untuk upaya menggaet suara. Richard Nixon memakai strategi ”waspada kekuatan kulit hitam” (Southern Strategy) pada pemilihan presiden era 1960-an. Sentimen rasialis ia pakai untuk menyebar rasa takut dan mendulang suara warga kulit putih di wilayah selatan.

 

Tugas berat Presiden Biden, empat tahu ke depan, adalah melawan sikap rasisme. Kekerasan rasial bakal meningkat seiring dengan memburuknya kondisi ekonomi dan sosial karena pandemi. Pasti tidak mudah untuk menegakkan prinsip kesetaraan, keadilan, dan demokrasi di negara yang selalu didera problem rasialisme dan diskriminasi. Sekalipun prinsip itu jelas tertuang dalam konstitusi Amerika.

 

Saat berkampanye untuk pemilihan presiden, Biden menyuarakan slogan ”Bertarung untuk Jiwa Bangsa” (Battle for the soul of the nation). Dan, ia memenangi pertarungan babak pertama, terpilih menjadi presiden. Menggusur demagog Trump yang rasis. Namun, masih banyak pertarungan yang perlu ia menangi.

 

Biden perlu memperkuat legislasi untuk melindungi kesetaraan dan keadilan bagi semua warga Amerika apa pun warna kulitnya. Memastikan institusi negara dan aparat hukum bersikap imparsial dan fair. Juga meyakinkan separuh warga pemilih Trump, mereka yang masih terjangkiti virus rasisme. Biden perlu tegas dan serius membasmi pandemi rasisme yang terus menginfeksi Amerika. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar