100
Tahun Usmar Ismail, Momentum Merebut Hak Politik Garin Nugroho ; Sutradara, Budayawan |
KOMPAS,
04 April
2021
Perayaan 100 tahun Usmar Ismail (lahir di
Bukittingi, 20 maret 1921) dan Hari Film Nasional (30 maret) mengingatkan
obrolan saya dengan almarhum sutradara Djaduk Djajakusuma di ruang mengajar
di Institut Kesenian Jakarta (1983). Perlu dicatat, Usmar Ismail dan Djaduk
bersama memproduksi beberapa film, termasuk film karya Djaduk, Harimau Tjampa
(1953). Djaduk tentang Usmar menyatakan, ”Ia tidak
saja sutradara film, tetapi juga pribadi yang lengkap. Ia sastrawan dan
teaterwan lewat cerpen, puisi, sekaligus karya panggungnya. Ia penulis dan
redaktur surat kabar. Ia melahirkan beragam organisasi film ataupun politik,
bahkan mendirikan pub pertama di Jakarta. Usmar selalu berusaha merebut hak
perlindungan atas film Indonesia. Ia pernah menggampar manajer bioskop yang
memprioritaskan film Amerika ketimbang filmnya, mungkin juga karena ia
militer. Ia berani memproduksi film yang pro-kontra berkait isu sensualitas.” Menelusuri jejak Usmar terasa bahwa
pascakemerdekaan dipenuhi harapan baru. Usmar dengan berbagai cara membuat
karya berkualitas sekaligus merebut penonton, bahkan sering karya
komersialnya untuk menyubsidi karya berkualitasnya. Simak karya Darah dan Doa
(1950) hingga Lewat Jam Malam (1954), karya-karya yang banyak dipengaruhi
gerakan film Eropa, seperti Neo Realisme Italia. Bahkan, hari pertama shooting film Darah
dan Doa dijadikan sebagai Hari Film Nasional meski terdapat kritik bahwa
pilihan tersebut lebih menitikberatkan aspek nasionalisme yang sedang melanda
negara pascamerdeka ketimbang aspek sejarah film. Simak pula, karya komersial, seperti Krisis
(1953) hingga Tiga Dara (1956), ataupun karya yang langka dilihat, yakni
Korban Fitnah (1961) yang diedarkan ke Malaysia. Dalam film Korban Fitnah
itu, Usmar sebagai sutradara menggunakan nama samaran berbau India, ”PL.
Kapoor” untuk menarik penonton. Lebih dari itu, Usmar memiliki kesadaran
berorganisasi untuk merebut hak politik. Yang dimaksud hak politik adalah
berbagai hak perlindungan dan pengembangan insan film, baik aspek pendidikan,
ekonomi, maupun budaya. Usmar mendirikan Perfini (9 maret 1950) dan ATNI
(Akademi Teater Nasional Indonesia, 1955) yang menjadi cikal bakal Asdrafi
(Seni Drama dan Film Indonesia). Jangan lupa, Usmar juga pernah mengenyam
pendidikan di Universitas California, Amerika Serikat. Dalam kiprah politiknya, tahun 1962, ia
mendirikan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), yang
membawanya menjadi anggota DPR Gotong Royong (1966-1969). Tahun 1967, ia
menjadi ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional, melahirkan Pola Pembinaan
Perfilman Nasional. Teknokrat
Film Catatan di atas menunjukkan, di setiap
lompatan sejarah film, terdapat teknokrat organisasi film. Sumber daya
manusia unggul di dunia film yang mempunyai keahlian dan strategi dalam
organisasi guna memengaruhi terwujudnya berbagai kebijakan pemerintah berkait
film. Salah satu teknokrat paling berpengaruh di dunia film dari Asia adalah
Kim Dong-ho, pendiri dan direktur awal Busan Film Festival (1996) yang
menjadi pegas lompatan industri film Korea Selatan. Kim Dong-ho memimpin Busan ketika berumur
59 tahun. Sebelumnya, ia menjabat berbagai posisi birokrasi Kementerian
Budaya dan Dewan Film. Sebuah usia yang sulit diterima di Indonesia untuk
membangkitkan semangat independen. Namun, ternyata kepiawaiannya
berorganisasi, pengalamannya di birokrasi, serta keluasan jaringannya, baik
swasta maupun pemerintah, menjadikan ide-ide baru anak muda di perfilman
Korea mendapatkan pijakan kebijakan pemerintah dan swasta dalam skala makro
industri kreatif Korea. Kendati harus melalui negosiasi berbagai kepentingan
konflik politik orde lama dan baru Korea. Sejarah film Indonesia mencatat sosok
sutradara Syumanjaya yang menjadi Direktur Direktorat Film Departemen
Penerangan (1967), mampu melahirkan kebijakan strategis melindungi film
nasional, yakni lewat SK Menteri Penerangan Nomor 71 Tahun 1967 tentang
pengumpulan dana impor yang digunakan untuk produksi film nasional. Ini mampu
membangkitkan film nasional yang dilanda krisis. Momentum
atau euforia? Pascareformasi dicirikan oleh lahirnya
berbagai lembaga publik independen berkait profesi sesuai tuntutan demokrasi.
Salah satunya, BPI (Badan Perfilman Indonesia), dewan tertinggi dalam
organisasi film Indonesia. Ironisnya, BPI lahir dari perangkat peraturan
hukum yang lemah, kehilangan status independen dan sistem anggaran keuangan
bagi daya hidup organisasi. Hal ini juga terjadi terhadap Dewan Pers meski
kemudian teknokrat Dewan Pers mampu duduk bersama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informasi guna menjalankan Dewan Pers sebagai lembaga
independen berikut anggaran keuangan dengan keterbatasannya. Celakanya, dunia film tidak memiliki
teknokrat untuk bernegosiasi dalam memecahkan status dan peran BPI dengan
genuine. Kenyataan menunjukkan, organisasi film pascareformasi masih
dijalankan mereka yang aktif membuat film, bukan teknokrat film yang berfokus
pada organisasi. Bisa diduga, pada masa awal pascareformasi, dinamika merebut
hak politik film masih bersifat parsial dan isu kasuistik sering masih
sekadar untuk kepentingan kelompoknya. Di sisi lain, lemahnya status dan peran BPI
justru di tengah kemenangan kreatif generasi baru film, mewujudkan
kebangkitan film Indonesia pascareformasi. Generasi ini mampu mencapai era
emas 1998-2019, jumlah penonton mencapai 50 juta dan produksi film tahun 2019
mencapai 140 film. Meski peran BFI masih lemah, dengan segala keterbatasan,
organisasi profesi, mulai dari kamera hingga sutradara, serta berbagai ajang,
seperti Festival Film Indonesia, tetap berjalan, bahkan di tengah pandemi,
lewat fasilitasi Kemendikbud. Momen 100 tahun Usmar Ismail mengisyaratkan,
bangunan puncak emas film selalu berumur pendek. Untuk membangun ekosistem
film yang bertumbuh lokal-global jangka panjang layaknya Korea, tidak cukup
hanya dengan kemenangan kreatif para pembuat film ataupun semata kekuatan
rumah produksi komersial, tetapi juga dengan kemampuan membangun organisasi
profesi dengan status dan peran independen. Ini diperlukan agar mampu menjawab tuntutan
zaman lewat strategi jangka panjang yang progresif. Terlebih di era pandemi
dan ekosistem media baru yang menuntut strategi baru agar era emas tidak
menjadi euforia dan berumur pendek. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar