Etos
Pembaruan dalam Pendidikan dan Kepemudaan Bambang Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Pengecambahan sains dan teknologi adalah
unsur pembangunan jiwa, negara, dan bangsa yang berkelanjutan kebangsaannya. Kita ingat universitas, seperti halnya
gedung parlemen dan katedral, merupakan hasil karya abad pertengahan,
peninggalan Roma dan Yunani. Padahal, masyarakat Yunani dan Romawi purba tidak
mengenal universitas seperti sekarang. Pada waktu itu pelajar datang mencari
guru. Instruksi pendidikan, misalkan ilmu hukum
dan falsafah, tidak terstruktur dalam kelembagaan seperti fakultas atau
jurusan. Mereka bersimpuh mendengarkan ajaran sang guru. Sokrates tidak pernah memberi diploma,
tetapi muridnya datang dari segala penjuru ”dunia”. Mereka berdialog,
bertukar pikiran, tidak hanya menghafal. Kalau Sokrates puas, pencari ilmu
itu dipercaya untuk mandiri dan menumbuhkan pusat pemikiran baru. Penanda
legitimasi Legitimasi tidak ditandai dengan diploma,
tetapi dari pancaran wibawa, kecakapan, dan wawasan pembaruan dalam alam
pikir novice itu. Tradisi itu pernah ada ketika para pemuda
dari penjuru Nusantara datang menemui ”pendito” untuk mencantrik. Tali-temali
intelektual pendito-cantrik itu begitu indah dan menghasilkan, pada waktunya
membuat Bandung (kemudian ITB) disebut sebagai pusat-pusat pengecambahan
pemikiran dan kepribadian. Kepercayaan sistem terbentuk oleh kemampuan
novice membesarkan pusat unggulan, mengetengahkan pemikiran dan kajian. Konsep dasar menuju ke puncak piramida
kekuatan keilmuan, bukan kekuasaan, tertata menurut jenjang
pertanggungjawaban keilmuan sesuai dengan standar keunggulan. Postur itu
memperoleh pengakuan karena pancaran jiwa dan disiplin individu yang
bijaksana. Kemudian, lahirlah organisasi terstruktur
untuk memberikan pengajaran, menandai atribut universitas yang kita kenal.
Dalam batas tertentu, universitas kita adalah ahli waris Paris dan Bologna,
atau Leiden dan Amsterdam, bukan Athena atau Alexandria. Sebagian warisan itu masih tampak, tetapi
sebagian lagi terkikis pertumbuhan kebudayaan setempat. Satu hal yang patut
kita cermati, universitas abad pertengahan itu tidak mengenal ”himpunan
mahasiswa” karena universitas sudah built of men. Universitas adalah
”masyarakat mahasiswa”, ”University itself was fundamentally a society of
students”. Menurut De Conde (1971), sebuah masyarakat
yang mempunyai hak khusus, tetapi terhormat dan berat tanggung jawabnya. Hal
lain yang menarik ialah mahasiswa memasuki gerbang universitas karena dia
mencari guru, mencari orang arif, bukan program studi atau fakultas (begitu
seharusnya). Tradisi ini masih bisa dapat diamati di beberapa sentra
pendidikan tinggi abad ke-20. Mahasiswa berpindah dari satu mazhab
pendidik ke mazhab lain hanya karena ”mencari” guru atau mengikuti
”leermeester” yang berpindah. Kehidupan kemahasiswaan—kita baca
kepemudaan—mengelit rangkaian warisan, turun-temurun dibawa ke Bandung,
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan lain kota universitas. Warisan yang
terbentuk selama 700 tahun adalah militansi. Mahasiswa adalah agen tepercaya
melawan ketidakadilan. Peran mengkritik mereka merupakan aset
istimewa dalam struktur sosial yang tertindas, tetapi harus mencerminkan
pembaruan budaya bangsanya. Dengan mempergunakan universitas sebagai tempat
berteduh (atau berlindung?), mereka merupakan kelompok dalam tatanan
otoritarian yang masih dapat berdebat, mengkritik, dan berjuang membesarkan
kebangsaannya. Daya
guna gerakan Gerakan mahasiswa mencatat berbagai daya
guna di negara berkembang sehingga lahir adagium, untuk mengerti struktur
politik suatu negara (berkembang), harus mengerti peran mahasiswa. Pemimpin
pemerintahan seharusnya peka dan mampu memanfaatkan kekuatan mahasiswa (Marx,
1999). Dalam perjalanan hidup kepemudaan atau
kemahasiswaan selalu diperoleh pengejawantahan jati diri. Sering kita temui
pengelompokan yang dapat memicu permusuhan dari luar karena selalu ada
kelompok yang sadar dan berani melawan kebiasaan dan tabiat tidak terpuji di
lingkungannya. Jiwa zaman yang tumbuh dari kemelut sosial
dan budaya sewaktu memberi warna khas tiap lapisan. Gerak mahasiswa tahun
1965 berbeda dengan gerakan tahun 1998, dan berbeda pula dengan motif 2008. Tiada tujuan lain dari gerakan mahasiswa,
kecuali mengubah keadaan menjadi baik. Memang hal itu penting, tetapi yang
terpenting adalah membangun pascagerakan. Bersama dengan proses pengubahan
itu, seharusnya lahir pula upaya penegakan keseimbangan moral antara hak dan
kewajiban, antara individu dan masyarakat, antara kekhasan dan nilai
universal. Kekhasan Indonesia tidak boleh hanya
dilihat sebagai batasan, tetapi sebagai nilai tambah. Hak istimewa generasi
muda yang terhimpun dalam suatu universitas itu patut disyukuri. Namun,
berbarengan dengan hak itu, ada sederet kewajiban. Dalam himpunan yang
membentuk ”kelas” dengan pagar etik dan norma, gerakan itu harus mempunyai
vektor, menuju arah perbaikan bersama. Definisi grup biasanya dibungkus oleh
selimut kebersamaan informasi, rasa, dan, tidak kurang pentingnya, tujuan.
Sementara grup itu membangun ruang wadah spasial yang memang vital, dia tidak
boleh melupakan tantangan lingkungan dan janji awal untuk melegitimasi grup
itu. Kini kita hidup dalam masa ”reformasi”
terus-menerus. Dengan etos pembaruan yang tidak boleh melumer ketika massa
reformasi berubah menjadi masa transisi tanpa batas waktu. Ini karena nilai
dan interest yang mengecambah pada tahun sebelumnya belum sempat memperoleh
perhatian. Kita tidak hanya belum sempat mengubah
nilai dan etika internal, tetapi juga tidak mengubah nilai eksternal yang
harus dan perlu diperbaiki. Di luar kelompok kepemudaan atau kemahasiswaan,
masih hidup dengan kelompok lain dengan beragam norma dan etika. Berita dominan dalam media massa dewasa ini
berupa tingkah laku menyimpang banyak pemimpin. Dilihat melalui kaca
pembesar, hal itu memperlihatkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis
”moral”. Melihat kembali sejarah pendidikan moral,
semenjak ”Republik”-nya Plato dan ”Politik”-nya Aristoteles pun kita melihat
moralitas memang harus selalu menjadi perhatian. Membentuk organisasi
kemasyarakatan harus berawal dari moralitas kokoh. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar