Rabu, 10 Maret 2021

 

Etos Pembaruan dalam Pendidikan dan Kepemudaan

 Bambang Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

                                                        KOMPAS, 09 Maret 2021

 

 

                                                           

Pengecambahan sains dan teknologi adalah unsur pembangunan jiwa, negara, dan bangsa yang berkelanjutan kebangsaannya.

 

Kita ingat universitas, seperti halnya gedung parlemen dan katedral, merupakan hasil karya abad pertengahan, peninggalan Roma dan Yunani. Padahal, masyarakat Yunani dan Romawi purba tidak mengenal universitas seperti sekarang. Pada waktu itu pelajar datang mencari guru.

 

Instruksi pendidikan, misalkan ilmu hukum dan falsafah, tidak terstruktur dalam kelembagaan seperti fakultas atau jurusan. Mereka bersimpuh mendengarkan ajaran sang guru.

 

Sokrates tidak pernah memberi diploma, tetapi muridnya datang dari segala penjuru ”dunia”. Mereka berdialog, bertukar pikiran, tidak hanya menghafal. Kalau Sokrates puas, pencari ilmu itu dipercaya untuk mandiri dan menumbuhkan pusat pemikiran baru.

 

Penanda legitimasi

 

Legitimasi tidak ditandai dengan diploma, tetapi dari pancaran wibawa, kecakapan, dan wawasan pembaruan dalam alam pikir novice itu.

 

Tradisi itu pernah ada ketika para pemuda dari penjuru Nusantara datang menemui ”pendito” untuk mencantrik. Tali-temali intelektual pendito-cantrik itu begitu indah dan menghasilkan, pada waktunya membuat Bandung (kemudian ITB) disebut sebagai pusat-pusat pengecambahan pemikiran dan kepribadian.

 

Kepercayaan sistem terbentuk oleh kemampuan novice membesarkan pusat unggulan, mengetengahkan pemikiran dan kajian.

 

Konsep dasar menuju ke puncak piramida kekuatan keilmuan, bukan kekuasaan, tertata menurut jenjang pertanggungjawaban keilmuan sesuai dengan standar keunggulan. Postur itu memperoleh pengakuan karena pancaran jiwa dan disiplin individu yang bijaksana.

 

Kemudian, lahirlah organisasi terstruktur untuk memberikan pengajaran, menandai atribut universitas yang kita kenal. Dalam batas tertentu, universitas kita adalah ahli waris Paris dan Bologna, atau Leiden dan Amsterdam, bukan Athena atau Alexandria.

 

Sebagian warisan itu masih tampak, tetapi sebagian lagi terkikis pertumbuhan kebudayaan setempat. Satu hal yang patut kita cermati, universitas abad pertengahan itu tidak mengenal ”himpunan mahasiswa” karena universitas sudah built of men. Universitas adalah ”masyarakat mahasiswa”, ”University itself was fundamentally a society of students”.

 

Menurut De Conde (1971), sebuah masyarakat yang mempunyai hak khusus, tetapi terhormat dan berat tanggung jawabnya. Hal lain yang menarik ialah mahasiswa memasuki gerbang universitas karena dia mencari guru, mencari orang arif, bukan program studi atau fakultas (begitu seharusnya). Tradisi ini masih bisa dapat diamati di beberapa sentra pendidikan tinggi abad ke-20.

 

Mahasiswa berpindah dari satu mazhab pendidik ke mazhab lain hanya karena ”mencari” guru atau mengikuti ”leermeester” yang berpindah.

 

Kehidupan kemahasiswaan—kita baca kepemudaan—mengelit rangkaian warisan, turun-temurun dibawa ke Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan lain kota universitas. Warisan yang terbentuk selama 700 tahun adalah militansi. Mahasiswa adalah agen tepercaya melawan ketidakadilan.

 

Peran mengkritik mereka merupakan aset istimewa dalam struktur sosial yang tertindas, tetapi harus mencerminkan pembaruan budaya bangsanya. Dengan mempergunakan universitas sebagai tempat berteduh (atau berlindung?), mereka merupakan kelompok dalam tatanan otoritarian yang masih dapat berdebat, mengkritik, dan berjuang membesarkan kebangsaannya.

 

Daya guna gerakan

 

Gerakan mahasiswa mencatat berbagai daya guna di negara berkembang sehingga lahir adagium, untuk mengerti struktur politik suatu negara (berkembang), harus mengerti peran mahasiswa. Pemimpin pemerintahan seharusnya peka dan mampu memanfaatkan kekuatan mahasiswa (Marx, 1999).

 

Dalam perjalanan hidup kepemudaan atau kemahasiswaan selalu diperoleh pengejawantahan jati diri. Sering kita temui pengelompokan yang dapat memicu permusuhan dari luar karena selalu ada kelompok yang sadar dan berani melawan kebiasaan dan tabiat tidak terpuji di lingkungannya.

 

Jiwa zaman yang tumbuh dari kemelut sosial dan budaya sewaktu memberi warna khas tiap lapisan. Gerak mahasiswa tahun 1965 berbeda dengan gerakan tahun 1998, dan berbeda pula dengan motif 2008.

 

Tiada tujuan lain dari gerakan mahasiswa, kecuali mengubah keadaan menjadi baik. Memang hal itu penting, tetapi yang terpenting adalah membangun pascagerakan. Bersama dengan proses pengubahan itu, seharusnya lahir pula upaya penegakan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, antara kekhasan dan nilai universal.

 

Kekhasan Indonesia tidak boleh hanya dilihat sebagai batasan, tetapi sebagai nilai tambah. Hak istimewa generasi muda yang terhimpun dalam suatu universitas itu patut disyukuri. Namun, berbarengan dengan hak itu, ada sederet kewajiban. Dalam himpunan yang membentuk ”kelas” dengan pagar etik dan norma, gerakan itu harus mempunyai vektor, menuju arah perbaikan bersama.

 

Definisi grup biasanya dibungkus oleh selimut kebersamaan informasi, rasa, dan, tidak kurang pentingnya, tujuan. Sementara grup itu membangun ruang wadah spasial yang memang vital, dia tidak boleh melupakan tantangan lingkungan dan janji awal untuk melegitimasi grup itu.

 

Kini kita hidup dalam masa ”reformasi” terus-menerus. Dengan etos pembaruan yang tidak boleh melumer ketika massa reformasi berubah menjadi masa transisi tanpa batas waktu. Ini karena nilai dan interest yang mengecambah pada tahun sebelumnya belum sempat memperoleh perhatian.

 

Kita tidak hanya belum sempat mengubah nilai dan etika internal, tetapi juga tidak mengubah nilai eksternal yang harus dan perlu diperbaiki. Di luar kelompok kepemudaan atau kemahasiswaan, masih hidup dengan kelompok lain dengan beragam norma dan etika.

 

Berita dominan dalam media massa dewasa ini berupa tingkah laku menyimpang banyak pemimpin. Dilihat melalui kaca pembesar, hal itu memperlihatkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis ”moral”.

 

Melihat kembali sejarah pendidikan moral, semenjak ”Republik”-nya Plato dan ”Politik”-nya Aristoteles pun kita melihat moralitas memang harus selalu menjadi perhatian. Membentuk organisasi kemasyarakatan harus berawal dari moralitas kokoh. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar