Belajar dari Krisis Utang Yunani
Sunarsip
; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
|
JAWA POS, 06 Juli 2015
PADA 30 Juni lalu, IMF memasukkan Yunani sebagai negara
maju pertama yang mengalami gagal bayar (default) utang. Yunani seharusnya
membayar utang senilai EUR 1,55 miliar (USD 1,73 miliar) kepada IMF. Namun,
hingga tanggal tersebut, Yunani tidak kunjung mentransfer dana ke IMF. Bila
status tersebut tidak berubah hingga 12 bulan ke depan, IMF akan menyatakan
Yunani sebagai negara yang tidak kooperatif (non-cooperative). Dengan status
tersebut, Yunani berpotensi dijauhi kreditor yang lain.
Bukan hanya kepada IMF, Yunani juga memiliki utang kepada
kreditor utama yang bergabung dengan Troika. Yaitu, Komisi Eropa, Bank
Sentral Eropa/ECB, dan IMF. Total utang yang jatuh tempo pada 2015 dan 2017
adalah EUR 29,15 miliar (USD 32,52 miliar). Sementara itu, total utang
pemerintah Yunani saat ini diperkirakan EUR 320,4 miliar atau 180,2 persen
dari PDB.
Tingginya utang Yunani itu tidak terlepas dari kebijakan
masa lalu. Yunani bergabung dengan zona euro pada 2001. Padahal, Yunani
sejatinya belum layak bergabung karena tidak memenuhi persyaratan fiskal
berupa rasio utang maksimal 60 persen dari PDB dan defisit fiskal maksimal 3
persen dari PDB. Yunani diduga ''memoles'' kondisi fiskal agar bisa bergabung
dengan zona euro.
Pertanyaannya, mengapa Yunani memaksakan diri bergabung
dengan euro?
Zona euro adalah gabungan dari negara-negara Eropa dengan
kekuatan ekonomi yang besar dan maju. Lembaga pemeringkat kredit menilai,
zona euro memiliki peringkat utang yang kuat. Bahkan, beberapa di antara
mereka adalah superior ''AAA'' (peringkat tertinggi). Dengan begitu, biaya
penerbitan surat utang oleh negara-negara tersebut menjadi lebih murah karena
risikonya rendah.
Nah, dari situlah awal petaka utang Yunani. Begitu masuk
zona euro, peringkat utang Yunani terkerek naik. Menurut Fitch, rating Yunani
meningkat dari BBB+ pada Maret 2000 menjadi A- (Juli 2000), lalu naik menjadi
A pada Juni 2001, kemudian bertahan di level A dan A+ hingga 2009. Dengan
peringkat utang yang baik tersebut, Yunani menjadi lupa diri dengan menumpuk
utang tanpa khawatir dengan beban pembayaran pada masa depan. Terlebih lagi,
utang tersebut ditopang oleh kinerja pertumbuhan ekonomi Yunani yang baik;
rata-rata tumbuh di atas 6 persen pada 2001-2008.
Kini, bila dibandingkan dengan posisinya pada 2001, utang
Yunani naik lebih dari 100 persen. Di sisi lain, kinerja perekonomian Yunani
melemah dan sejak 2009 mengalami pertumbuhan negatif (kontraksi). Akibatnya,
kini kemampuan Yunani membayar utang semakin turun.
Kondisi itu akhirnya menggiring Yunani masuk ke program
bailout yang ditawarkan Troika pada Mei 2010. Dalam program bailout tersebut,
Yunani akan memperoleh dana talangan hingga EUR 245 miliar. Pengucuran dana
dilakukan secara bertahap dengan melihat capaian implementasi persyaratan
yang diminta Troika. Yaitu, Yunani harus menjalankan program pengetatan
fiskal (austerity), privatisasi BUMN, dan melakukan reformasi struktural dalam
kerangka pengawasan IMF. Singkatnya, sejak 2010 Yunani menjadi ''pasien''
IMF, mirip dengan yang dialami Indonesia pada 1998.
Dalam perjalanannya, program austerity memang berlangsung dengan baik. Namun, bergantinya
rezim di Yunani membuat program austerity berhenti. Perdana Menteri Yunani
Alexis Tsipras saat ini, yang juga merupakan pemimpin Partai Syriza yang
memenangi pemilu pada 25 Januari 2015 menolak melanjutkan program austerity.
Tsipras bahkan meminta Troika bersedia merestrukturisasi utang senilai EUR
175 miliar yang telah dikucurkan sejak program bailout diberikan pada 2010.
Akibat tidak ditemukannya titik temu antara Yunani dan Troika, Yunani
terancam terpental dari Euro (grexit, greek exit).
Dari kasus krisis utang Yunani tersebut, tentunya banyak
hal yang perlu dicermati, khususnya sikap kita dalam memandang persoalan
utang Indonesia. Pertama, indikator kesehatan utang tentu tidak bisa dilihat
hanya dari ''gambar besarnya, yaitu perbandingan antara posisi utang dan PDB.
Saat ini utang pemerintah kita memang hanya sekitar 25 persen dari PDB.
Namun, beban pembayarannya sudah sangat tinggi. Rasio pembayaran utang
terhadap penerimaan ekspor (debt to
service ratio/DSR) terus naik. Saat ini DSR kita sudah di atas 50 persen,
jauh di atas standar normal 20-30 persen.
Kedua, kemampuan mobilisasi penerimaan negara dalam APBN
untuk membayar utang juga menurun seiring dengan rendahnya capaian penerimaan
perpajakan. Di sisi lain, akibat rendahnya penerimaan perpajakan tersebut,
frekuensi utang baru menjadi semakin cepat. Sebagai indikasi, dalam lima
bulan pertama 2015 ini, pemerintah telah menarik utang baru Rp 189,3 triliun
dari target Rp 452,2 triliun. Risiko terlampauinya target utang itu bisa
terjadi.
Mengingat, target pajak dalam APBN 2015 yang sangat tinggi dan
sangat mungkin tidak akan tercapai. Konsekuensinya, untuk menutupi kekurangan
belanja negara, defisit APBN harus ditambah. Bila tidak bisa ditutupi dari
sumber yang lain, utang baru harus dilakukan.
Saya melihat, pengaruh krisis utang Yunani terhadap
perekonomian Indonesia tidak akan besar. Ini mengingat, di Eropa sendiri
dampak krisis Yunani tersebut relatif kecil. Ekonomi Euro, sebagaimana
dilaporkan Markit (3 Juli 2015), tetap membaik. Kebijakan quantitative easing (QE) yang
diluncurkan ECB turut membantu negara-negara Euro meningkatkan kinerja
ekonominya. Tercatat, indeks pembelian manufaktur (PMI) Euro meningkat dari
53,6 pada Mei 2015 menjadi 54,2 pada Juni 2015.
Namun, otoritas ekonomi kita perlu mengantisipasi dampak
yang disebabkan sentimen negatif dari krisis utang Yunani itu. Sebab, berita
tentang krisis utang Yunani dapat menimbulkan sentimen negatif bagi pasar
keuangan kita, terutama berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil (yield)
surat utang Indonesia. Bila tren kenaikan yield itu terus terjadi, biaya
penerbitan obligasi kita menjadi semakin mahal, sehingga berpotensi
meningkatkan beban pembayaran utang di kemudian hari.
Semoga, kasus Yunani ini menyadarkan kita tentang semakin
pentingnya mengelola utang dengan baik. Pemerintah juga seyogianya menyadari
bahwa utang kita saat ini tidak bisa disebut masih kecil. Terlebih, bila
dikaitkan dengan kemampuan kita dalam mendapatkan sumber-sumber penerimaan
negara untuk membayar utang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar