|
Kesadaran rakyat
akan pemimpin alternatif yang melayani kepentingan publik
menjadi habitus bangsa ini. Rakyat bosan dengan wacana dan
retorika.
Kita membutuhkan pemimpin
alternatif yang berjiwa marhaenis guna menyelamatkan nasib bangsa ini. Mereka
adalah pemimpin yang bukan saja dekat dengan rakyat, melainkan juga melindungi
dan selalu bersama-sama dengan rakyat.
Mereka tidak berperilaku dan
bergaya feodal, tidak berkomunikasi dengan gaya doktrinal, serta menjadi
pemimpin yang bijaksana dan punya keberanian melawan kenyataan yang selama ini
menindas kaum kecil.
Indonesia memiliki karakter
pemimpin seperti ini. Beberapa di antaranya sudah mulai muncul. Model
kepemimpinan mereka mendapatkan apresiasi sangat tinggi di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya ruang
terbuka agar mereka bisa berkiprah lebih luas dan berkontribusi lebih nyata
pada bangsa ini layak dipertimbangkan. Kehadirannya akan memberikan pembanding
atas pemimpin-pemimpin yang selama ini hanya memperjuangkan kaum kaya dan
pengusaha hitam.
Harkat dan Martabat
Bangsa
Dalam spirit Marhaenisme,
pemimpin menjadi sosok yang mudah berkomunikasi dengan rakyat kecil. Mereka
sungguh-sungguh ingin memperjuangkan rakyat kecil agar harkat dan martabat
kehidupannya terangkat.
Tujuan lebih luas adalah
tentang harkat dan martabat bangsa ini yang telah terkikis perlahan tapi pasti.
Kita membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan kesegaran baru berbangsa di
tengah kehidupan yang semakin sulit.
Sebagai bangsa, kemandirian
diri kita sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip
kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan
bukan oleh diri kita sendiri.
Kendati merdeka sudah
berpuluh tahun, kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa
merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan manusia dengan jiwa terpenjara.
Manusia yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa
sendiri maupun bangsa lain.
Faktanya adalah sebagian
besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh
elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah demi
kemakmuran rakyat, nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian kecil
orang.
Sebagian kecil orang itu
mungkin sudah merasa merdeka, tetapi sebagian sangat besar masyarakat belum
merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Ini karena sumber alam bukan untuk
kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.
Kehilangan Orientasi
Bangsa ini semakin lama
semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian
dalam menentukan hari depannya. Hari depan kita semakin suram karena rakyat
miskin semakin miskin.
Realitas ini tidak membuat
kita sebagai bangsa tergugah. Reformasi yang selama ini diharapkan memberi
ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan –secara
politik, sosial maupun ekonomi– realitasnya belum sepenuhnya demikian.
Realitasnya selama ini kita merdeka masih dalam keadaan dibelenggu oleh
elite-elite kita sendiri maupun kekuatan modal.
Kenyataan ini yang membuat
bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal
belas kasih terhadap manusia-miskin. Jumlah kaum miskin di negeri kita terus
meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui pola-pola yang halus dan
sistematis. Salah satu cara utamanya adalah dengan menciptakan ketergantungan
kepada sistem ekonomi global.
Kita tak beranjak
menunjukkan diri sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang berkarakter adalah
bangsa yang berani mengambil risiko terhadap pilihan alternatif dalam
mengembangkan jati diri kebangsaannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan
dengan baik dalam tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari
kemiskinan dan kebodohan. Namun, kenyataannya, justru sebaliknya yang terjadi.
Pemimpin Alternatif
Masa reformasi Indonesia
belum menghasilkan pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju
gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup empati secara
mendalam dengan kemauan rakyatnya. Indonesia membutuhkan pemimpin yang
sungguh-sungguh berperan sebagai leader, bukan dealer. Pemimpin yang memiliki
karakter transformasional daripada melulu transaksional.
Masih terlalu sedikit contoh
untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak
adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang
pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru sering kali
melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Ini karena tak jarang di
dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada
kepentingan kemakmuran rakyat semesta.
Pola bekerja para pemimpin
kita lebih cenderung pada upaya pengamanan kursi kekuasaan, daripada
menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memajukan negeri. Para pemimpin tidak
menegakkan harga diri bangsa dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya.
Justru kita semakin
kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa. Bila ini terjadi terus-menerus,
hantaman krisis sekecil apa pun akan membuat bangsa ini goyah dan panik.
Menjadi bangsa yang memilih fondasi ekonomi kokoh pun hanya mimpi.
Atas itu semualah, kita
membutuhkan terobosan baru dalam kepemimpinan negeri ini. Pemimpin yang tegas
dan visioner, mereka yang berani melawan intimidasi dan bersungguh-sungguh dari
hati nurani untuk memperjuangkan rakyat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar