Paus baru, yang memakai nama Fransiskus I, harus
menginspirasi kita untuk melakukan praksis perubahan, yakni pembebasan kaum
miskin, bukan malah memperkaya diri sendiri.
Takhta Suci Vatikan akhirnya mempunyai paus baru, yang
berhasil dipilih oleh 115 kardinal pada sidang konklaf pada Kamis dinihari
(14 Maret) pukul 01.00 WIB. Sosok paus baru ini bernama asli Jorge Mario
Bergoglio, yang lahir pada 17 Desember 1936 dan sebelumnya menjadi Uskup
Agung Buenos Aires, Argentina (periode 1998-2012). Dialah paus pertama dari
Amerika Latin. Sementara Santo Petrus adalah paus pertama, Bergoglio adalah
paus ke-266. Bergoglio memilih nama Paus Fransiskus I. (Tempo.co, 14
Maret).
Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan para pemimpin
dunia menyampaikan ucapan selamat, disusul ucapan serupa dari para pemimpin
dunia. Kini ratusan ribu umat Katolik sedunia terus membanjiri Vatikan,
menyambut puas baru. Ratusan ribu warga Argentina turun ke jalan, dan
jutaan lainnya merasakan sukacita seperti ketika Diego Maradona menjuarai
Piala Dunia 1986 di Meksiko. Maklum, baru kali ini ada paus dari negeri
itu, bahkan Obama pun menyebut Paus Fransiskus I sebagai paus pertama dari
Amerika.
Profil dan Minatnya
Bergoglio adalah anak pertama dari lima bersaudara.
Meski telah memegang gelar master di bidang kimia dari Universitas Buenos
Aires, dia justru lebih memilih masuk seminari dan mengabdikan hidupnya
sebagai pastor atau pelayan umat. Dia melayani sebagai pastor pada 1973,
lalu menjadi rektor seminari San Miguel hingga 1986, dan puncaknya menjadi
Uskup Agung Buenos Aires sampai 2012. Dia mengundurkan diri dari jabatan
tersebut karena pertimbangan usia. Bergoglio dipromosikan menjadi kardinal
pada 2001, dan dalam sidang Konklaf 2004 yang memilih Ratzinger menjadi
Paus Benediktus, Bergoglio meraih suara terbanyak. Barulah dalam sidang
Konklaf 2013, dia terpilih sebagai paus baru.
Meski banyak hal bisa ditulis tentang paus baru,
penulis tertarik mengelaborasi mengapa Bergoglio memilih nama Fransiskus
dan mencari relevansinya bagi kita di Indonesia. Sebagaimana diketahui,
paus berdarah Italia dan berkebangsaan Argentina itu memilih nama
Fransiskus. Ada beberapa nama penting dalam sejarah gereja bernama
Fransiskus. Boleh jadi, ada sebagian kalangan berspekulasi, nama Fransiskus
dikaitkan dengan Fransiskus Xaverius, pendiri Ordo Jesuit yang pernah
mengabarkan Injil sampai di Nusantara.
Namun pakar soal Vatikan, John Allen, sebagaimana
dikutip CNN, berpendapat bahwa nama Fransiskus ini merujuk pada salah satu
tokoh yang paling dihormati di Gereja Katolik, yakni Santo Fransiskus dari
Asisi, yang hidup pada abad XIII di Italia. Orang suci ini dikenal sebagai
pelindung hewan dan hidup dalam kemiskinan. Menurut Allen, pilihan nama ini
sangat menakjubkan. Fransiskus selama ini menjadi lambang untuk kemiskinan,
kerendah-hatian, kesederhanaan, dan pembangunan kembali Gereja
Katolik.
Pilihan nama Fransiskus seakan juga memiliki kemiripan
dengan hidup Sang Uskup Agung Buenos Aires (untuk periode 1998-2012), yang
juga dikenal rendah hati dan sederhana. Meski bisa tinggal di kediaman
Uskup Agung yang fasilitasnya tentu lebih baik, Bergoglio memilih tinggal
di apartemen kecil dan tiap hari berangkat ke kantornya dengan naik
angkutan umum (bus).
Khotbah-khotbahnya memang kerap menyikapi dengan kritis
kebijakan pemerintah yang kerap hanya ramah kepada yang punya modal dan
abai terhadap yang kecil. Di Argentina, sebagaimana di negeri kita,
segelintir orang kaya bisa memiliki kekayaan sangat berlimpah, di tengah
kondisi kebanyakan rakyat hidup dalam kemiskinan. Paus baru sejak lama
sudah mengkaulkan hidup miskin dan memihak kaum miskin (option for the poor). Populorum Progressio atau Ajaran
Sosial Gereja artikel 23 sungguh menjadi spiritualitasnya: "Barangsiapa memiliki harta duniawi
dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya,
maka kasih Allah tidak akan tinggal dalam dirinya."
Praksis Pembebasan
Nah, menyimak hal itu, jelas paus baru ini amat
dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Teologi ini pertama kali lahir dalam
latar belakang kaum miskin di Amerika Latin pada dekade 1960-an dan
1970-an, serta terjadi dalam lingkup Gereja Katolik. Titik aksentuasi dalam
teologi pembebasan adalah praksis pembebasan. Beda teologi pembebasan
dengan teologi lainnya memang terletak pada praksis (teori dan praktek)
pembebasan ini. Jadi, kita diajak melakukan praktek pembebasan secara nyata
dan tidak berhenti pada wacana, di tengah kesenjangan sosial yang sangat
menganga.
Menurut teolog pembebasan dari San Salvador Ignacio
Illacuria, teologi pembebasan memang bisa memberi solusi untuk pemecahan
problem-problem kemanusiaan. Sebab, kontribusi teologi pembebasan
pertama-tama bukan dalam ranah politik, melainkan dalam ranah kritik
profetisnya (baca Martin Maier: "Theologie
de Befreiung", dalam "Stimmen
der Zeit", 1991, halaman 711-712).
Jelas teologi pembebasan ini amat relevan dengan
kondisi negeri kita hari-hari ini. Maka, para pejabat gereja dan umat
Katolik Indonesia diingatkan akan tanggung jawabnya untuk melakukan praksis
pembebasan seiring terpilihnya paus baru kali ini. Jika di Argentina,
semasa menjadi uskup agung, Bergoglio kritis terhadap pemerintah
sebagaimana disebutkan di atas, di negeri ini pesan profetis semacam itu
juga harus terus disuarakan.
Dengan kata lain, kita tidak boleh diam ketika di
tengah kegaduhan politik yang hanya dipenuhi korupsi dan kemunafikan dari
segenap elite kita yang sejahtera, nasib kaum miskin justru kian sengsara.
Meski dalam kunjungan ke Jerman baru-baru ini Presiden SBY seolah berbangga
akan pertumbuhan ekonomi lewat jargon "The
Indonesian Way", kita jangan menutup mata atas adanya fakta
mengenaskan di sekitar kita.
Di tengah impian menjadi salah satu kekuatan ekonomi
dunia, warga miskin di negeri ini sama sekali tidak punya akses ke sektor
ekonomi yang terus bertumbuh. Pertumbuhan dan keuntungan dari pertumbuhan
itu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kuat. Di tengah meningkatnya
kekayaan orang kaya, makin banyak orang miskin baru. Di tengah naiknya
angka penjualan mobil atau rumah mewah serta banjir apartemen di Surabaya,
masih ada kasus gizi buruk terjadi. Kesenjangan sosial masih menyesakkan.
Itulah ironi ekonomi kita yang neoliberal, sehingga memungkinkan mereka
yang kuat semakin berjaya, sementara yang miskin kian terimpit akibat
dicabutnya berbagai subsidi untuk mereka. Mekanisme pasar bebas hanya ramah
kepada yang berdaya beli, sementara warga miskin hanya bisa gigit
jari.
Paus baru, yang memakai nama Fransiskus I,
harus menginspirasi kita untuk melakukan praksis perubahan, yakni
pembebasan kaum miskin, bukan malah memperkaya diri sendiri. Mari
menjadikan pesan teolog pembebasan Gustavo Gutierez, "Beriman kepada Tuhan berarti mempraktekkan keadilan",
sebagai pegangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar