Laju inflasi Februari 2013 naik tajam, menembus 5 persen. Sudah
20 bulan inflasi berada di kisaran 3,6 persen hingga 4,8 persen. Angka
tertinggi sebelumnya terjadi pada Juni 2011, yaitu 5,5 persen.
Bahan makanan kerap menjadi pemicu kenaikan harga. Kali ini pun
demikian. Kenaikan harga bahan makanan yang mencapai 10,3 persen pada
Februari 2013 dibandingkan bulan yang sama tahun lalu adalah yang tertinggi
dibandingkan dengan seluruh kelompok pengeluaran lainnya.
Sekitar dua pertiga penyebab inflasi pada Februari lalu
bersumber dari kenaikan harga bahan makanan belum diolah (raw food atau fresh food).
Pangan sudah menjadi masalah struktural. Namun, penanganannya
sebatas di permukaan dan ”gagah-gagahan”, tetapi miskin substansi.
Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengalami defisit perdagangan
pangan. Impor pangan meningkat lebih cepat ketimbang ekspor pangan sehingga
defisit cenderung melebar.
Berdasarkan Global Food
Security Index 2012 yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia
sudah di bawah 50 (skor antara 0-100) dan berada di urutan ke-64 dari 105
negara.
Posisi kebanyakan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam, Filipina, dan China, lebih baik daripada Indonesia.
Negara-negara industri maju sekalipun tak mengabaikan persoalan
pangan ini, sebagaimana terlihat dari skor mereka yang tinggi. Misalnya
Amerika Serikat dengan skor 89,5 dan berada di posisi puncak. Jepang dan
Korea pun berada pada posisi terhormat, masing-masing ke-16 dengan skor
80,7 dan ke-21 dengan skor 77,8.
Kedaulatan pangan kita sudah semakin tergerus dan kian rentan
menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi ditambah dengan perubahan
iklim yang kian ekstrem.
Tak sulit untuk mengidentifikasi akar masalah. Jika harga-harga
terus meningkat untuk kurun yang relatif lama—bukan sekadar menghadapi
Lebaran—hampir pasti persoalan terletak pada sisi pasokan.
Bagaimana mungkin harga daging menjulang kalau pasokan sapi di
dalam negeri cukup. Bagaimana mungkin membuat perencanaan pengadaan daging
sapi yang baik kalau perkiraan populasi sapi saja awur-awuran.
Kalau perkiraan populasi sapi awur-awuran, perkiraan kebutuhan
impor pun awur-awuran.
Kalau demikian, solusinya bukan perbaikan mekanisme lelang kuota
daging sapi. Mekanisme lelang terbuka memang akan membuat impor lebih
transparan, tetapi tidak akan menurunkan harga daging sapi secara
signifikan.
Tanpa ditopang data produksi daging sapi yang akurat, kuota
impor bakal tetap menyuburkan praktik pemburuan rente. Lebih efektif kalau
pemerintah mengenakan bea masuk impor daging ketimbang pembatasan
kuantitas.
Penerimaan pemerintah dari bea masuk bisa digunakan untuk
memajukan peternak di dalam negeri, terutama usaha penggemukan sapi.
Sementara itu, penggunaan kuota impor menyebabkan pemburu rente
bergentayangan di seputar kelompok-kelompok kepentingan (vested interest).
Hal serupa bisa pula diterapkan untuk komoditas lain, seperti
kedelai, jagung, bawang putih, bawang merah, dan gula. Penanganan
pascapanen merupakan kunci untuk melindungi petani.
Bukan dengan tiba-tiba membatasi impor, seperti pada kasus
buah-buahan dan sayur-mayur. Kita yakin bahwa produk para petani mampu
bersaing dengan produk-produk impor apabila segala kendala di sisi produksi
bisa dipangkas.
Bahkan, jika semua kendala ini bisa diatasi, sangat terbuka
peluang untuk menembus pasar internasional mengingat buah-buahan kita
banyak yang sangat unggul dan eksotik.
Perlu perubahan cara pandang dari keterbukaan sebagai ancaman
menjadi peluang. Pekerjaan rumah kita adalah mempermudah akses ke pasar
internasional dan membangun trading house untuk produk-produk petani.
Tugaskanlah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang
perdagangan dan BUMN di bidang transportasi laut dan udara untuk mendukung
penuh upaya ini sehingga tercipta Indonesia incorporated.
Akan tetapi, apabila subsidi benih yang diberikan pemerintah
hanya Rp 100 miliar, sedangkan subsidi untuk bahan bakar minyak mencapai Rp
240 triliun, berarti secara tak langsung pemerintah lebih mendorong
produksi sektor otomotif ketimbang memberdayakan dan menyejahterakan
kehidupan petani.
Pemerintah lebih peduli terhadap penyediaan lahan untuk kawasan
industri dengan segala rupa kelengkapannya, sementara tak berbuat apa-apa
untuk menghambat konversi lahan pertanian produktif dan beririgasi teknis
ke sektor nonpertanian.
Keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian pangan dan petani
yang merupakan penyerap lapangan pekerjaan terbesar harus lebih diutamakan.
Populisme yang gagah-gagahan pada gilirannya akan lebih
menyuburkan praktik pemburuan rente. Yang paling kentara juga adalah kasus
pengadaan gula. Untuk membantu petani tebu, pemerintah menaikkan harga
patokan lelang.
Padahal, akar masalah yang dialami petani tebu adalah
”penindasan” pabrik gula terhadap petani tebu. Pemerintah juga tak kunjung
membenahi tata niaga gula.
Sudah merupakan rahasia umum bahwa perdagangan gula hanya
dikuasai oleh segelintir pedagang besar. Dengan demikian, kenaikan harga
gula lebih banyak dinikmati para pedagang besar ketimbang petani tebu.
Pemerintah telah meluncurkan Rencana Induk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Apakah kemudian ada upaya
sistematis untuk memajukan petani dan memperkokoh ketahanan pangan berbasis
rakyat untuk mengedepankan pembangunan yang inklusif?
Jauh api dari panggang. Pertanian pangan akan
dipusatkan di koridor Sulawesi, Papua, dan Maluku. Apa yang akan dimajukan
kalau bukan usaha-usaha pertanian pangan berskala besar dan mega. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar