Kegaduhan di tataran migas berulang. Target pemerintah memutuskan
kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur pada tahun 2012
tidak terpenuhi sehingga mengundang polemik yang cenderung meruncing.
Di tataran migas nasional, Mahakam adalah kesempatan emas bagi
Republik Indonesia membuktikan keberpihakan kepada perusahaan minyak
nasional. Kapan lagi RI beruntung menemukan ”Mahakam” yang kedua? Apabila
pemerintah selalu gamang dan ragu terhadap kemampuan anaknya sendiri,
hilanglah kesempatan bagi Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional
mengelola aset migas yang di masa silam pernah menjadi salah satu pilar
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejatinya, perlu minimal lima tahun sebelum terminasi memuluskan
masa transisi pergantian keoperatoran: para ahli Pertami- na diharapkan
sudah mulai magang. Kini tinggal tersisa empat tahun menjelang berakhirnya
kontrak bagi produksi pada Maret 2017, waktu yang relatif singkat bagi
persiapan transisi pengoperasian lapangan yang masih diandalkan
produksinya.
Menjelang terminasi, banyak dimensi teknis dan nonteknis yang harus
diantisipasi pemerintah dan Satuan Kerja Khusus Migas. Mulai dari penurunan
cadangan dan produksi, penurunan investasi, hingga tekanan pemberdayaan
kapasitas nasional yang gaungnya kian nyaring terdengar, terutama sejak BP
Migas dibubarkan (November 2012). Ditambah lagi dengan tekad pemerintah memperpanjang
kontrak Mahakam hingga 2032 dengan mempertahankan dominasi perusahaan
Perancis, Total E&P Indonesie. Pertamina hanya diberi saham penyertaan
30-40 persen.
Masih Besar
Total E&P Indonesie selaku operator lapangan gas Mahakam
dipandang sukses karena di masa lampau berhasil mengangkat Mahakam menjadi
salah satu primadona gas dunia. Perusahaan asal Perancis itu menguasai 50
persen saham partisipasi dan sisanya yang 50 persen dikuasai Inpex,
perusahaan asal Jepang. Blok Mahakam yang ditandatangani pada 30 Maret 1967
secara komersial termasuk kontrak yang memberi andil signifikan kepada APBN
Indonesia.
Kini Blok Mahakam masih merupakan produsen gas terbesar di Indonesia,
sekitar 30 persen, dan memasok lebih dari 70 persen gas ke Kilang LNG
Bontang. Sayang, sejak kegaduhan isu perpanjangan, produksi cenderung
menurun drastis. Pada 2011 produksi minyak 90.000 barrel per hari, kini
tinggal 70.000 barrel per hari. Produksi gas 2,2 miliar kaki kubik per hari
menjadi 1,8 miliar kaki kubik per hari.
Prospek geologi Mahakam masih menjanjikan: pernah memiliki cadangan
gas awal 23 triliun kaki kubik, tetapi setelah dikuras 50 tahun, hingga
akhir 2017 diperkirakan menyisakan cadangan gas 2 triliun kubik kaki.
Potensi tambahan cadangan hasil eksplorasi pascaterminasi diperkirakan 4-6
triliun kaki kubik. Walhasil, Mahakam masih menyimpan cadangan gas cukup
besar. Memang tak lagi jadi prima- dona, tetapi masih strategis bagi RI
memenuhi kebutuhan gas domestik maupun ekspor.
Setelah kontrak bagi produksi berakhir, tak ada kewajiban pemerintah
memperpanjang atau memperbarui kontrak. Namun, dalam kasus Mahakam, dari
awal pemerintah gamang oleh beberapa kepentingan. Pertama, komitmen pasokan
gas untuk ekspor jangka panjang ke Jepang hingga 2020.
Kedua, komitmen
pasokan di dalam negeri terkait kebutuhan gas yang semakin meningkat,
antara lain untuk pabrik pupuk Kaltim, PLN, PGN, serta pasokan terminal
regasifikasi LNG di Jawa yang sudah beroperasi.
Strategi Pembiaran?
Namun, apabila penurunan ini murni akibat fenomena alam, pemerintah
wajib galau karena upaya mengangkat produksi membutuhkan injeksi kapital
yang lumayan besar: 5-6 miliar dollar AS sebelum terminasi tahun 2017.
Untuk 2013, Total berniat mengucurkan investasi 2,5 miliar dollar AS.
Menjelang akhir kontrak memang sulit memaksa kontraktor mengucurkan
investasi yang besar tanpa kepastian masa depan kontrak.Membiarkan produksi turun drastis membawa dampak tidak terpenuhinya
komitmen pasokan gas, baik untuk ekspor maupun domestik. Situasi ini jadi
sumber kegalauan semua pihak. Sebagai kompromi, pemerintah akhirnya bersedia
memberikan kemudahan bagi Total, berupa persetujuan insentif percepatan
masa depresiasi yang dijamin terbayar sebelum terminasi.
Insentif ini dibutuhkan Total untuk melindungi investasinya apabila
akhirnya pemerintah tidak memperpanjang kontrak. Posisi investasi Total
hingga 2017 sudah aman karena dijamin akan dibayar. Kebijakan ini dibaca
publik sebagai ”isyarat” bahwa posisi Total Indonesie masih akan dominan di
Mahakam.
Dengan skala berbeda, sejak Orde Baru hingga kini Pertamina masih terpinggirkan
sehingga tak kunjung besar sesuai dengan harapan publik. Keputusan
partisipasi lapangan West Madura disetujui pada ”menit-menit terakhir”
sehingga produksi anjlok.
Dihadang riak gelombang pronasional, terutama sejak BP Migas
dibubarkan, akhirnya pemerintah memberikan jaminan saham partisipasi kepada
Pertamina (dan daerah penghasil). Sayang, obsesi Pertamina menjadi operator
sekaligus pemilik saham mayoritas belum diberi lampu hijau. Pemerintah
menyarankan Pertamina bernegosiasi dengan Total membentuk operasi bersama.
Solusi ini cukup baik, tetapi diharapkan pemerintah jangan menggiring
Total jadi operator dominan seperti pada kontrak kerja sama Cepu. Pertamina
yang memiliki saham 45 persen harus mati kutu
bermitra dengan ExxonMobil
yang lebih berdaulat.
Gratis
Kedatangan PM Perancis di Jakarta (1/7/2011) tak harus bikin RI
inferior dengan niat memberi Mahakam gratis. Perpanjangan harus ada
harganya: komitmen dan kompensasi sesuai dengan tingkat keekonomian
lapangan. Pembaruan kontrak sah-sah saja sejauh membawa nilai tambah
bagi RI: antara lain memberikan kesempatan kepada perusahaan minyak
nasional menjadi operator dengan saham mayoritas ditambah beberapa
kompensasi.
Pertama, komitmen praterminasi dan pascaterminasi berupa kewajiban
minimal investasi Total guna meningkatkan cadangan dan produksi melalui
perluasan eksplorasi dan eksploitasi pada masa sebelum dan sesudah
terminasi. Kedua, perbaikan terms and condition kontrak bagi produksi yang
lebih menguntungkan RI, seperti proporsi bagi hasil.
Ketiga, kompensasi atas akuisisi saham partisipasi yang besarnya
dihitung berdasarkan nilai keekonomian Mahakam. Sebagai perbandingan, pada
2009 Pertamina mengeluarkan 265 juta dollar AS untuk mengakuisisi 42,5
persen lapangan tua Offshore North West Java dengan tingkat produksi minyak
21.000 barrel per hari. Mahakam yang tingkat keekonomiannya jauh lebih
tinggi harus memberikan kompensasi jauh lebih baik bagi RI, bukan sekadar
bonus tanda tangan.
Agar tak mengulang kegaduhan saat terminasi Blok West Madura Offshore, semua dimensi itu sebaiknya dituntaskan
sebelum Hari Kemerdekaan 2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar