Pemenggalan
Seorang Guru di Perancis Dipicu Hoaks dan Kebencian Kris Mada ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
12 Maret
2021
Pemenggalan kepala seorang guru di
Perancis, Samuel Paty, tahun lalu, yang menggegerkan dunia hingga muncul
seruan boikot produk Perancis di Indonesia, ternyata dampak kabar bohong atau
hoaks yang gagal dicegah dan telanjur menyebar. Kasus itu juga memicu debat soal
penyebaran kebencian dan kebohongan di media sosial. Media Perancis menyoroti lagi kasus itu
merujuk fakta persidangan, awal pekan ini. Pengajar politik Perancis di
Universitas Indonesia, Mahmoud Syaltout, Kamis (11/3/2021), di Jakarta,
mengatakan, pembunuhan Paty menunjukkan bahaya penyalahgunaan politik dan
agama. ”Bermula dari kebohongan, bertemu
kepentingan politik berbalut agama, ditambah dengan radikalisme.
Penyebarannya cepat sekali di media sosial,” ujarnya. Paty dipenggal imigran keturunan Chechnya,
Abdullakh Anzorov (18), pada Oktober 2020. Anzorov memenggal Paty setelah
mendengar ajakan bela agama yang, antara lain, diserukan oleh Imam Masjid
Pantin, Abdelhakim Sefrioui. ”Dia (Sefrioui) memakai kasus Paty untuk mencari
dukungan menjadi semacam imam besar, jabatan resmi, di Perancis,” kata Syaltout
seraya menyebut Sefrioui. Sefrioui gencar mengajak Muslim Perancis
untuk memprotes ”tindakan” Paty setelah ada video yang dibuat Brahim Chnina,
awal Oktober 2020. Chnina membuat video itu setelah anaknya, pelajar yang
ikut kelas Paty, mengklaim telah melihat dan mendengar Paty meminta siapa pun
keluar kelas jika tidak setuju dengan karikatur yang akan ditunjukkan Paty. Menurut pelajar yang hanya disebut
berinisial Z (13) itu, Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad yang pernah
dimuat di majalah Charlie Hebdo. Dalam penyidikan ditemukan, Z ternyata
tidak masuk kelas pada hari Paty diduga menunjukkan karikatur. Sebab, Z
sedang dilarang masuk sekolah karena kerap bolos. Kepada jaksa, Z mengaku
berbohong kepada ayahnya. Jaksa menemukan, sejumlah pelajar bercerita
kepada Z soal karikatur yang ditunjukkan Paty. Kepada penyidik, sejumlah
pelajar di kelas Paty mengaku hanya diminta menutup mata jika tidak mau
melihat karikatur yang akan ditunjukkan. Pada 6 Oktober 2020, Paty, seorang guru
Sejarah dan Geografi, mengajar tentang ”dilema”. Dia mengajukan pertanyaan
”menjadi atau tidak menjadi Charlie?”, mengacu pada tagar #JeSuisCharlie yang
digunakan untuk menyatakan dukungan bagi Charlie Hebdo setelah teroris
membunuh 12 orang pada Januari 2015. Sementara Chnina, seperti dilaporkan Le
Parisien dan Le Figaro, awalnya mengakui marah dengan cerita anaknya soal
ulah Paty. Kemarahan itu memicunya membuat video untuk menceritakan ulang
kebohongan Z lalu menyebarkannya ke media
sosial hingga memicu protes keras di sejumlah negara. Puncaknya, Paty
dipenggal Anzorov di dekat rumahnya. Pengacara keluarga Paty, Virginie Le Roy,
mengatakan bahwa keluarga berharap kasus itu diungkap secara tuntas dan adil.
”Kematian Sammuel Paty disebabkan oleh kebohongan. Hal itu tidak boleh
terjadi lagi. Kita harus memperkuat pendidikan, mencegah radikalisasi.
Kematian Paty tidak boleh sia-sia,” katanya kepada media Perancis, RTL. Ada
kaitan Penyidik menyimpulkan, ada kaitan langsung
antara video Chnina dan pemenggalan Paty. Anzorov diketahui pernah menjadi
milisi di Suriah bersama keluarga Chnina. Ia termotivasi mengejar Paty
setelah melihat video Chnina dan mendengar ajakan Sefrioui dan sejumlah
penceramah lain. Meski pengangguran, ia bersemangat
melakukan perjalanan lintas provinsi dan membayar 300 euro kepada sejumlah
murid tempat Paty mengajar. Bayaran itu sebagai imbalan karena dua pelajar
itu membantu Anzorov mengidentifikasi Paty. Atas perannya, dua pelajar itu
ikut diperiksa penyidik. Chnina dan anaknya, Z, juga ditangkap. Media Perancis, Le Parisien, melaporkan,
pemenggalan Paty memicu lagi debat soal peran media sosial dalam menyebar
kebohongan dan kebencian. Kasus itu juga memicu debat soal kebebasan
berpendapat. Syaltout mengatakan, ada batasan hukum
untuk kebebasan berpendapat di Perancis. Siapa pun bisa melapor ke polisi
jika haknya dilanggar kala pihak lain menyampaikan pendapatnya. Jika cukup
bukti, sesuai hukum, polisi wajib menindaklanjutinya. ”Kalau tidak, polisinya
disanksi,” kata lulusan Universitas Sorbonne itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar