Bagaimana
Soeharto Mengambil Alih Kekuasaan dari Sukarno? Husein Abdulsalam ; Wartawan Tirto |
TIRTO,
22 Februari
2018
Pada hari ketujuh bulan Februari 1967,
Presiden Sukarno mengirim dua surat kepada Soeharto. Dalam salah satu surat,
Sukarno mengatakan bersedia menyerahkan kekuasaan eksekutifnya kepada
Soeharto. Penyerahan itu dengan syarat: Sukarno tetap dipertahankan sebagai
kepala negara yang berwenang menyatakan perang, serta mengangkat dan menerima
duta besar. Tawaran Sukarno tersebut sebenarnya tidak
begitu mengherankan. Setelah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal
Angkatan Darat pada 30 September 1965, posisinya sebagai presiden semakin
lemah. Bung
Karno, Esa Hilang Dua Tak Berbilang Pelaku utama penculikan dan pembunuhan itu
adalah Letnan Kolonel Untung—seorang komandan Cakrabirawa, pasukan khusus
pengawal presiden. Untung tidak bermaksud menggulingkan Presiden Sukarno,
tetapi dia dituduh melancarkan kudeta untuk kepentingan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Sukarno menunjuk
Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis AD
(Pangkostrad), untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Soeharto menindaklanjuti penunjukan
tersebut dengan membentuk Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada
10 Oktober 1965. The Smiling General itu pun menjadi panglima pertamanya. Dalam Soeharto: A Political Biography
(2001), sejarawan R.E. Elson menyebutkan, salah satu langkah awal yang
dilakukan Kopkamtib adalah menamai peristiwa tersebut "Gestapu"
(Gerakan September Tiga Puluh). Nama itu, menurut Elson, memang kurang
berbudi bahasa tetapi cukup untuk menggambarkan bahwa peristiwa tersebut
merupakan sebuah gerakan politik. Setelahnya, Untung dihukum mati. Sementara
organisasinya diberangus, anggota dan simpatisan PKI pun ditangkap lalu
beberapa di antaranya dihukum mati atau dibunuh. Soeharto juga menyingkirkan
anggota PKI dari jajaran birokrasi kementerian dan lembaga pemerintah
lainnya. Elson mencatat sebanyak 1.334 orang terkait
PKI ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Diperkirakan lebih dari 400.000
anggota dan simpatisan partai ini tewas dibunuh tentara atau anggota
organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan musuh-musuh politik PKI pada
periode 1965-1966. Menurut Elson, cepat dan masifnya tindakan
Soeharto dimotori dua motif. Pertama, motif pengakuan bahwa zaman telah
berubah secara mendasar sejak 1 Oktober 1965. “PKI (yang sebelumnya kuat)
terbaring bingung, tidak pasti, sangat lemah dan terkapar,” sebut Elson (hlm.
124). Kedua, motif perhatian yang lebih
strategis: kebutuhan untuk menciptakan solidaritas dan meningkatkan
legitimasi. Soeharto memanfaatkan momentum Gestapu untuk menyatukan kelompok
anti-komunis di belakangnya dengan memusatkan perhatian mereka kepada PKI
yang dijadikan kambing hitam kudeta. Lemah
Politik dan Ekonomi Konstelasi politik Indonesia pun tidak lagi
sama setelah PKI tiada. Karen Brooks dalam “The Rustle of Ghost: Bung Karno
in the New Order” (1995) mengatakan, Sukarno bertumpu bersama dua kekuatan
politik besar, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan PKI, dalam
menciptakan stabilitas pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya
sejak 1959. Menurut Brooks, Presiden Sukarno mesti berebut kekuasaan dengan
tentara setelah PKI diberantas. “Dengan keluarnya PKI dan tentara bertekad
untuk menegaskan kontrol, Sukarno mendapati dirinya dan kebijakannya semakin
diabaikan,” sebut Brooks. Itu semakin terlihat sejak Sukarno meneken
Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada 1966. Surat perintah itu memberi
mandat kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan dan menjaga
keselamatan presiden. Kronik ’65 (2017) yang disusun Kuncoro Hadi
dan kawan-kawan mencatat, Supersemar memiliki kekuatan yuridis yang mengikat
semua orang—bahkan Presiden Sukarno pun tidak bisa mencabutnya—ketika MPRS
memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966. Pada hari itu
juga MPRS mencabut gelar Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Sementara itu, MPRS memberikan kewenangan
kepada Soeharto, sebagai pengemban Supersemar, untuk membentuk kabinet pada 5
Juli 1966. Dualisme Sukarno versus Soeharto di puncak
kekuasaan pun tidak terhindarkan. Soeharto mampu memanfaatkan momentum sejak
peristiwa Gestapu dengan menjadi Pangkopkamtib hingga mendapat mandat
Supersemar. Di sisi lain, lemahnya kondisi ekonomi semasa Demokrasi Terpimpin
dan berbagai demonstrasi menentang Sukarno turut membuat posisi politik
presiden pertama itu semakin terdesak. Ekonom sekaligus Wakil Presiden RI
2009-2014 Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017) mencatat, perkembangan dan
program politik seperti Operasi Pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi
Malaysia memaksa pemerintahan Sukarno mempertahankan tingkat pengeluaran yang
berakibat kian besarnya defisit APBN. Pemerintah menggelontarkan Rp21 miliar
(1963), Rp90,5 miliar (1964), hingga Rp567,1 miliar (1965) untuk membiayai
Operasi Pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia. Angka tersebut mencakup
17,1 persen pengeluaran APBN 1964 dan 39 persen persen pengeluaran APBN 1965. “Defisit harus dibiayai. Cara yang paling
mudah adalah dengan meminjam kepada bank sentral (Bank Indonesia) yang
memenuhinya dengan mencetak uang. Inilah sumber paling utama peningkatan uang
beredar,” sebut Boediono. Selain untuk menutup defisit APBN, Bank
Indonesia juga menyuplai uang baru untuk pembiayaan BUMN yang kala itu
menjadi pilar utama Sistem Ekonomi Terpimpin ala Sukarno. Akibatnya,
peredaran uang pun membludak. Dua kombinasi peredaran uang tersebut
menciptakan inflasi yang dicatat Boediono sebesar 445 persen (1964), 592
persen (1965), hingga 635 persen (1966). Brooks mengatakan ribuan mahasiswa turun ke
jalan pada awal Januari 1966 guna menuntut penghentian kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok serta pembubaran PKI. Menurut Brooks, saat
itulah tentara telah berhasil menggambarkan PKI sebagai kekuatan brutal dan
jahat di balik G30S. Terdesak
Kudeta Merangkak Sebulan sebelum Sukarno mengirim surat kepada
Soeharto, lelaki yang mendaku penyambung lidah rakyat itu mengirim surat
untuk MPRS pada 10 Januari 1967. Saat itu, MPRS diketuai Jenderal A.H.
Nasution. Dalam surat bertajuk “Pelengkap Nawaksara”
itu, Sukarno menjelaskan ada tiga alasan terjadi Gestok (Gerakan Satu
Oktober, nama yang disematkan Sukarno untuk menyebut peristiwa 30 September
1965 malam), yakni keblingernya pemimpin-pemimpin PKI, keahlian subversi
neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, dan adanya oknum yang tidak benar. Istilah Nawaksara pernah digunakan Sukarno
sebagai judul pidato pertanggungjawabannya kepada MPRS pada 22 Juni 1966 yang
sama sekali tidak menyinggung soal G30S dan PKI. Dengan adanya surat
tersebut, pidato pertanggungjawaban presiden menjadi lengkap. Namun, MPRS
menolaknya. Pada 9 Februari 1967, Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengajukan pelaksanaan sidang MPRS untuk
memberhentikan Sukarno. Menurut Elson, saat itu lah Soeharto mendapatkan apa
yang dia cari sudah hampir berada dalam genggamannya. Sementara itu, Sukarno, sebagaimana
diceritakan O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1984),
tidak memiliki pilihan selain mengundurkan diri. "Tindakan yang menarik
diri dengan sukarela—sekalipun dengan maksud tersembunyi tertentu—akan lebih
baik baginya, daripada diberhentikan dari jabatan oleh lembaga tertinggi
negara tersebut" (hlm. 117). Pada 20 Februari 1967, Soeharto mencoba
meyakinkan Sukarno dan para pendukungnya bahwa kekuasan sang Pemimpin Besar
Revolusi telah usai. Sukarno pun berkenan menyerahkannya. Namun, Soeharto masih curiga soal
pernyataan Sukarno itu. Penyebabnya ada dalam surat yang dikirim Sukarno pada
7 Februari 1967. Di situ Sukarno menulis nama dan gelarnya secara lengkap:
Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata dan mengarahkan Soeharto untuk "melaporkan pada Presiden
tentang pelaksanaan pemindahan kekuasaan ini apabila dipandang perlu".
Apa yang diinginkan Soeharto adalah penyerahan kekuasaan presiden secara
konstitusional. Akhirnya, Sukarno bertekuk lutut. Ia
menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada pengemban Supersemar Soeharto di
tanggal 22 Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun lalu. Tak lama kemudian, MPRS mencabut kekuasaan
Presiden Sukarno dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden. Ketetapan
itu tertuang dalam TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967. Kontroversi Supersemar dalam Transisi
Kekuasaan Sukarno-Soeharto (2007) yang disusun Lembaga Analisis Informasi
mengungkapkan manuver Seoharto mengisolasi Presiden Sukarno dari para
pendukungnya. “Sulit dikatakan Jenderal Soeharto
mengkudeta Presiden Sukarno. Sebaliknya, tidak bisa juga disimpulkan jika
Jenderal Soeharto sama sekali tidak mengincar jabatan Presiden,” catat buku
tersebut (hlm. 11). Sementara itu, John Roosa dalam Pretext for
Mass Murder (2006) mengatakan, Soeharto menggunakan Gestapu sebagai pretext
(dalih) untuk mendelegitimasi Sukarno dan mendorong dirinya sendiri ke kursi
presiden. Menurut Roosa, pengambil alihan kekuasaan negara oleh Soeharto bisa
disebut creeping coup d'etat (kudeta merangkak). "Soeharto menyelesaikan
pengambilalihan kekuasaan negara di balik tabir prosedur hukum. Dia
menyamarkan kudeta merangkaknya sebagai upaya yang didukung oleh Sukarno—yang
secara serampangan bertentangan—untuk mencegah kudeta oleh PKI," sebut
Roosa (hlm. 32). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar