Memberdayakan
KPI
Roy Thaniago ; Direktur
Remotivi
|
TEMPO,
03 Februari 2015
Runtuhnya Orde Baru pada 1998, yang memberikan kebebasan
kepada media, baru dinikmati secara optimal oleh para elite ekonomi dan
politik. Situasi ini baru sebatas memberi ruang yang nyaman bagi penyaluran
syahwat ekonomi para pemilik media ketimbang menjawab kebutuhan akan
informasi bagi publik. Tak berlebihan jika R. Kristiawan (2014) menyebutkan
media sebagai penumpang gelap demokrasi. Rupanya, ada yang luput disiapkan
dengan baik ketika keran demokrasi dibuka: hukum.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah buah dari hukum
tersebut. Sayangnya, ia belumlah buah yang masak. Dalam banyak hal,
kewenangannya sangat terbatas. KPI hanya bisa memberikan teguran, padahal jantung
penyiaran ada di perizinannya. Sebab itu, tak mengherankan jika banyak
stasiun TV yang memandang remeh keberadaan KPI.
Jika Presiden Joko Widodo benar-benar mengusung ide
revolusi mental untuk membawa Indonesia berlari, media harus menjadi perhatian
yang serius. Salah satunya adalah dengan penguatan KPI, ide yang sebenarnya
sudah dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita butir kesembilan.
Saya mengusulkan dua hal konkret yang bisa dilakukan
segera sembari menyiapkan regulasi yang lebih mapan, seperti merevisi UU
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam pasal mengenai KPI.
Pertama, perlu diterbitkan sebuah aturan yang memberi
kewenangan kepada KPI dalam memberi dan mencabut izin siaran stasiun TV dan
radio. Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang selama ini memegang
perizinan, mesti didorong untuk mendistribusikan otoritasnya tersebut.
Selain untuk memperkuat KPI, hal itu dilakukan demi
menggenapi ide frekuensi sebagai sumber daya milik publik. Artinya, karena
milik publik, otoritas pemberian izin harus berada di tangan publik, bukan
pemerintah. Sebab itu, otoritas tersebut harus dipegang oleh KPI sebagai
lembaga di luar pemerintah yang mewakili publik. Kalau pemerintah yang
memegang otoritas, izin penyiaran dapat dimaknai sebagai pemberian atau kado
dari pemerintah kepada pengaju izin, dan itu dapat ditarik kembali ketika
berkonflik kepentingan dengan rezim yang berkuasa (Armando, 2011).
Kedua, aturan penyiaran milik KPI (Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran/P3SPS) perlu direvisi, yakni dengan
memasukkan dan memberlakukan pasal denda. Denda, menurut pengalaman di
beberapa negara, terbukti efektif membuat jera pelaku industri yang bebal.
Dalam hal ini, logika bisnis harus diatasi dengan logika bisnis pula.
Mendapatkan keuntungan dengan menghalalkan apa pun harus dihentikan. Caranya
antara lain bisa ditempuh dengan menyiapkan aturan yang potensial menimbulkan
kerugian bagi stasiun TV yang nakal.
Jika pasal mengenai denda sulit diberlakukan dengan
berbagai macam faktor (siapa pengutipnya, bagaimana mengelola uangnya, dan
lainnya), hukuman lain bisa menjadi alternatif, yakni melarang stasiun TV
menerima iklan dalam waktu tertentu, seturut dengan derajat pelanggarannya.
Selama ini, pasal mengenai denda memang sudah termuat
dalam P3SPS. Namun hal itu dilumpuhkan dengan hanya bisa diberlakukan pada
dua jenis pelanggaran (iklan rokok dan durasi iklan). Sayangnya, denda itu
pun tak pernah digunakan, meski terdapat jenis pelanggaran tersebut.
Kalau revisi UU Penyiaran dikhawatirkan bakal menguras waktu
panjang, merevisi P3SPS jauh lebih mudah dan cepat. Apalagi, sesuai dengan
mandat UU, KPI punya kewenangan dalam menyusun peraturan penyiaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar