Minggu, 03 November 2013

Capres 2014 dan Banalitas Politik

Capres 2014 dan Banalitas Politik
Bambang Arianto  ;  Peneliti politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) dan Pengajar Ilmu Politik di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 02 November 2013


TENGGAT ritual pesta demokrasi elektoral yang sudah di depan mata telah banyak menarik atensi publik. Pengenalan kandidat berbasis iklan politik yang mengedepankan ilusi popularitas menjamuri jagat Indonesia. Bertebarannya iklan politik yang ditujukan untuk memperkenalkan partai politik (parpol) dan popularitas sosok figur yang terkadang tidak dikenal dari mana asalnya telah menjamuri setiap ruang publik. Tujuannya jelas agar publik dapat mengenal dan sang figur tersebut populer. Popularitas telah menjadi harga mati dan momok bagi sebagian sosok figur politik di Tanah Air. Banyak yang beranggapan bila tidak populer, berarti harapan untuk dapat terpilih semakin sempit. Padahal derajat popularitas seseorang tidak sama dengan elektabilitas.

Krishna Send & David T Hil dalam Media, Culture and Politics in Indonesian menerangkan bahwa fungsi media sebagai pencipta persuasi politik yang sanggup mendongkrak popularitas sosok figur politik serta menggiring dan membentuk opini publik. Apalagi struktur dan kultur politik Indonesia saat ini tengah mengalami pergeseran model kampanye politik, dari kampanye langsung (direct campaign) menuju kampanye yang termediasi (mediated campaign). Media sosial pun menjadi salah satu bentuk kampanye langsung yang lagi merebak dewasa ini.

Figur karbitan

Dalam leksikon komunikasi politik, pengunaan iklan politik sah-sah saja, bahkan sebagai teknik komunikasi yang komprehensif. Namun, bila publik kritis dan sadar, iklan politik sebenarnya hanya bersifat artifisial. Publik seolah larut dalam lautan janji saat menyantap iklan politik. Janji-janji kosong yang kerap hiperrealitas selalu menjadi andalan para figur karbitan. Dalam kontestasi Pemilu 2014 yang serbabebas, parpol dan sosok figur sangat membutuhkan pencitraan. Tidak mengherankan bila banyak sosok figur maupun capres yang sibuk berdandan di hadapan publik melalui iklan politik dengan bahasa yang terkadang menggelikan dan tidak masuk akal.

Iklan memang memiliki relasi yang kuat dalam upaya mencari sosok calon presiden (capres) 2014. Capres yang memiliki makna sebagai pemimpin sejati adalah capres yang tidak terkait dengan kandidasi iklan politik. Iklan hanyalah sebuah cara, sedangkan autentisitas kepemimpinan adalah proses. Namun, dalam realitas banyak capres yang terlalu memaksakan untuk memopulerkan diri via iklan politik. Publik sangat memahami bahwa pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang terlihat dari rekam jejak dan proses panjang (track record) yang dialaminya. Pemimpin yang tidak dekat dengan rakyat, apalagi hanya mengandalkan iklan politik yang bersifat ilusi, dipastikan akan segera ditinggalkan oleh publik.

Capres yang memiliki kepemimpin sejati tidak dibuat dan dibentuk oleh gencarnya iklan politik. Namun, ia mampu merespons banyak persoalan secara tepat melalui aneka improvisasi yang merakyat dan tepat. Dengan demikian, capres 2014 pilihan publik adalah capres yang mampu memiliki kepemimpinan yang komprehensif dan holistik. Publik tidak boleh terjebak pada warna-warni iklan politik, tetapi mau bersusah payah untuk mengenali apa dan siapa yang diiklankan berikut kegunaannya.

Sayangnya publik selama ini selalu mengabaikan autentisitas seorang pemimpin. Publik primordial selalu terpukau dengan banalitas iklan politik yang hanya ilusi (hiperrealitas). Publik primordialitas jelas sangat fatal sebab pada publik seperti ini kecenderungan lebih memilih kemasan artifisial ketimbang isi substansial sangat tinggi. Iklan politik lebih berperan sebagai politik tebar pesona yang penuh rekayasa, bahkan menjadi modus politik baru guna menarik atensi pemilih.

Di sinilah iklan politik sangat berperan sebab dapat berpeluang meraup elektoral. Publik akhirnya digiring untuk menjadi penonton yang pasif. Seperti diungkap oleh Guy Debord dalam Society of Spectacle, bukanlah kumpulan citra, melainkan relasi sosial di antara orangorang yang diperantai oleh citra-citra. Tontonan dan citra akan menjadi penentu dan pengendali berbagai bentuk hubungan di antara kelompok-kelompok sosial. Tontonan juga akan menyelinap ke ruang kehidupan sosial, makna, nilai, ideologi, bahkan kepercayaan.

Masalahnya publik masih terlalu lemah dalam menimt bang dan memilih capres 2014 b yang memiliki kepemimpinan sejati. Publik selalu dikonstruksi untuk memilih pemimpin yang dianggap paling populer dan tercitra oleh manipulasi teknis media. Padahal, pemimpin yang populer belum tentu memiliki kepemimpinan yang merakyat apalagi mengerti persoalan rakyat.

Epilog

Sudah saatnya iklan politik dijadikan ruang untuk mengomunikasikan program partai dan bukan terjebak dalam ekstase komunikasi yang hiperrealistis, apalagi sampai menumpulkan sensibilitas publik. Dengan diberlakukannya peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pembatasan alat peraga kampanye, diharapkan langkah ini penting untuk membangun kampanye yang lebih efektif, murah, adil, dan menghindari kemungkinan kampanye yang membabi buta oleh partai yang me nguasai media.

Perlu diingat bahwa Peraturan KPU No 15/2013 yang akan membatasi pengunaan alat peraga bukan menjadi jaminan akan menurunnya banalitas iklan politik melalui simbol verbal, sebab pengawasan dari lembaga penyelenggara pemilu yakni Bawaslu belum maksimal, apalagi pada ranah lokal. Regulasi ini akan berbenturan dengan upaya kandidasi pada sosok figur baru, yang mana iklan politik merupakan salah satu jalan pendongkrak popularitas di mata publik, lain halnya dengan figur yang sudah memiliki popularitas.

Harapannya, iklan politik haruslah mencerminkan kedewasaan berdemokrasi, yakni iklan politik yang bertujuan sebagai pendidikan politik publik, bukan sebatas instrumen dekoratif dalam elektoral. Hadirnya iklan politik yang halusinatif akan berdampak pada meningkatnya apatisme dan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, yang akhirnya memilih jalan golput. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi publik harus terus dikedepankan demi terwujudnya pemilu yang berkualitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar