|
TENGGAT ritual pesta demokrasi
elektoral yang sudah di depan mata telah banyak menarik atensi publik.
Pengenalan kandidat berbasis iklan politik yang mengedepankan ilusi popularitas
menjamuri jagat Indonesia. Bertebarannya iklan politik yang ditujukan untuk
memperkenalkan partai politik (parpol) dan popularitas sosok figur yang
terkadang tidak dikenal dari mana asalnya telah menjamuri setiap ruang publik.
Tujuannya jelas agar publik dapat mengenal dan sang figur tersebut populer.
Popularitas telah menjadi harga mati dan momok bagi sebagian sosok figur
politik di Tanah Air. Banyak yang beranggapan bila tidak populer, berarti
harapan untuk dapat terpilih semakin sempit. Padahal derajat popularitas
seseorang tidak sama dengan elektabilitas.
Krishna Send & David T Hil
dalam Media, Culture and Politics in Indonesian
menerangkan bahwa fungsi media sebagai pencipta persuasi politik yang sanggup
mendongkrak popularitas sosok figur politik serta menggiring dan membentuk
opini publik. Apalagi struktur dan kultur politik Indonesia saat ini tengah
mengalami pergeseran model kampanye politik, dari kampanye langsung (direct campaign) menuju kampanye yang
termediasi (mediated campaign). Media
sosial pun menjadi salah satu bentuk kampanye langsung yang lagi merebak dewasa
ini.
Figur karbitan
Dalam leksikon komunikasi politik,
pengunaan iklan politik sah-sah saja, bahkan sebagai teknik komunikasi yang
komprehensif. Namun, bila publik kritis dan sadar, iklan politik sebenarnya
hanya bersifat artifisial. Publik seolah larut dalam lautan janji saat
menyantap iklan politik. Janji-janji kosong yang kerap hiperrealitas selalu
menjadi andalan para figur karbitan. Dalam kontestasi Pemilu 2014 yang
serbabebas, parpol dan sosok figur sangat membutuhkan pencitraan. Tidak mengherankan
bila banyak sosok figur maupun capres yang sibuk berdandan di hadapan publik
melalui iklan politik dengan bahasa yang terkadang menggelikan dan tidak masuk
akal.
Iklan memang memiliki relasi yang
kuat dalam upaya mencari sosok calon presiden (capres) 2014. Capres yang
memiliki makna sebagai pemimpin sejati adalah capres yang tidak terkait dengan
kandidasi iklan politik. Iklan hanyalah sebuah cara, sedangkan autentisitas
kepemimpinan adalah proses. Namun, dalam realitas banyak capres yang terlalu memaksakan
untuk memopulerkan diri via iklan politik. Publik sangat memahami bahwa
pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang terlihat dari rekam jejak dan proses
panjang (track record) yang
dialaminya. Pemimpin yang tidak dekat dengan rakyat, apalagi hanya mengandalkan
iklan politik yang bersifat ilusi, dipastikan akan segera ditinggalkan oleh
publik.
Capres yang memiliki kepemimpin
sejati tidak dibuat dan dibentuk oleh gencarnya iklan politik. Namun, ia mampu
merespons banyak persoalan secara tepat melalui aneka improvisasi yang merakyat
dan tepat. Dengan demikian, capres 2014 pilihan publik adalah capres yang mampu
memiliki kepemimpinan yang komprehensif dan holistik. Publik tidak boleh
terjebak pada warna-warni iklan politik, tetapi mau bersusah payah untuk
mengenali apa dan siapa yang diiklankan berikut kegunaannya.
Sayangnya publik selama ini selalu
mengabaikan autentisitas seorang pemimpin. Publik primordial selalu terpukau
dengan banalitas iklan politik yang hanya ilusi (hiperrealitas). Publik
primordialitas jelas sangat fatal sebab pada publik seperti ini kecenderungan
lebih memilih kemasan artifisial ketimbang isi substansial sangat tinggi. Iklan
politik lebih berperan sebagai politik tebar pesona yang penuh rekayasa, bahkan
menjadi modus politik baru guna menarik atensi pemilih.
Di sinilah iklan politik sangat
berperan sebab dapat berpeluang meraup elektoral. Publik akhirnya digiring
untuk menjadi penonton yang pasif. Seperti diungkap oleh Guy Debord dalam Society of Spectacle, bukanlah kumpulan
citra, melainkan relasi sosial di antara orangorang yang diperantai oleh
citra-citra. Tontonan dan citra akan menjadi penentu dan pengendali berbagai
bentuk hubungan di antara kelompok-kelompok sosial. Tontonan juga akan
menyelinap ke ruang kehidupan sosial, makna, nilai, ideologi, bahkan
kepercayaan.
Masalahnya publik masih terlalu
lemah dalam menimt bang dan memilih capres 2014 b yang memiliki kepemimpinan
sejati. Publik selalu dikonstruksi untuk memilih pemimpin yang dianggap paling
populer dan tercitra oleh manipulasi teknis media. Padahal, pemimpin yang
populer belum tentu memiliki kepemimpinan yang merakyat apalagi mengerti
persoalan rakyat.
Epilog
Sudah saatnya iklan politik
dijadikan ruang untuk mengomunikasikan program partai dan bukan terjebak dalam
ekstase komunikasi yang hiperrealistis, apalagi sampai menumpulkan sensibilitas
publik. Dengan diberlakukannya peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait
pembatasan alat peraga kampanye, diharapkan langkah ini penting untuk membangun
kampanye yang lebih efektif, murah, adil, dan menghindari kemungkinan kampanye
yang membabi buta oleh partai yang me nguasai media.
Perlu diingat bahwa Peraturan KPU
No 15/2013 yang akan membatasi pengunaan alat peraga bukan menjadi jaminan akan
menurunnya banalitas iklan politik melalui simbol verbal, sebab pengawasan dari
lembaga penyelenggara pemilu yakni Bawaslu belum maksimal, apalagi pada ranah
lokal. Regulasi ini akan berbenturan dengan upaya kandidasi pada sosok figur
baru, yang mana iklan politik merupakan salah satu jalan pendongkrak
popularitas di mata publik, lain halnya dengan figur yang sudah memiliki
popularitas.
Harapannya, iklan politik haruslah
mencerminkan kedewasaan berdemokrasi, yakni iklan politik yang bertujuan
sebagai pendidikan politik publik, bukan sebatas instrumen dekoratif dalam
elektoral. Hadirnya iklan politik yang halusinatif akan berdampak pada
meningkatnya apatisme dan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi
politik, yang akhirnya memilih jalan golput. Oleh karena itu, pendidikan
politik bagi publik harus terus dikedepankan demi terwujudnya pemilu yang
berkualitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar