"Paus Benediktus XVI
memberi teladan bahwa demi kemaslahatan bersama kekuasaan tak harus
dipertahankan"
HARI Jumat, 1 Maret 2013 tepat pukul 01.00 dini
hari waktu Indonesia Barat (WIB), Paus Benediktus XVI secara resmi lengser
dari Tahta Suci di Vatikan. Dalam hitungan waktu Roma, pengunduran diri
resmi terjadi pada 28 Februari 2013, pukul 20.00. Tiga pekan sejak
pengumuman pengunduran dirinya, 11 Februari 2013, muncul beragam reaksi
dari berbagai pihak. Keputusan pengunduran diri tersebut memang
menggemparkan
Mewakili para kardinal
menanggapi pidato pengunduran diri Paus, Kardinal Sodano mengatakan,
keputusan itu bagaikan ’’petir yang menyambar di langit yang cerah’’.
Pada umumnya, para pemimpin
politik dan agama di seluas dunia merasa terkejut, heran, sekaligus
menyayangkan keputusan tersebut.
Secara moral politik
kepemimpinan, tak sedikit yang memberikan apresiasi positif realitas ini.
Salah satunya, politikus Italia yang mengatakan bahwa pilihan siap lengser
Paus menjadi sebuah teladan kerendahatian hati dan pelajaran etis bagi
politikus. Tindakan Paus menurut politikus itu menggambarkan semangat
pelayanan untuk meletakkan kepentingan umum di atas segala usaha tak halal
demi mempertahankan kekuasaan.
Paus Benediktus XVI mengundurkan
diri mendasarkan alasan kesehatan dan faktor usia. Dalam surat pengumuman
pengunduran diri itu, ia dengan rendah hati dan secara tulus menyampaikan
alasan pokok pengunduran diri itu karena kesehatannya menurun. Kesadaran
akan ketidakmampuan secara fisik dan medik untuk menjalankan tugas penggembalaan
sebagai pemimpin tertinggi bagi sekurang-kurangnya 1,1 miliar umat Katolik
di seluruh dunia membuat ia memutuskan diri untuk mundur.
Keputusan untuk mengundurkan
diri pun tidak secara tiba-tiba. Keputusan itu sudah dipertimbangkan secara
matang di dalam discernment (wiweka) yang serius dan doa yang
terus-menerus. Dalam segala kerendahan hatinya, Paus Benediktus XVI
menghayati semangat kejawen sebagai sang satriya pinandhita sinisihan
wahyu.
Ia hadir sebagai kesatria suci
didampingi wahyu Ilahi. Ia hadir sebagai pemimpin suci, taat pada kehendak
Tuhan dan agama, membawa damai sejahtera dalam ketulusan demi kebaikan
kepentingan yang lebih luas. Bapa Suci Benediktus XVI begitu terpusat pada
Tuhan. Dia hanya mencari kehendak-Nya demi kebaikan gereja, maka tidak
terlekat pada status, kedudukan, posisi atau peranannya.
Benediktus XVI tidak merasa
bahwa mimbar untuk pengajarannya harus dipertahankan untuk menyampaikan
visi sebagai pengajar resmi gereja. Sejak awal setelah terpilih menjadi
paus delapan tahun silam, menggantikan mendiang Paus Johannes Paulus II, ia
sudah mengatakan, ’’Saya hanyalah seorang karyawan yang hina di kebun
anggur Tuhan.’’
Sikap Kesatria
Maka setelah menyadari
keterbatasannya, ia memilih mengundurkan diri dan menyerahkan tugas kepada
orang lain yang lebih muda dan yang lebih kuat dengan kepercayaan penuh
pada Tuhan yang membimbing gereja. Inilah persis semangat dan sikap seorang
satriya pinandhita sinisihan wahyu.
Keputusannya sangat revolusioner
secara spiritual dan sosial. Setelah mengundurkan diri, ia juga memilih
untuk hidup dalam keheningan doa dan refleksi bagi gereja dan dunia di
pertapaan Vatikan. Ia terpanggil untuk "mendaki gunung doa bersama
Tuhan" bagi umat dan masyarakat.
Dalam semangat satriya
pinandhita sinisihan wahyu, keputusan Benediktus XVI mengundurkan diri
sangat konsisten dengan apa yang tela dikatakannya dalam wawancara
sebagaimana tercantum dalam buku Light of the World (terbit tahun 2010).
Saat ditanya, ’’Dalam situasi sulit yang menjadikan tugasnya berat pada saat
itu, apakah Sri Paus akan mempertimbangkan kemungkinan untuk mengundurkan
diri?’’ Atas pertanyaan itu, dengan tulus ia menjawab, ’’Bila ada bahaya
yang besar, tidak mungkin melarikan diri. Saat seperti itu sama sekali
bukan saat untuk mengundurkan diri... dengan bilang biar seorang lain
mengurusnya.’’
Pada saat-saat seperti itu dia
harus bertahan kuat dan menghadapi situasi yang sulit. Akan tetapi kalau
seorang Paus menyadari secara jelas bahwa ia tidak lagi mampu lagi memenuhi
peranannya karena alasan daya fisik, mental, dan spiritual tidak memadai,
ada kemungkinan secara hukum untuk mengundurkan diri dan bahkan ada
kewajiban melakukannya.
Kini, ia membuktikan secara
konsisten semangat kesatria penuh wibawa itu. Di tengah suasana dunia yang
dipenuhi oleh manusia-manusia yang dikuasai hasrat berkuasa selama-lamanya,
bahkan lewat cara menghalalkan segala cara demi mempertahankan syahwat
kekuasaan, Paus Benediktus XVI telah memberikan teladan bahwa demi
kemaslahatan bersama kekuasaan tak harus dipertahankan habis-habisan.
Grazie mille Santo Padre (sangat
banyak terima kasih Bapa Suci) atas teladan kepemimpin sebagai servus
servorum Dei (abdi segala abdi Tuhan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar