Hanya kurang dari setahun kita telah dihadapkan pada gonjang-ganjing
harga tiga komoditas: kedelai, daging, dan bawang.
Harga tiba-tiba melonjak tinggi, padahal tak ada tekanan pada sisi
permintaan. Urusan pangan ternyata kian rentan karena ketergantungan
terhadap pangan impor kian akut. Ketika harga pangan di pasar dunia
bergejolak, harga akan langsung ditransmisikan ke pasar domestik.
Pemerintah tidak berdaya mengendalikan harga. Ada banyak sisi yang
bisa menerangkan mengapa ini terjadi.
Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Banyak komoditas
pangan, termasuk kedelai, daging, dan bawang, diserahkan kepada mekanisme
pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak
salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan
konsumen sudah pejal pada guncangan pasar.
Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan
segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih
kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini
terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini
terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat
tinggi, seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, dan daging, tak
terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political
rent-seeking.
Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami
”setengah privatisasi” menjadi perusahaan umum, praktis kita tidak memiliki
badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga
pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan
mendapatkan berbagai privilese, kini telah dipreteli. Saat ini Bulog hanya
mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas.
Dalam stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia,
sejak tahun 1946, memiliki The Price
Control Act untuk mengontrol harga barang yang kebanyakan barang
makanan. Juga ada The Control of
Supplies Act yang berlaku 1961. UU ini mengatur keluar-masuknya barang
di perbatasan. Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25
komoditas dikontrol pada hari-hari besar. Ada pula Majelis Harga Negara
yang memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung
cadangan pangan nasional. Ditopang beleid komprehensif dan kelembagaan yang
kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan rendah.
Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan
Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas
merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan.
Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal,
elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai tumpuan untuk
pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan
beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian pangan
lahir dari daerah.
Urai Problem Struktural
Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan
domestik merosot, diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor
pangan mencapai Rp 63,9 triliun, hortikultura Rp 12,9 triliun, dan
peternakan Rp 15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada
subsektor pangan.
Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru
3,178 miliar dollar AS. Tahun 2011, defisit meledak lebih dari dua kali
lipat (6,439 miliar dollar AS). Nilai impor paling besar disumbang gandum,
kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging, bakalan sapi, buah-buahan, dan
bawang putih.
Saat ini Indonesia bergantung pada impor gandum (100 persen), kedelai
(78 persen), susu (72), gula (54), daging sapi, (18), dan bawang putih
(95). Sebagian besar diimpor dari negara maju. Sampai kini belum ada tanda
ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus
melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87 persen per tahun. Agar
kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari
permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih dari
5 persen per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi lebih dari 5
persen per tahun.
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu, diperlukan sejumlah
kebijakan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi
usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis
berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tak swasembada. Kebijakan
ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur,
pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas
tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk
sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan
oligopolis.
Kedua, merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya.
Bulog tak hanya mengurus beras, tetapi beberapa komoditas penting lain
disertai instrumen yang lengkap, seperti cadangan, harga, pengaturan impor
(waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok
yang semula diserahkan kepada swasta bisa dikembalikan sebagian atau
seluruhnya kepada Bulog.
Ketiga, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti
amanat Pasal 126 UU Pangan. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya
berkutat pada perumusan kebijakan dan koordinasi pembangunan pangan, tetapi
juga menuntaskan kemelut harga pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar