Sekitar 70 persen anak Indonesia pada usia emasnya mendapatkan
pendidikan di perguruan tinggi swasta. Ironisnya, pembinaan terhadap PTS
sangat minim, sementara persoalan internal sangat kompleks.
Belum lagi soal konflik internal, mutu dosen, dan akuntabilitas
penyelenggaraannya. Pemerintah terlena memperhatikan perguruan tinggi
negeri (PTN), tapi lupa mengapitalisasi gagasan untuk memajukan perguruan
tinggi swasta (PTS).
Pendidikan tinggi Indonesia menghadapi tantangan berat. Dikatakan
berat karena ada rencana untuk meningkatkan tenaga kerja terdidik. Proporsi
tenaga kerja tahun 2025 diperkirakan akan diisi oleh 8 persen lulusan
berpendidikan strata satu (S-1) dan 8 persen diploma I-III (D-I/D-III).
Artinya, komposisi tenaga kerja terdidik akan menjadi 16 persen. Sementara
tahun 2010, komposisi angkatan kerja tersebut tidak lebih dari 7,5 persen,
terdiri atas 2,6 persen berpendidikan S1 dan sisanya tamatan D-I hingga
D-III.
Sekarang ada sekitar 4,5 juta anak pada masa usia emas yang dilayani
oleh 95 PTN dan sekitar 3.000 PTS besar dan kecil. Sekitar 70 persen
anak-anak yang mengecap pendidikan tinggi menghabiskan masa emasnya di PTS,
dan sisanya di PTN.
PTN dan PTS relatif memiliki jurang kualitas yang berbeda serta
distribusi jenis dan jenjang penyelenggara antartempat yang sangat timpang.
Dua pertiga perguruan tinggi berada di Jawa. Bukan tidak mungkin tersedia
PTS yang baik, tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sisanya PTS
”Senin-Kamis” yang bertahan dengan berbagai persoalannya, di antaranya
sebanyak 201 penyelenggara PTS menghadapi krisis internal.
Jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dihadapkan pada permintaan
yang tinggi. Selain dari faktor pergeseran usia penduduk, kemajuan ekonomi
telah menambah kemungkinan anak- anak dari keluarga menengah memasuki
jenjang pendidikan tinggi. Tantangan terbesar adalah bagaimana menyediakan
pendidikan tinggi dalam menghadapi begitu pesatnya pertumbuhan permintaan
itu sendiri.
Perbesar Pemerataan
Guna menjawab tantangan besar tersebut, pemerintah masih mendua dalam
memastikan agar pemerataan pendidikan tinggi terpenuhi. Langkah yang sangat
keliru dilakukan adalah memperbesar daya tampung PTN.
Di Universitas Andalas misalnya, daya tampung kampus direncanakan
maksimum 20.000. Dalam kenyataannya, saat ini jumlah mahasiswa sudah
melebihi angka 26.000. Perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian
Bogor sekalipun juga memiliki jumlah mahasiswa yang melebihi daya
tampungnya.
Konsekuensi apa yang dihasilkan dengan menambah beban PTN? Dampak
yang pasti adalah menurunnya kinerja akademik. Baik lambannya produktivitas
riset dosen maupun sulitnya memenuhi dosen yang berkualifikasi strata tiga
(S-3). Ini sebagai akibat dari tingginya rata-rata jam mengajar dosen.
Jadi, jelas, mengejar mutu pendidikan akan berbenturan dengan peningkatan
jumlah daya tampung.
Dalam mengantisipasi itu, tahun ini tengah diproses pendirian sekitar
101 politeknik negeri baru. Caranya dengan menegerikan politeknik swasta
serta mendirikan yang baru. Upaya ini sangat strategis dan semakin baik
jika dilaksanakan seiring dengan persiapan tenaga dosen dan laboratorium.
Biaya penyelenggaraan politeknik sebenarnya bisa 4-5 kali lebih besar
dibandingkan pendidikan tinggi umum. Akan tetapi, jika daya tampung
politeknik per angkatan sekitar 500 orang, pertambahan dari permintaan akan
jenjang pendidikan tinggi baru akan terakomodasi untuk sekitar 50.000 calon
mahasiswa per tahun. Padahal, kalau kita perhatikan, mahasiswa baru sampai
tahun 2020 diperkirakan akan bertambah 4 juta-4,5 juta orang dari kondisi
keadaan sekarang.
Langkah lainnya adalah dengan menata keberadaan PTS yang jumlahnya
sekitar 3.000. Asumsi yang digunakan pemerintah adalah PTS itu dibiarkan
beroperasi melalui mekanisme ”pasar”, mengingat pemerintah hampir tidak
berperan dalam menyediakan tenaga dosen serta anggaran. Kontrol dan
regulasi lebih sekadar seperti seorang ”satpam”: menjaga keamanan, di
antaranya menertibkan kelas jauh, menertibkan dosen, dan sebagainya.
Proses pembinaan yang diharapkan muncul dari koordinator Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) diperkirakan tidak berjalan. Mengingat
para koordinator akan hilir mudik mengunjungi PTS setiap wisuda, di mana
konsep pembinaannya sangat minim.
Konsepsi bagaimana negara dalam membangun sistem dan prioritas pendidikan
di PTS tampaknya diserahkan sepenuhnya kepada pihak yayasan dan pimpinan
eksekutif. Padahal, pembinaan bisa dilakukan secara sistemik, di antaranya
dalam mengembangkan arah PTS, pengembangan mutu dosen, dan pengembangan
jurusan.
Di Kopertis Wilayah X—yang merupakan pelayanan untuk pengawasan,
pengendalian, dan pembinaan Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan
Riau—baru sekitar 25 persen dari dosen yang memiliki jabatan fungsional.
Jumlah mereka yang telah memiliki jabatan fungsional ini diperkirakan
setengahnya bergelar fungsional lektor sampai guru besar: jabatan
fungsional yang layak jadi pembimbing utama.
Jadi, jangan disalahkan bila
di satu PTS ada seorang dosen membimbing 25-50 mahasiswa dalam proses tugas
akhir. Tentunya ini merupakan kondisi di ambang kehancuran dari praktik
akuntabilitas pendidikan tinggi.
Peranan Pemerintah
Pada masa yang akan datang, peranan pemerintah sebaiknya diperbesar
dalam memosisikan keberadaan PTS. Membiarkan PTS untuk menyediakan tenaga
dosen bergelar minimum tamat S-2 adalah suatu ilusi dan tidak akan sanggup
dipenuhi oleh penyelenggara PTS.
PTS mesti dianggap sebagai layanan semiprivat quasi services.
Artinya, mesti ada peranan pemerintah dalam menyediakan jasa layanan
pendidikan. Peranan pemerintah ke depan mesti pada penyediaan dosen,
peningkatan dan penjaminan mutu, serta kontrol terhadap akuntabilitas
penyelenggaraan.
Guna memenuhi hal tersebut, alangkah baiknya apabila pemerintah mau
menyiapkan dosen untuk memastikan proses belajar mengajar berjalan dengan
lebih baik. Jika sebuah jurusan memerlukan enam dosen tetap, peranan
pemerintah dapat berupa penyediaan dosen meski jumlahnya setengah dari yang
dibutuhkan. Hanya dengan dukungan penyediaan dosen diperkirakan peranan
pengawasan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah akan berjalan.
Namun, ketika ruwetnya pemenuhan dosen sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan saat ini, pengembangan pendidikan dengan aturan yang ketat
seperti sekarang hanya akan memakan korban. Korbannya tak lain adalah
mahasiswa yang masa emasnya tidak mendapatkan perhatian pemerintah.
Kerugian besar akan dirasakan kelak sebagai konsekuensi akibat pemerintah
tidak melakukan pembinaan yang baik terhadap PTS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar