Semiotika
Iklan Pecat
Ahmad Sahidah ; Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
JAWA
POS, 06 Februari 2015
Sebuah iklan produk mengguncang jagat media sosial. Berkat
tangan Wahyu Susilo, pegiat buruh, gambar iklan yang diunggah ke akun Twitter
dan Facebook sampai ke khalayak luas. Perusahaan elektronik pembersih lantai
dan kolam renang meletakkan cogan iklan, ’’Fire
Your Indonesian Maid’’. Tak tanggung-tanggung, Juru Bicara Kementerian
Luar Negeri Armanatha Nasir menyatakan bahwa pemerintah akan menempuh jalur
hukum untuk menggugat perusahaan tersebut. Sementara itu, Wahyu Susilo
mengajak orang ramai untuk memboikot barang itu andai Robovac tidak meminta
maaf.
Lalu, apa yang tersisa dari hiruk pikuk ini? Kehendak
untuk memahami bunyi iklan sebagai teks yang memicu bantahan keras, Fire Indonesian Maid. Menurut Umberto
Eco dalam Kant and Platypus: Essays on
Language and Cognition, semiotika tidak hanya berkait dengan apa dan
bagaimana kita menggunakan tanda untuk merujuk pada sesuatu, tetapi mengapa
seseorang mengungkapkan sesuatu (1999: 13–17). Kita tentu menumpukan pada
tema fire yang biasanya dikaitkan
dengan tindakan yang diambil karena pekerja dianggap tak layak lagi. Hanya,
manusia yang digantikan dengan mesin akan membuka tafsir bahwa buruh tidak
lebih mulia dibandingkan barang jualan. Pemahaman ini sejatinya dibebani
dengan prasangka yang selama ini menghantui hubungan serumpun.
Benarkah tenaga buruh bisa digantikan dengan mesin? Tidak
juga. Sebab, alat itu tetap dikendalikan oleh manusia. Namun demikian,
dilihat dari sudut lain, mereka yang masih mempunyai waktu luang sejatinya
bisa mengerjakan tugas-tugas pembantu dengan mudah apabila menggunakan alat
yang dijual oleh Robovoc. Sementara itu, kelompok kelas menengah yang sangat
sibuk tentu tak tergiur dengan iklan semacam ini karena pekerjaan mereka
mengurangi waktu untuk berada di rumah. Banyak warga Malaysia masih
bergantung kepada pekerja buruh migran, yang secara perlahan akan dikurangi
oleh pemerintah negara tetangga melalui pembangunan tempat penitipan bayi dan
anak.
Teks
Kalau melihat secara keseluruhan teks itu, tentu kita
perlu memperhatikan kata fire, yang terkait dengan penghentian pekerja secara
tak terhormat dengan pelbagai alasan. Hanya, penyebutan kata Indonesia dengan
mudah akan dipahami sebagai rasisme. Sebab, pembantu rumah tangga (PRT) yang
bekerja di negeri jiran tidak hanya berasal dari tanah air, tetapi juga
Filipina, Thailand, Sri Lanka, India, Vietnam, dan Laos. Namun, siapa pun
mafhum bahwa mayoritas PRT berasal dari Indonesia, yang mengandaikan bahwa
iklan ini membidik calon konsumen yang besar. Prinsipnya, kapitalisme hanya
ingin menjual barang sebanyak mungkin.
Tetapi, adakah iklan tersebut mewakili suara negeri jiran?
Di sinilah, kejernihan diuji. Sebagai penjual, perusahaan yang tak terkait
dengan sikap resmi pemerintahan Malaysia hanya menimbang hasil. Tapi,
khalayak dengan mudah akan menyimpulkan bahwa iklan tersebut menggambarkan
pandangan negara tetangga terhadap Indonesia. Jelas, ada lompatan-lompatan
yang mengakibatkan orang ramai akan mengungkit begitu banyak tragedi yang
menimpa pekerja migran kita di sana, sehingga iklan tersebut dipandang
sebagai puncak dari keadaan bawah sadar warga jiran terhadap tetangganya.
Padahal, iklan itu secara semiotik mendorong kita untuk
menyimak kata kunci dalam memahami objek atau teks, yaitu perhatian (attention). Dalam linguistik, attention itu merupakan kemampuan
untuk mengarahkan otak kita pada objek dan menumpukan perhatian pada satu
unsur dengan mengabaikan yang lain. Nah, di sinilah pembuat iklan telah
mengabaikan satu unsur penting dari bahasa bahwa kata itu berkait dengan
konteks. Ia telah mengabaikan bahwa kata fire bermuatan makna negatif dan
penggantian manusia dengan benda jelas-jelas akan menimbulkan tafsir
penghinaan dan penistaan.
Tugas Bersama
Bagaimanapun, kritik keras Wahyu Susilo kepada perusahaan
tersebut dengan menuntut pemboikotan seraya akan menggunakan segala waktu,
sumber, dan jaringan merupakan berita buruk bagi perusahaan. Jika tidak minta
maaf, antipati akan makin besar. Jelas, pegiat buruh migran itu tidak sedang
menyerang Malaysia per se,
mengingat rekan sejawatnya di Migrant Care, Alex Ong, adalah warga Malaysia
yang turut berjuang untuk membela hak-hak pekerja asing. Selain itu,
Tenaganita yang dimotori almarhumah Irene Fernandez turut menyuarakan hak-hak
buruh Indonesia di Malaysia.
Dulu, Alex Ong secara langsung pernah mengirim cuitan (tweet) ke akun Twitter Najib Razak,
perdana menteri Malaysia, terkait iklan TKI on Sale yang juga memantik
kontroversi. Dia mengatakan bahwa iklan yang melecehkan itu adalah buah dari
sistem agensi pembantu asing yang terlalu tamak mencari untung. Sama halnya
dengan perusahaan yang berpangkalan di Amerika Serikat ini. Hanya untuk
menarik minat pembeli, ia menggunakan segala cara untuk menarik perhatian.
Setelah kasus iklan obral TKI, tentu perusahaan ini akan menarik iklan kalau
hendak mendapatkan pasar yang luas.
Nah, mengingat Joko Widodo akan menemui Najib Tun Razak
dalam kunjungan resmi, 5–6 Februari 2015, di mana salah satu agenda
pembicaraan adalah nasib PRT, pengurusan pekerja informal bisa dibicarakan
secara menyeluruh. Lebih jauh, mengingat Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi telah memutuskan untuk menghentikan pengiriman PRT pada 2017,
kedua orang nomor satu tersebut bisa menyerahkan pelaksanaan teknis kepada
Satuan Kerja Gabungan (Joint Task Force)
agar pemulangan 300 ribuan PRT legal berjalan mulus.
Sementara itu, Farish A. Noor, sarjana terkemuka Malaysia,
melihat sentimen buruk dalam iklan tersebut. Pengumuman seperti ini sama sekali
tidak menimbang nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya itu, Lies Marcus,
feminis, pun memberi tahu rekan sejawatnya, Marina Mahathir, melalui Facebook
tentang penistaan ini. Dengan kata lain, isu ini sejatinya terkait dengan
nilai-nilai kemanusiaan secara umum. Jika isu tersebut dilihat dengan sempit,
kekerasan simbolik secara sengaja, kita gagal melihat kaitan kerakusan
kapitalisme dan strategi pemasaran yang acap mengabaikan isu sensitif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar