Ayo,
Polri, Tetap Berdiri
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
JAWA
POS, 06 Februari 2015
BAGAIMANA ujung akhir situasi sengkarut yang dipersepsikan
publik sebagai ”Cicak versus Buaya” bahkan ”Cicak versus Margasatwa”,
jawabannya masih jauh di ufuk. Tapi, sejumlah persoalan besar sejak kini
sudah menyergap Polri. Persoalan-persoalan itu tidak berkutat pada pertikaian
antara dua lembaga penegakan hukum, yang mudah-mudahan selesai setelah ada
kepastian status hukum atas BG dan para pimpinan KPK. Masalah yang jauh lebih
pelik berpusat pada diri organisasi Polri sendiri. Tentu, dibutuhkan
keberanian serta kekuatan Korps Tribrata dalam menahan ”rasa sakit” agar
persoalan-persoalan itu dapat terlihat jernih dan kelak teratasi.
Dilatarbelakangi proses hukum terhadap seluruh pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tampak sebagai langkah reaktif Polri
pasca penetapan Komjen Pol BG sebagai tersangka, Polri harus mampu meyakinkan
publik bahwa langkah kepolisian yang mereka ambil tersebut bukan
penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Juga, bukan manuver politik yang dikemas seolah-olah sebagai tindakan atas
nama hukum.
Itu persoalan pertama yang tidak bisa dipandang sepele.
Sebab, asosiasi antara aksi KPK dan reaksi Polri sudah terbangun sedemikian
kuat. Saban kali ada petinggi Polri yang dipermasalahkan KPK, seketika itu
pula Polri terlihat laksana badak terluka yang langsung melancarkan serangan
balik membabi buta. Apabila Polri gagal membuktikan bahwa kerja mereka kali
ini terhadap para pimpinan KPK sepenuhnya berlandaskan penegakan hukum,
sanksi masyarakat akan teramat pedih: kian pupusnya kepercayaan publik
terhadap Korps Tribrata.
Kedua, terlepas lembaga mana yang akan memenangi
”pertarungan” ini, niscaya ada lebam dalam di ulu hati KPK dan Polri. Ketika
lembaga-lembaga penegakan hukum terlihat rapuh, imbasnya adalah kian
berjangkitnya fenomena kejahatan. Sialnya, sebagai pihak yang lagi-lagi
diposisikan khalayak luas pada sudut yang ”salah dan kalah”, hampir bisa
dipastikan bahwa Polri sendirian yang akan paling sering dituding sebagai
penyebab situasi ruwet tersebut.
Dari situ bisa diramal bahwa kemelut antara Polri dan KPK
akan mengakibatkan kian beratnya kerja Polri dalam memberantas kejahatan dan
menindak pelanggaran hukum. Sebab, selain fenomena kejahatan yang semakin
buruk, amunisi utama Polri berupa dukungan masyarakat kadung menipis.
Ketiga, (kabar tentang) para petinggi Polri dengan
rekening gendut akan terus menjadi duri dalam daging. Objektivitas hasil
penyelidikan internal Polri terhadap para pemilik rekening jumbo ditanggapi
masyarakat luas dengan skeptisisme tinggi. Sorotan publik dan intaian KPK
serta PPATK tidak akan lepas selama Polri sendiri masih belum membersihkan
para personelnya yang diketahui memiliki kekayaan dari sumber-sumber yang
tidak wajar.
Keseriusan untuk melakukan aksi bersih-bersih seperti itu
bisa dipastikan sulit dilakukan. Pasalnya, andai benar rahasia umum bahwa
kekayaan tidak wajar itu didapat melalui penyalahgunaan kewenangan secara
sistemik, upaya pembersihan internal bisa menjadi ajang harakiri di antara
sesama aparat Polri. Bahkan, apabila kebersihan kekayaan dijadikan sebagai
syarat mutlak bagi siapa pun yang akan duduk di kursi kepemimpinan, sangat
merisaukan bahwa persediaan personel yang memenuhi kriteria itu dikhawatirkan
akan amat sangat terbatas.
Masalah keempat berangkat dari hasil riset yang
menyimpulkan bahwa, di dalam institusi kepolisian, para junior menyebut
senior mereka sebagai acuan utama tentang moralitas. Ironisnya, pada saat
yang sama, junior juga menyatakan kakak-kakak angkatan adalah pihak pertama
yang mereka saksikan melakukan pelanggaran terhadap kaidah moralitas.
Dengan pemahaman akan krusialnya kedudukan senior di mata
junior, bisa dibayangkan, sebagai sebuah organisasi yang sangat kental
diwarnai budaya senior-junior, seluruh personel Polri tentu saat ini juga
mencermati secara seksama perilaku para senior mereka di Mabes Polri. Yang
diamati bahkan dipelajari, tak lain, adalah seberapa jauh senior berhasil
mengekspos diri sebagai mercusuar kebenaran. Yaitu, dalam pengertian
bagaimana senior memfungsikan hukum guna menegakkan kebenaran dan keadilan,
bagaimana senior merawat dan mempertahankan martabat korsa, serta bagaimana
senior merespons pertanyaan bahkan syak wasangka masyarakat dengan
jawaban-jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Andai mercusuar itu memancarkan sinar yang terlalu redup
atau bahkan padam total, pewarisan profesionalitas dan integritas yang bobrok
menjadi kemungkinan yang sangat nyata. Perwujudannya adalah para penggawa
kepolisian yang bekerja, bukannya melindungi, justru menyebar ketakutan
sembari mempertontonkan penistaan terhadap nilai kepatutan, kebenaran, dan
akal sehat. Regenerasi tabiat pemolisian yang memangsa (predatory policing)
itu akan membuat proses reformasi Polri terpelanting sekian masa ke belakang.
Entah bagaimana ketiga permasalahan di atas dapat
dipecahkan Polri. Bahkan, jangankan menemukan solusi, ada yang mendorong
Polri –juga KPK– untuk lebih sudi melongok ke dalam diri sendiri (inward looking) pada waktu-waktu
sekarang kiranya susah bukan alang kepalang. Itulah pertanda merajalelanya
bias egosentris, yaitu anggapan bahwa kebenaran ada dalam genggaman kami,
sedangkan kesalahan menggelayut di pundak mereka.
Padahal, becermin pada ungkapan sastrawan Antoine de
Saint-Exupery, cinta (baca: kekompakan antarinstitusi penegakan hukum) tidak
terbentuk berkat saling pandang, melainkan ketika kedua pihak sama-sama
menatap ke luar dengan titik tujuan yang satu.
Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar