Santunan
Korban AirAsia
E Saefullah Wiradipradja ; Guru
Besar Hukum Udara
Universitas Padjadjaran, Bandung
|
KOMPAS,
31 Januari 2015
SETELAH korban dan potongan tubuh
pesawat AirAsia satu per satu ditemukan, tahapan penanganan bencana sampai pada
pembayaran santunan. Muncul wacana, siapa yang harus membayar santunan kepada
keluarga korban, apakah pihak perusahaan penerbangan atau pihak asuransi.
Demikian juga tentang berapa nominal yang akan diterima keluarga korban, ada
yang mengatakan Rp 1,25 miliar dan ada yang Rp 2 miliar. Juga ada masalah
bahwa AirAsia tidak memiliki izin terbang Surabaya-Singapura pada hari Minggu
sehingga memengaruhi pembayaran santunan.
Berdasarkan hukum, baik hukum
internasional maupun hukum nasional, yang bertanggung jawab untuk membayar
santunan adalah perusahaan penerbangan, bukan asuransi. Hal ini jelas
disebutkan dalam Pasal 17 Konvensi Montreal 1999, pengganti Konvensi Warsawa
1929.
Sementara dalam Pasal 141
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pengganti UU No
15/1992, dinyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan
kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat
udara.
Jelaslah bawa perusahaan
penerbangan yang harus memberikan santunan, kecuali santunan dari Asuransi
Jasa Raharja, yang berdasarkan UU No 33/1964 memberikan santunan kepada para
korban kecelakaan transportasi (darat, laut dan udara) dan atau asuransi yang
ditutup secara pribadi oleh penumpang.
Pasal 179 UU No 1/2009 mewajibkan
setiap perusahaan penerbangan mengasuransikan tanggung jawabnya (legal liability insurance). Penutupan
asuransi oleh perusahaan penerbangan tidak boleh kurang dari jumlah tanggung
jawab yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan Konvensi Montreal 1999
Pasal 50. Tujuannya, untuk menjamin bahwa apabila terjadi kecelakaan pesawat
udara, santunan yang dibayarkan oleh perusahaan penerbangan kepada para
korban atau keluarganya akan diganti kembali oleh perusahaan asuransi
sehingga perusahaan penerbangan tersebut tidak merugi.
Perusahaan asuransi hanya membayar
sejumlah uang kepada perusahaan penerbangan sesuai dengan perjanjian asuransi
yang diadakan. Apabila dalam perjanjian asuransi antara perusahaan penerbangan
dan perusahaan asuransi jumlahnya lebih besar dari kewajiban perusahaan
penerbangan kepada para korban, kelebihan tersebut menjadi milik perusahaan
penerbangan.
Perjanjian asuransi antara
perusahaan penerbangan dan perusahaan asuransi, di samping untuk tanggung
jawab terhadap penumpang, juga dapat menutup asuransi untuk hull (badan pesawat), air crew (awak pesawat), barang-barang
yang diangkut (goods atau bagasi),
dan tanggung jawab terhadap pihak ketiga di permukaan bumi (korban yang tidak
ada hubungannya dengan penerbangan).
Jumlah (besarnya) santunan yang
menjadi tanggung jawab perusahaan penerbangan (pengangkut udara) berdasarkan
Konvensi Montreal 1999 adalah 100.000 SDR (special drawing rights), satuan uang dari Dana Moneter
Internasional (IMF-Badan Khusus PBB) lebih kurang senilai Rp 2 miliar.
Karena Indonesia belum
meratifikasi Konvensi Montreal 1999 sehingga tidak mengikat Indonesia, dengan
sendirinya untuk penerbangan internasional masih berlaku Konvensi Warsawa
1929 sebagaimana telah diubah dengan Protokol Den Haag 1955. Jumlah santunan,
menurut Konvensi Warsawa-Protokol Den Haag, sebesar 250.000 gold francs atau
20.000 dollar AS.
Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta
Mahkamah Internasional, sumber hukum internasional terdiri dari (1)
perjanjian-perjanjian internasional (international
treaties); (2) kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang
diterima sebagai hukum (international
custom, as evidence of general practice accepted as law); (3)
prinsip-prinsip umum hukum (general
principles of law).
Ketiga sumber hukum tersebut
memiliki kedudukan yang sama. Karena itu, apabila perjanjian internasional
tidak ada, misalnya suatu negara belum meratifikasi perjanjian internasional
(Konvensi Montreal), kebiasaan internasional dapat diberlakukan.
Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara (domestik)
menyesuaikan jumlah santunan dari Rp 40 juta per penumpang, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995, menjadi Rp 1,25 miliar per
penumpang domestik.
Jumlah itu jelas mendekati jumlah
yang ditetapkan dalam Konvensi Montreal. Maka, jumlah yang ditawarkan pihak
AirAsia (sekitar Rp 2 miliar) adalah jumlah yang wajar dan sesuai dengan
Konvensi Montreal 1999.
Selanjutnya ada pula masalah izin
terbang. Apabila perizinan ini ada hubungannya dengan kecelakaan pesawat
udara—misalnya berdasarkan informasi/arahan ATC pesawat dilarang terbang
karena keadaan cuaca buruk sehingga membahayakan penerbangan, tetapi
pilot/pegawai perusahaan penerbangan memaksakan diri untuk terbang, atau
melintasi daerah yang (cuaca) berbahaya (atas dasar informasi dari ATC) demi
efisiensi bahan bakar—jika terjadi kecelakaan, tanggung jawab pengangkut
udara adalah tak terbatas (unlimited).
Karena ada unsur
kesengajaan/kelalaian dari pihak perusahaan penerbangan, pihak korban atau
keluarganya dapat menuntut santunan melebihi batas tanggung jawab yang
ditentukan.
Akan tetapi, apabila perusahaan
penerbangan dapat membuktikan bahwa kesalahan ada pada pihak lain (misalnya
pemerintah) atau pihak korban sendiri turut dalam menyebabkan kecelakaan (contributory negligence) atau dia
(penumpang) meninggal karena sakit bawaannya (misalnya karena serangan
jantung yang dia derita dari sebelum naik pesawat), perusahaan penerbangan
dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar