Enrique
Pena Nieto
Trias Kuncahyono ; Penulis
kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
01 Februari 2015
Ia seorang pengacara, juga politisi. Ayahnya, Severiano,
adalah Wali Kota Acambay, Meksiko. Pada tahun 1993, Enrique Pena Nieto
menikah dengan Monica Pretelini. Namun, pada tahun 2007, Monica meninggal dan
meninggalkan tiga anak. Tiga tahun kemudian, tahun 2010, Pena menikahi
bintang telenovela, Angelica Rivera. Namun, ia mempunyai seorang anak di luar
nikah.
Itulah potret kecil Enrique Pena Nieto, Presiden Meksiko
sekarang. Jabatan itu dipegang sejak 1 Desember 2012, menggantikan Presiden
Filepe Calderon. Pena menjadi presiden dengan membawa bendera Partai
Revolusioner Institusional (Partido
Revolucionario Institucional/PRI) yang menguasai panggung politik Meksiko
selama 71 tahun terakhir.
Dalam kampanye Pena, kalau terpilih menjadi presiden, ia
akan liberate, membebaskan negerinya dari kejahatan, korupsi, dan impunitas.
Itulah tiga ”dosa” besar Meksiko. Ketiganya—kejahatan, korupsi, dan impunitas—berkait,
berkelindan, saling isi-mengisi.
Meksiko dikenal dengan perdagangan obat bius secara ilegal
yang menyusup di dan ke mana-mana. Perdagangan obat bius ini menumbuhsuburkan
kejahatan, sekaligus penyuapan, mordida, dan korupsi, sekaligus impunitas.
Korupsi berurat berakar dalam kultur Meksiko (Stephen D Morris, Corruption and Mexican Political Culture).
Korupsi menguasai pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya
menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan
informasi, keputusan, pengaruh uang, atau kekayaan untuk kepentingan
keuntungan dirinya. Orang Meksiko, misalnya, memandang kepolisian sebagai
lembaga pemerintah yang paling korup dan kurang profesional. Mereka gampang
disuap, tidak konsisten dalam menindak kejahatan, dan cenderung bekerja sama
dengan kartel obat bius.
PRI yang berkuasa sepanjang tujuh dekade telah menjadi
faktor signifikan dalam peningkatan aktivitas kejahatan di berbagai tingkat.
Pengaruh politik dalam kejahatan terorganisasi di Meksiko mencapai puncaknya
selama pemerintahan Presiden Carlos Salinas de Gortari (1988-1994).
Haryatmoko, dalam Etika
Politik dan & Kekuasaan (2014),
menulis, macam-macam korupsi ini tidak bisa dipisahkan dari interaksi
kekuasaan. Orang yang terjun ke dunia politik dengan masih bermental animal
laborans, yakni orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus
produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan politik tempat mata
pencaharian utama. Sindrom yang menyertai, salah satunya, adalah korupsi.
Barangkali seperti itu pula yang terjadi di Meksiko. Tugas
Pena tidak ringan. Apalagi, orang Meksiko sinis terhadap apa yang diucapkan
Pena. Lagi pula, rule of law tidak
dapat diciptakan di Meksiko dalam tempo semalam untuk membersihkan
kepolisian, misalnya, tetapi butuh bertahun-tahun-tahun, bahkan berdekade.
Lalu, apakah Pena, yang hanya memenangi 38 persen suara
(mengalahkan Andres Manuel Lopez Obrador) dalam pemilu presiden, akan mampu
mewujudkan mimpinya? Sulit untuk dijawab, apalagi para koruptor merasa berada
di atas hukum. Mereka merasa akan dibela institusi atau organisasi yang
mempekerjakan mereka.
Cerita di negeri ini pun tak jauh berbeda dengan yang
terjadi di Meksiko. Coba simak dan perhatikan secara saksama apa yang terjadi
di sekitar kita belakangan ini, bukankah semacam itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar