Quo
Vadis Partai Golkar
FS Swantoro ; Peneliti, Tinggal di Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 10 Februari 2015
DI luar kisruh KPK-Polri yang menimbulkan bara panas dan
membuat pusing Presiden Jokowi, ada kehidupan lain yang juga panas dalam
jagad politik nasional, yakni perpecahan Partai Golkar. Seperti dikatakan
Ketua Harian Partai Golkar kubu Munas Bali MS Hidayat, ”persoalan
kepemimpinan kembar sangat memprihatinkan. Bara api perlahan tapi pasti bakal
merambat di akar pohon beringin.”
Padahal, andai kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie mau
menempuh islah, Golkar masih diperhitungkan di kancah politik. Konsekuensinya
kedua pemimpin harus rela bergabung dan saling legawa. Begitu pula keluhan
dari kubu Munas Ancol, Priyo Budi Santoso,” Kami tidak habis pikir betapa
Golkar sebagai partai legendaris dan berkuasa pada era Orde Baru, harus
menghadapi perebutan kursi kepemimpinan.
Pilihan ke pengadilan demi kepastian hukum justru membuat
kepedihan makin berlarut-larut.” Jalur pengadilan memang sah karena UU Partai
memungkinkan hal itu dan Mahkamah Partai tidak bisa menyelesaikan dualisme
tersebut. Kini Partai Golkar di ujung tanduk akibat sulit merumuskan dari
mana solusi harus dimulai, hingga nyaris tinggal menunggu waktu. Membiarkan
akar terbakar atau sebaliknya jalan islah yang bersendikan kebesaran hati
para pemimpinnya.
Quo vadis Partai Beringin? Dinamika Golkar memasuki tahap
pelik. Majelis hakim PN Jakarta Pusat, mengabulkan eksepsi tergugat
Ical-Idrus Marham terhadap penggugat Agung Laksono dan meminta kedua kubu
menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal partai. Kubu Agung menggugat
keabsahan kubu Golkar versi Munas Bali yang dipimpin ARB ke PN Jakarta Pusat.
Hakim meminta kedua kubu menyelesaikan melalui Mahkamah
Partai sesuai Pasal 32 dan 33 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selanjutnya PN Jakarta Pusat
mengabulkan eksepsi tergugat Aburizal Bakrie, Idrus Marham, dan DPP Golkar
hasil Munas Bali. Dalam eksepsinya, kuasa hukum DPP Golkar versi Munas Bali,
Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, ”PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili
gugatan Agung Laksono.”
Baik Golkar hasil Munas Bali maupun Tim Penyelamat Golkar
yang dipimpin Agung belum pernah menyelesaikan persoalan melalui Mahkamah Partai.
Hingga sekarang belum ada tandatanda keterbelahan Golkar bakal mereda, meski
solusi untuk konflik sudah banyak dibicarakan dan diupayaan. Sebenarnya ada
dua solusi. Pertama; islah. Kedua pengurus lewat penyelesaian adat menggelar
munas islah bersama guna menentukan kepemimpinan tunggal.
Dua opsi itu belum disepakati oleh kubu Agung atau Ical.
Golkar harus cepat menemukan solusi mengingat proses kontestasi pilkada
serentak 2015 akan dimulai akhir Februari ini. Belum lagi pilkada serentak
2018 dan pemilu serentak 2019. Solusi itu harus cepat dicapai karena ada 204
bupati/wali kota dari Golkar yang terancam tidak bisa menggunakan kendaraan
Golkar dalam Pilkada 2015 dan itu sangat merugikan Partai Beringin.
Meminjam hasil survei LSI Januari 2015, publik masih
berharap konflik internal Golkar dapat diselesaikan lewat islah. Ada empat
alasan yang mendasari, yakni pertama; selain murah, cara itu bisa menghindari
perpecahan lebih parah dibanding lewat pengadilan. Selain itu, makin lama
konflik berlangsung makin menghancurkan partai, bahkan berisiko merambat ke
daerah dan menimbulkan kepengurusan kembar di DPD I dan II.
Ganggu Stabilitas
Kedua; konflik internal Golkar bisa mengganggu stabilitas
politik nasional. Ketiga; publik menilai jika islah, Golkar bisa menjadi role
modelbagi parpol-parpol di Indonesia. Keempat; publik yakin Golkar punya
tradisi panjang dalam menyelesaikan konflik internal. Para elite sudah
terbiasa dalam situasi konflik dan mampu mencari win-win solution. Permintaan
kubu Agung agar Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) adalah hal yang
sulit dilakukan.
Pasalnya, menurut kubu Ical, keputusan bergabung dengan
KMP telah ditetapkan dalam munas IX Bali. Kini yang paling mengemuka adalah
munas rekonsiliasi. Kalau sepakat munas rekonsiliasi, serahkan saja ke munas
untuk memutuskan apakah Golkar tetap di KMP atau jadi kekuatan penyeimbang.
Sebenarnya bila bisa islah, persoalan selesai. Terlebih
kedua kubu punya kepentingan ikut agenda pilkada serentak 2015 dan 2018 serta
pemilu serentak 2019. Untuk itu munas bersama hanya dilakukan khusus untuk
memilih Ical dan Agung. Jika Agung menang, Ical bisa menjadi ketua dewan
pertimbangan. Sebaliknya, bila Ical menang, Agung menjadi wakil ketua umum
menyusun kepengurusan, bersama formatur lain.
Munas bersama tersebut juga bisa memutuskan jalan tengah,
yaitu Golkar tidak di pemerintahan tapi juga tidak di KMP. Golkar fokus
menjalankan fungsi kepartaian dengan menjalankan fungsi kontrol di parlemen
dan merealisasikan program partai yang prorakyat. Jika ide-ide itu tak bisa
diwujudkan, dikhawatirkan Golkar menjadi dinosaurus yang pernah dikenal
sangat besar tapi kini tinggal sejarah. Quo vadis Partai Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar