Menyoal
Mobil Nasional Indonesia
Danang Parikesit ; Ketua Masyarakat Transportasi
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2015
DI tengah hiruk pikuk politik
dalam negeri, berita mengenai penandatanganan MoU antara Proton Malaysia dan
sebuah perusahaan Indonesia untuk penyusunan studi kelayakan pengembangan
mobil nasional Indonesia mencuri perhatian publik. Persoalan mobil nasional
selalu menarik perhatian karena sekurangnya tiga alasan pokok.
Pertama, argumen bahwa negara
sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kelompok kelas
menengah yang semakin dominan, serta pendapatan masyarakat yang menaik secara
gradual haruslah memiliki industri otomotif yang memiliki label `nasional'
atau milik Indonesia dengan berbagai atributnya. Romantisme nasionalisme
produk Indonesia seolah menemukan wujudnya dalam bentuk mobil yang merupakan
simbol kebutuhan pergerakan sehari-hari yang bernilai ekonomi tinggi. Para
politikus merupakan kelompok pendukung dari pandangan itu karena dipandang mampu
mendongkrak semangat Indonesia First
seperti yang terjadi di Jepang era 1970-an dan Korea pada 1990-an.
Kedua, mendorong keberadaan mobil
sebagai sarana transportasi memiliki paradoks terhadap upaya pemerintah dan
khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong angkutan umum. Pada saat
Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita begitu terkesan dengan ucapannya, “Kita butuh transportasi murah, bukan
mobil murah!“ Kebutuhan untuk mengembangkan mobil murah berbahan bakar
hemat seperti yang dinyatakan dalam PP No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, maupun turunannya dalam bentuk Permenperin No 33/2013 dan
Surat Edaran Dirjen IUBTT No 25/2013 menunjukkan insentif pengurangan pajak
bagi mobil dengan spesifikasi tertentu. Kebijakan yang secara populer dikenal
dengan LCGC (low cost green car)
ditentang berbagai pihak karena kontraproduktif dengan upaya memperbaiki kondisi
transportasi perkotaan yang sangat buruk. Keberatan masyarakat itu seolah
terjustifikasi dengan diraihnya predikat Jakarta sebagai kota termacet di
dunia. Para perencana transportasi, ahli perencanaan, dan pakar lingkungan
merupakan kelompok yang menyuarakan kekhawatiran fasilitasi pemerintah dalam
mendorong jenis mobil murah ini. Apalagi, harga murah yang terjadi bukan
karena efisiensi di sektor produksi, melainkan pengurangan pajak yang
seharusnya menjadi hak masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, upaya mendorong industri
otomotif memiliki pendukung yang fanatik karena sektor itu menjadi penghela
pertumbuhan ekonomi nasional. Industri otomotif itu dipromosikan sebagai
sektor yang tahan terhadap dinamika ekonomi regional global. Produsen
otomotif di Indonesia yang tergabung dalam Gaikindo merupakan proponen dari
argu men itu karena jelas memengaruhi keberlangsungan bisnis mereka. Pendukung
lain dari konsep itu ialah para ahli ekonomi industri yang melihat trickle down dari keberadaan industri
itu terhadap penciptaan tenaga kerja dan kenaikan daya beli.
Tanggapan normatif
Apa reaksi ketiga kelompok
pendukung tiap argumen tersebut terhadap berita penandatanganan MoU antara
Proton dan perusahaan Indonesia? Tidak ada antusiasme yang menggelora. Tidak
ada penolakan yang kritis dari para ahli transportasi dan pakar lingkungan. Tidak
ada komentar keras, baik yang mendukung atau menolak dari kelompok produsen
otomotif. Semua pihak memberikan tanggapan normatif dan dugaan saya, media
akan membiarkan berita tersebut berlalu tanpa kesan. Semua terlihat
biasabiasa saja.
Ada fenomena menarik yang kita
lihat dari kondisi ini. Sebagai mazhab pembangunan, barangkali pandangan
politik yang diwujudkan dengan produk yang berbau `nasional' tidak lagi
mendapat tempat di hati masyarakat. Bagi masyarakat yang rasional, yang
paling penting bagi mereka ialah produk yang bermanfaat dengan biaya yang
sesuai dengan daya beli. Nasionalisme tidak lagi berwujud dalam bentuk fisik
karena masyarakat menyadari produksi barang dilakukan dengan sistem global supply chain.
Para ahli transportasi apatis
dengan berbagai rencana pemerintah yang seolah menjalankan kebijakan yang
paradoksal. Ketika upaya mendorong penggunaan angkutan umum dipandang kurang
progresif, upaya merasionalkan pemanfaatan kendaraan pribadi seolah macet di
tengah jalan. Kecuali kebijakan pengurangan subsidi BBM yang sebenarnya bukan
dilandasi pertimbangan transportasi yang berkelanjutan dan proyek MRT,
praktis program-program transportasi tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Produsen mobil yang ada di
Indonesia sangat memahami bahwa mendirikan industri mobil bukan persoalan
sederhana karena tidak hanya persoalan membuat kendaraan. Benar bahwa
kepemilikan mobil di Indonesia ialah 0,2-0,3 mobil per keluarga, tetapi
produsen harus memikirkan seluruh rantai pasok dan rantai nilai untuk
menjamin keberlanjutan usaha mereka. Beberapa produsen otomotif yang telah
menghasilkan kandungan lokal lebih dari 80% tidak lagi merasa perlu
memberikan label `nasional' bagi produk mereka. Sebuah mobil yang memiliki
kandungan lokal lebih dari 80%-85%, dengan penggunaan tenaga kerja lebih dari
90%, konsumsi energi yang rendah, dan memiliki pembiayaan investasi dari
sumber-sumber dalam negeri sebenarnya telah mencukupi untuk memperoleh
insentif pemerintah.
Tentu saja semua akan menjadi
berbeda apabila mobil tersebut masuk menjadi salah satu mobil yang ada
didaftar e-book dari LKPP sehingga
bisa dilakukan pembelian langsung tanpa tender. Bayangkan apabila seluruh
pejabat desa hingga nasional membeli mobil tersebut dengan anggaran
pemerintah, seperti mobil VW Safari saat Orde Baru. Nah, ini baru akan
menjadi berita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar