Branding
Proton Klaim Mobnas
Effnu Subiyanto ; Advisor CikalAFA-umbrella, Direktur
Koridor,
Kandidat
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
JAWA
POS, 09 Februari 2015
LAWATAN Presiden Joko Widodo ke negeri jiran Malaysia
setidaknya mempunyai manfaat kepada mereka. Pada kesempatan itu, secara
implisit pemerintah merestui kerja sama B-to-B antara PT Adiperkasa Citra
Lestari dan Proton Holding Bhd (6/2) untuk melakukan studi di Indonesia.
Publik Indonesia tentu saja bertanya-tanya, apakah yang akan distudi?
Persiapan penetrasi pasar besar-besaran atau studi untuk menjadikan mobil
Proton sebagai mobil nasional Indonesia?
Hal tersebut normal karena beberapa kali pemerintah
mengeluarkan kebijakan tentang mobil seperti LCGC tahun 2013 namun konkretnya
tidak pernah jelas. Kebijakan LCGC adalah yang terakhir dan menutup
pemberitaan mobil Esemka dan mobil listrik nasional (molinas). Itu tentu saja
terkait dengan gemuknya pasar mobil di Indonesia. Penjualan tahun lalu
mencapai 1,19 juta unit, turun sedikit bila dibandingkan dengan penjualan
2013 yang sebanyak 1,22 juta unit.
Persaingan pasar mobil Indonesia yang sangat ketat itu
menuntut strategi pemasaran yang juga harus extraordinary dan beda. Klaim sebagai mobil nasional tentu pintu
yang sangat dramatis dan heroik karena ada emosional yang terbawa, yakni
sebagai bangsa yang nasionalis, menghemat cadangan devisa, dan atau dorongan
bersikap prodomestik. Upaya yang dilakukan Proton tentu saja pas pada konteks
ini dan seremoni itu sebetulnya branding untuk meningkatkan daya ungkit (leverage) merek mobil Proton di
Indonesia yang selama ini relatif stagnan.
Tutup Buku Mobnas
Spirit mobnas sebetulnya belajar dari sejarah berbagai
bangsa yang sukses mengembangkan ikon mobil nasionalnya sebagai salah satu
pride of nation. Amerika terkenal dengan Ford, Italia dengan Ferrari, Jepang
dengan Toyota, Jerman dengan BMW dan Mercedes-Benz, India dengan Tata, dan
masih banyak lagi sampai Malaysia dengan Proton. Indonesia memang tidak
mempunyai kebanggaan kecuali menjadi pasar bagi produk-produk mereka. Itulah
dulu sampai saat ini yang menjadi obsesi Indonesia, dengan memberikan banyak
fasilitas khusus namun hasilnya nihil sampai sekarang.
Banyak sekali deretan proyek mobil nasional sejak 1990,
mulai MR90, Timor, Kancil, hingga yang heboh terakhir ini, Esemka dan LCGC.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan bahkan pernah mengujicobakan mobil listrik
futuristis seperti Tucuxi. Persoalannya hanya fokus yang tidak bisa
diperoleh, akhirnya hasilnya setengah-setengah. Semuanya lekas dilupakan
karena segera tertarik dengan model baru yang lebih baik, lebih cepat, lebih
bagus, dan lebih murah.
Padahal, semuanya menyadari, apa pun gencarnya promosi
sebagai mobil nasional, jika tidak memenuhi kriteria pasar, akan terjerembap.
Ini tentu saja karena pilihan yang sudah tersedia akibat globalisasi pasar.
Rakyat Indonesia berhak memilih, dengan harga yang sama, bagaimana fasilitas
mobil yang diperolehnya. Bahkan, dalam alasan ekstrem, meskipun harga mobil
nasional tersebut sudah lebih murah, namun karena alasan sulitnya mendapatkan
suku cadang, mobil nasional pun potensial tidak akan laku. Itu terjadi pada
mobil Korea di Indonesia.
Jadi, sebetulnya upaya Proton yang bekerja sama dengan PT
Adiperkasa Citra Lestari (ACL) tidak perlu diributkan di Indonesia. Demikian
pula secara berimbang Proton juga tidak boleh melakukan klaim sebagai mobil
nasional Indonesia, juga ACL. Pemerintah pun tidak perlu secara melankolis
memberikan dukungan kepada proton berlebihan kecuali memang prosedural normal
seperti yang dilakukan investor jika akan berinvestasi di Indonesia.
Kehadiran Joko Widodo dalam acara seremoni sudah lebih dari cukup sebagai
penghormatan kepada investor dan itu sangat normal.
Benahi Infrastruktur
Melihat pesatnya angka penjualan mobil setiap tahun yang
kini menembus 1 juta per tahun, sebetulnya yang perlu ditekan pemerintah
kepada pabrikan mobil adalah kontribusinya dalam perbaikan infrastruktur
transportasi. Pabrikan mobil dan sepeda motor atau pembuat moda transportasi
lainnya harus memberikan solusi atas buruknya kualitas transportasi nasional.
Baru-baru ini, berdasar data Castrol, dua kota besar
Indonesia masuk lima kota terburuk dunia dalam bidang transportasi. Jakarta
menduduki peringkat pertama terburuk, sedangkan Surabaya nomor empat. Tidak
tertutup kemungkinan kota-kota lain Indonesia sebentar lagi menyusul Jakarta
dan Surabaya.
Data yang dirilis pabrikan pelumas itu menyebutkan, setiap
mobil di Jakarta start-stop 33.240 kali dalam setahun, sementara Surabaya
29.880 kali. Terburuk kedua Istanbul (32.520 kali dalam setahun), Mexico City
(30.840), dan kelima St Petersburg (Rusia) 29.040 kali. Semakin banyaknya
start-stop mengindikasikan parahnya kondisi mobil tersebut antara menginjak
pedal gas dan rem dan tentu saja akan berdampak lain, misalnya, kenaikan
konsumsi BBM dan biaya pemeliharaan kian mahal.
Dalam hal ini, komitmen pabrikan mobil sangat diharapkan
dalam perbaikan transportasi nasional. Misalnya, menyediakan kendaraan masal
untuk fasilitas transportasi publik. Tidak elok rasanya ekstensifikasi jumlah
produksi mobil untuk memaksimalkan keuntungan namun mobil itu pun sebetulnya
tidak bermanfaat karena lalu linta macet sama sekali. Permasalahan tersebut
sudah menjadi masalah bersama, termasuk kepada pabrikan mobil itu sendiri dan
sudah sangat serius.
Kondisi tersebut memang bagai telur dan ayam, penyediaan
fasilitas transportasi publik pun tidak akan efektif karena jalanan yang sama
juga sudah macet. Transportasi publik pun umumnya hanya tersedia pada
ruas-ruas terpadat dan akan menimbulkan masalah pada ruas pengumpannya dan
akhirnya tidak berhasil. Ruang parkir tidak ada dan akhirnya mereka enggan
menggunakan fasilitas transportasi publik itu.
Itulah yang harus dibenahi dengan serius oleh pabrikan
kendaraan bermotor. Harus ada studi dari kawasan permukiman sampai tujuan
akhir aktivitas penduduk setiap hari. Penyediaan fasilitas publik harus
menyeluruh dari titik awal sampai titik akhir. Pabrikan harus membuat
transportasi pengumpan dan transportasi utama (main feeder). Buat prototipe untuk satu jalur saja sehingga bisa
diketahui berapa penurunan kuantitas kemacetannya untuk jalur itu. Jika sudah
matang dan firm, baru dibuatkan dalam skala besar dan pemerintah memberikan
dukungan dalam bentuk peraturan sampai undang-undang yang berkonsekuensi
hukum.
Sosialisasi harus dilaksanakan terus-menerus. Memberikan
edukasi kepada setiap penduduk bahwa sudah ada transportasi publik yang aman,
murah, dan tepat waktu. Jika bisa berkontribusi pada masalah ini, rakyat
tentu akan senang menjadi mitra pabrikan itu kapan pun.
Semoga studi yang akan dikerjakan Proton dalam enam bulan
juga memberikan solusi akan hal ini, bukan semata-mata studi mencari untung
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar