Politik
Islam Indonesia
Arif Fahrudin ; Wakil
Sekretaris Komisi Pendidikan MUI Pusat
|
REPUBLIKA,
10 Februari 2015
Pada Februari ini umat Islam Indonesia menggelar Kongres
Umat Islam Indonesia (KUII) VI. KUII ini idealnya tak bisa dilepaskan dari
agenda dan tantangan zaman penyelenggaraan kongres sebelumnya yang telah
melahirkan tonggak monumen sejarah pergerakan umat Islam Indonesia dari masa
ke masa.
Pertama, Kongres Islam di Cirebon pada 1922. Kemudian
Kongres Umat Islam pada 1937 di Yogyakarta yang melahirkan MIAI sebagai
embrio Masyumi di era penjajahan Jepang. Pada Oktober 1945, Kongres Umat
Islam Indonesia di Yogyakarta mengesahkan kata jihad fi sabilillah sebagai
bentuk pengesahan resolusi jihad NU yang digelorakan di Surabaya. Pada tahun
yang sama pula lahirlah Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai
wadah permusyawaratan umat Islam Indonesia.
Kongres umat Islam Indonesia berikutnya mengalami dinamika
artikulatif dan konsolidatif. MUI yang lahir pada 1975 baru mengambil peran
aktif untuk merevitalisasi kongres umat Islam pada 1999 di awal reformasi dan
disemati sebagai KUII ketiga. KUII keempat digelar 2005 dan KUII kelima
dihelat pada 2010.
Salah satu tema KUII VI ini yang diyakini
merepresentasikan isu dan kepentingan paling menonjol dinamika Islam
Indonesia adalah tentang penguatan peran politik umat Islam Indonesia. Muslim
Indonesia setidaknya mempraktikkan empat format politik Islam. Pertama,
politik Islam substansif. Dalam format substansifisme, agenda keislaman diusung
dengan mengesampingkan simbol keislaman dan lebih menonjolkan pesan
substansif kepentingan Islam.
Salah satu pesan penting substansifisme politik Islam ini
bisa menghindarkan Islam dari jebakan perbedaan yang bersifat formalistis dan
simbolis. Namun, format substansif berakibat makna dan kepentingan Islam
"menyublim" atau melebur dalam ruang kehidupan. Alih-alih
mengharapkan kehadiran peran dan kontribusi Islam secara kelembagaan,
definisi Islam secara genuine dan formil justru menjadi nisbi dan sumir. Sementara,
dalam kontestasi riil di ruang sosial, aspek formalitas tak dapat diabaikan
begitu saja.
Kedua, politik Islam formalistik. Dalam formalisme,
politik Islam yang sejatinya bermakna luas dan mencakup seluruh bidang
kehidupan umat tereduksi menjadi Islam politik, seolah-olah tidak ada Islam
tanpa berpolitik praktis. Rumusnya menjadi sangat kaku, misalnya tidak ada
Islam tanpa adanya khilafah dan syariah.
Dalam konteks ini, khilafah dan syariah hanya boleh
ditafsirkan sebagai tujuan kepentingan politis semata, bukan metode.
Eksistensi dan esensi Islam menjadi tereduksi hanya dalam makna politik
praktis dan kekuasaan belaka. Substansifisme dan formalisme politik Islam
memiliki masalah reduksionisme Islam itu sendiri, yaitu menjadikan kekuasaan
sebagai tujuan dan bahasa orang Islam di Indonesia.
Ketiga, politik Islam eklektik. Dalam eklektifisme, di
manakah sejatinya identitas Islam sebagai agama dalam hubungan dengan
kehidupan bernegara? Apakah dalam ajarannya saja atau juga konstruksi
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana civil religion atau sekaligus
keduanya? Pada politik Islam eklektik ini, problemnya adalah identitas
fundamental Islam. Fundamentalisme agama memang tak ideal untuk Muslim
Indonesia. Namun, unsur-unsur fundamental beragama tidak bisa dan juga tak
boleh ditinggalkan oleh umat beragama, termasuk Islam Indonesia.
Keempat, politik Islam konstitusionalis. Dalam konstruksi
konstitusionalis, dimensi Islam dan negara masing-masing memiliki identitas
otentik, meski dalam beberapa hal—bahkan banyak—terjadi sinkronisasi.
Misalnya, peraturan daerah tentang larangan peredaran minuman keras secara
bebas, lahirnya UU Antipornografi dan Pornoaksi.
Dalam format politik Islam konstitusionalis tidak terjadi
hilangnya unsur genuinitas Islam dan komitmen berbangsa-bernegara. Politik
Islam konstitusionalis sesuai dengan yang Bung Karno pernah sampaikan perihal
politik agama di awal masa kemerdekaan bahwa masing-masing agama dipersilakan
mengegolkan agenda, dakwah, dan misi agamanya di Indonesia dengan catatan
masih dalam koridor komitmen Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Melalui hak dan kewajiban penguatan peran politiknya, umat
Islam Indonesia memiliki ruang gerak dinamis-partisipatoris untuk di satu
sisi bisa konsolidasi internal umat Islam di segala bidang tanpa harus
"risih" atau permisif dengan problem pluralitas dan demokrasi,
termasuk politik praktis, meskipun itu bukan satu-satunya identitas politik
Islam Indonesia.
Urusan politik praktis bagi umat Islam Indonesia bukan saja
masalah tabu atau disebut pula "politik rendah". Dalam hal
kontestasi demokrasi, politik praktis ini bisa menjadi masalah penting bagi
pemenuhan hak umat Islam. Umat Islam Indonesia harus terikat dengan sistem
koordinasi dan harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh Islam,
lembaga pendidikan Islam, dalam memperjuangkan hak dasar dan prinsip umat
Islam, baik di ranah politik praktis, pendidikan, keagamaan, maupun kehidupan
bermasyarakat lainnya.
Di sisi lain, umat Islam Indonesia harus berkontribusi
dalam agenda penguatan kehidupan kebangsaan yang bersifat fundamental,
seperti mewujudkan kehidupan berbangsa yang penuh damai, memperjuangkan
keadilan kesejahteraan anak bangsa, dan menjadikan negara bangsa Indonesia
dihormati dan disegani negara lainnya. Umat Islam Indonesia terikat dengan
sistem koordinasi dan harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh
Islam, lembaga pendidikan Islam, dalam mengawal empat komitmen kebangsaan,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dari ancaman
radikalisme, komunisme, dan sekularisme.
Politik Islam Indonesia hematnya tidak dipersempit hanya
dalam pengertian politik praktis, meskipun politik praktis termasuk salah
satu bentuk manifestasi politik Islam Indonesia itu sendiri. Sebagai
masyarakat dengan populasi terbanyak di negeri sendiri, umat Islam yang
berkualitas terbaik sepantasnya berhak menjadi pemimpin. Umat Islam Indonesia
hendaknya menjadi garda terdepan untuk mengatakan tidak terhadap pola
kepemimpinan yang koruptif, manipulatif, dan borjuis serta menjauhkan
Indonesia dari karakter adiluhung warisan bangsa sendiri.
Politik Islam Indonesia di sini dalam makna yang luas,
tapi jelas. Politik Islam Indonesia diartikan dengan bagaimana Islam
dipraktikkan utuh oleh umat Islam di berbagai aspek kehidupan dalam komitmen
keindonesiaan untuk tujuan kesejahteraan, keadilan, dan berperadaban rakyat
bangsa. Pada titik inilah menjadi jelas perbedaan antara politik Islam dan
Islam politik.
Identitas hakiki politik Islam Indonesia adalah harmonisasi
gerakan umat Islam Indonesia di bidang ekonomi, budaya, demokrasi, dan
bargaining diplomasi dengan masyarakat global untuk mewujudkan bangsa
Indonesia yang maju dan berdaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar