Bersiasat
di Arus Tabloidisasi
Triyono Lukmantoro ; Dosen
Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
JAWA
POS, 11 Februari 2015
TABLOIDISASI adalah arus dominan yang terus menerjang
industri media massa. Tabloidisasi merupakan konsep yang menunjukkan fenomena
berkuasanya jurnalisme tabloid. Apa yang disebut tabloid itu sendiri dipahami
secara netral sebagai koran yang berukuran setengah halaman dari lazimnya
surat kabar. Tapi tabloid tidak dapat dimengerti sekadar ukuran fisik
halaman.
Tabloid adalah strategi pemberitaan yang sangat
menonjolkan sensasionalisme, terutama berkait pemberitaan kejahatan dan
skandal seks, dan selalu berkeinginan memberikan kejutan yang liar bagi
khalayak. Pada keadaan semacam itulah terlihat Suara Merdeka (SM) harus
mengarungi gelombang deras industri media yang sangat kuat dikendalikan oleh
nalar tabloidisasi. Terdapat beberapa problem penting yang selayaknya
dicatat.
Pertama; harus ditegaskan lagi bahwa tabloid bukan sekadar
hitung-hitungan panjang dan lebar halaman. Tabloid dapat digambarkan sebagai
ìpers comberanî. ’ Dalam rengkuhan jurnalisme tabloid, terjadilah perubahan
yang amat besar dalam orientasi pemberitaan media, yakni dari media yang
memproduksi berita yang berkualitas menjadi media yang menggelontorkan
hiburan.
Konsekuensi berikutnya yang tidak dapat disangkal lagi
adalah media, terutama surat kabar, berubah pula kedudukannya, yaitu dari
forum bagi publik untuk menjalankan perdebatan terhadap isu-isu yang penting
sekadar menjadi berita-berita yang menarik minat khalayak (Bob Franklin, dkk,
Key Concepts in Journalism Studies, 2005: 258-259). Suara Merdeka mampu
menjalankan siasat untuk tidak terjebak dan bahkan sengaja menenggelamkan
diri dalam riuh-rendah tabloidisasi itu.
Kenyataan itu dapat disimak pada berita-berita yang
dihadirkan pada halaman pertama. Isu-isu politik yang menyangkut kepentingan
masyarakat banyak tetap ditampilkan secara khas. Pilihan judul berita, tata
warna, dan penyajian foto disodorkan ke hadapan pembaca dengan cita rasa yang
sedikit mengandung unsur tabloid.
Merupakan Strategi
Hanya, nilai murahan yang merendahkan akal waras publik
sengaja ditinggalkan. Jadi, judul berita yang ditulis secara mencolok mata
dengan paduan warna hitam dan merah itu merupakan strategi untuk mengundang
minat baca khalayak. Warna merah dalam posisi demikian bukan dimaksudkan
menciptakan sensasionalisme, melainkan teknik untuk memberikan penekanan
kepada aktoraktor politik yang sedang dibicarakan.
Jadi, pihak yang dijadikan target bukan saja pembaca untuk
tertarik menyimak berita yang disodorkan, melainkan juga para pihak yang
harus segera memutuskan suatu persoalan secara cepat dan tepat. Kedua;
tabloidisasi bisa dilihat pula sebagai cara untuk melakukan perlawanan
terhadap pers berkualitas (quality
papers).
Secara kategoris industri media bisa dibedakan dalam dua
titik ekstrem pemberitaan, yakni berorientasi pada berita yang dinilai
berkelas dengan khalayak pembaca kalangan elite, dan media yang mengarah pada
perayaan kedangkalan mengenai kekerasan, kejahatan, dan seksualitas yang
penuh kecabulan dengan sasaran pembaca kelas bawah.
Dalam rumusan yang lebih ringkas, pers berkualitas
menciptakan elitisme dengan menghadirkan gaya bahasa yang santun, halus, dan
lembut sebagai penanda bagi khalayak yang berstatus sosial serbaaristoktatis.
Sementara itu, pers yang menerapkan tabloidisasi berupaya
menjalankan resistensi terhadap nilai-nilai kebangsawanan yang sangat elitis
dengan melakukan perayaan melalui pemakaian kevulgaran gaya bertutur yang
disokong oleh spirit populisme kuat. Inilah media yang menyuarakan rakyat
secara jujur.
Dua kutub yang memperlihatkan aristokrasi yang elitis
versus populisme yang vulgar itu berhasil dimoderasikan oleh Suara
Merdekadengan siasatnya yang khas. Sebagai koran yang menjadi acuan utama
bagi masyarakat Jawa Tengah, harian ini tidak mungkin sekadar menyajikan
berita yang menggunakan bahasa serbaabstrak dan demikian penuh
petatah-petitih ala kaum intelektual yang bermukim sedemikian nyaman di menara
gading.
Tapi, haria ini juga tidak mungkin menyodorkan berita yang
secara vulgar menyodorkan sansasionalisme dan kejorokan nilai rasa kebahasaan
yang justru bisa menghilangkan selera kalangan kelas menengah. Maka, hasilnya
adalah berbagai peristiwa politik yang berdampak signifikan bagi pembaca
tetap disodorkan dengan gaya merakyat yang tetap menonjolkan kultur Jawa.
Bahkan, pembahasan terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan
yang unik juga dihadirkan secara jenaka. Moderasi gaya jurnalisme elitisme versus
populisme yang dijalankan oleh Suara Merdeka ini memiliki keuntungan
spesifik. Jurnalisme tidak menjadi produk bacaan yang elitis dan membosankan.
Jurnalisme tidak pula menghadirkan teka-teki dan aneka prasangka karena
bahasa yang digunakan mampu menghadirkan kenyataan secara transparan.
Namun, jurnalisme tidak terjerembab dalam kebanalan bahasa
yang amat memberhalakan kekasaran dan kecabulan yang justru bertentangan
dengan nilai-nilai keadaban sosial. Inilah jurnalisme yang menjalankan misi
demokrasi dengan tetap memperhatikan kesantunan secara terukur.
Kecermatan, Kedalaman
Ketiga; mengambil titik tengah antara elitisme versus
populisme jurnalisme juga menunjukkan kejelian dalam industri media yang
semakin menonjolkan akrobat bahasa (terutama dalam judul pemberitaan) tapi
sebenarnya secara substansial tidak menunjukkan nilai berita apa pun. Pada
situasi industri media yang dikendalikan oleh nalar kecepatan yang dangkal
ketimbang kecermatan yang memperhatikan kedalaman inilah Suara Merdekamampu hadir
secara unik.
Aktualitas merupakan jualan utama media. Tapi, aktualitas
yang semata-mata berhitung dengan waktu yang terus melaju menjadikan media
kehilangan esensi nilai berita yang penting bagi pembaca. Koran pasti tidak
mampu berpacu dengan aktualitas berita yang disodorkan media online atau
berbagai stasiun televisi.
Koran pasti hadir belakangan ketika peristiwa terus lekas
berganti. Namun, koran tetaplah industri bacaan yang harus menonjolkan
nilai-nilai kecermatan dan kedalaman yang selama ini diabaikan oleh media
yang berkalkulasi dengan problematika kecepatan. Pada sudut pandang ini,
Suara Merdeka sedang bergerak untuk menjalankannya.
Hal yang dapat disarankan adalah kecermatan dan kedalaman
itu tidak sekadar berisi hasil atau rangkuman wawancara dengan aneka
narasumber yang memiliki kredibilitas. Langkah yang harus dijalankan harian
ini dalam konteks itu adalah memadukan riset yang berisi kajian kepustakaan
atau hasil penelitian pihak penelitian dan pengembangan (litbang) dengan
kemampuan observasi (pengamatan) para jurnalis di lapangan.
Dengan demikian, kedalaman tidaklah identik dengan berapa
banyak karakter yang dihabiskan untuk menjejali halaman koran. Wawancara yang
intensif, riset yang serius, serta observasi yang cermat adalah kunci utama
kedalaman. Akhirnya, selamat berulang
tahun yang ke-65 untuk Suara Merdeka tercinta! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar