Ancaman
Miras Oplosan
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua
DPD
|
REPUBLIKA,
11 Februari 2015
Memasuki pengujung 2014 dan tahun ini bangsa kita
dikejutkan oleh berita jatuhnya banyak korban akibat menenggak minuman keras
(miras) oplosan. Pada saat yang hampir bersamaan, korban meninggal, cacat,
dan keracunan muncul hampir merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta,
Kotamadya Yogyakarta, Serang, dan beberapa kota lain.
Di tiga kotamadya di Jawa Barat, yakni di Depok, Sumedang,
dan Garut, tercatat dalam satu pekan terdapat 125 korban miras oplosan dengan
28 orang di antaranya meninggal dunia. Dari angka tersebut kasus terberat
terdapat di Sumedang, dengan 101 korban sakit dan 10 korban jiwa. Di Garut
terdapat kakak-beradik yang terenggut nyawanya. Para korban kebanyakan
berusia 15 sampai 22 tahun, dengan korban termuda berusia 11 tahun.
Angka-angka ini masih terus bertambah sampai saat ini.
Harus dipahami bahwa miras oplosan bukanlah sembarang
miras. Ia berbeda dengan miras beralkohol legal yang produksinya diawasi oleh
Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Walaupun alkohol sudah berbahaya
bagi kesehatan, miras legal masih memiliki taraf keamanan untuk dikonsumsi.
Peredarannya pun diawasi dengan disertai pajak tinggi. Sebaliknya miras
oplosan adalah minuman beralkohol yang tidak tercatat produksinya pada BPOM,
dibuat sendiri oleh konsumen atau melalui bengkel gelap (bootlegging), dan
dipasarkan secara gelap.
Miras oplosan di pasar gelap yang di beberapa daerah
dikenal dengan nama Cherrybell itu biasanya merupakan oplosan dari metanol
dengan kandungan alkohol 90 persen, obat nyamuk dan suplemen tertentu seperti
minuman penambah tenaga, atau minuman bersoda. Sering kali penjual juga
menambahkan pewarna dari larutan pembersih lantai atau tiner cat. Di Jawa
Barat minuman ini dapat dibeli di toko jamu, sedangkan di Yogyakarta terdapat
penjualan serupa di area festival rakyat sekaten. Miras oplosan tak saja
dikemas dengan botol plastik bekas, tapi juga dijual dengan botol bekas
minuman sebagai minuman palsu bermerek.
Ini adalah fenomena gunung es. Para korban kebanyakan dari
golongan bawah seperti tukang ojek, pengangguran, buruh bangunan, pelajar
sekolah, dan sopir bus yang tidak mampu membeli miras legal. Mereka membeli
miras oplosan tidak saja karena faktor harganya yang murah, tapi juga ada
beban hidup dan ekonomi.
Ketika menghadapi persoalan ekonomi dan pekerjaan yang
berat, seseorang dengan kontrol diri yang lemah akan melihat miras oplosan
sebagai pelarian dari kenyataan hidup. Rasa frustrasi adalah penyumbang utama
munculnya perilaku menyimpang (Agnew,
1992). Ketika seseorang frustrasi, maka kontrol diri akan melemah dan
lari ke hedonisme.
Kondisi ini juga terlihat dari latar belakang usia korban.
Di Garut, misalnya, korban terbanyak berusia 15-22 tahun yang masih
membutuhkan dukungan referensi kepatutan (role model). Pada usia labil,
ketika seseorang menghadapi beban ekonomi yang tidak bisa diselesaikan,
kontrol diri akan melemah.
Miras seolah-oleh menjadi jawaban sesaat untuk melupakan
beban hidup. Di sisi lain, tuntutan biaya hidup terus membengkak. Dengan
rentang korban yang berusia muda sebetulnya bangsa kita sedang menghadapi
ancaman perusakan generasi.
Di saat yang bersamaan, kontrol sosial masyarakat kita
sedang melemah karena euforia kebebasan reformasi. Dalam bahasa Merton
(1949), masyarakat kita sedang kebingungan (anomie). Kita sering menyebut diri kita sebagai bangsa timur yang
religius dan beradat, tapi maraknya miras oplosan menunjukkan sebetulnya
telah terjadi pembiaran.
Selama ini masyarakat dan negara seolah berpangku tangan
ketika ada kegiatan minum bersama miras oplosan di sudut perumahan kita atau
lokasi yang menjual atau memproduksi miras oplosan. Ketika kita menghadapi
krisis kehidupan, warga kita bergerak sendiri untuk bertahan hidup dan
mengabaikan ada mereka yang membutuhkan kontrol sosial seperti para orang
muda yang menjadi korban miras oplosan.
Menggugat negara
Kondisi kebingungan ini akan menguat bila masyarakat dan
negara gagal menegakkan konformitas norma ideal. Dalam kondisi ini,
masyarakat kita secara klasik akan menunjuk pada dua reaksi, yakni penguatan
moral melalui kaidah agama dan penegakan hukum oleh kepolisian melalui razia.
Namun, baik agama maupun hukum positif tidak dapat berdiri sendiri. Hukum
adalah penguat dari nilai objektif kesopanan atau nilai komunitas, dan nilai
subjektif yang berupa nilai pribadi dan agama dan nilai komunitas (Sudikno Mertokusumo, 1996).
Sejarah pelarangan alkohol (Alcohol Prohibition) di
Amerika Serikat pada 1920-1933 menunjukkan, pelarangan hanya akan memunculkan
konsekuensi tak terduga (unintended
consequences), seperti mafia, subkultur, konsumsi berlebihan, dan pasar
gelap (Ermolaeva dan Ross, 2011).
Alih-alih memunculkan konformitas, pelarangan semata malah akan memunculkan
perlawanan (rebellion) dari mereka
yang menolak (Merton, 1949).
Ironisnya, biaya memerangi konsekuen tak terduga tersebut bisa membengkak
tanpa membawa hasil. Amerika Serikat menghabiskan 13,4 juta dolar AS pada
masa itu.
Kelompok menyimpang dapat muncul karena seringkali mereka
mengalami eksklusi sosial, yakni tidak mendapat tempat di masyarakat dan
diabaikan negara. Di sinilah peran negara menjadi krusial, yakni menjamin
proses kontrol sosial melalui kebijakannya. Peran negara dapat difokuskan
melalui tiga hal: perluasan lapangan kerja yang layak, pendidikan, dan
penguatan masyarakat komunitarian.
Perluasan lapangan kerja disertai dengan standar upah baik
akan membuat pekerja dapat mengakses jenis hiburan lain yang lebih
berkualitas. Negara dapat berperan tak melulu melalui pendekatan legal
seperti razia miras oplosan, tapi juga menciptakan hiburan yang sehat dan
murah. Negara dan masyarakat pemberi kerja, dalam konteks ini wajib
memikirkan bagaimana rakyat dapat sejahtera secara immaterial agar mereka
tidak mencari hiburan menyimpang.
Di negara-negara maju Eropa Barat, kegiatan akhir pekan
untuk relaksasi bahkan telah menjadi komponen renumerasi yang ditawarkan
pemberi kerja. Kondisi kerja seperti ini muncul karena adanya kebijakan
negara.
Saat ini juga mendesak diperlukan pendidikan karakter atas
konsumsi hiburan yang bertanggung jawab atau "hiburan beretika" (Feldman, 2004). Bersenang-senang
adalah hak individu, tapi ia juga harus dijalankan dengan kesadaran untuk
tidak mencederai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan kesehatan semata
menjadi tidak efektif, sebab para penenggak miras oplosan tahu betul minuman
mereka berbahaya bagi kesehatan.
Namun, justru karena itu mereka menambahkan metanol atau
tiner ke dalam miras mereka. Apalagi bila seseorang menenggak miras karena
ingin dianggap "berani" atau "keren" sebagai bagian dari
pengakuan (konformitas) kelompok penyimpangnya. Seorang individu yang
berkarakter akan berpikir untuk tidak menenggak alkohol apalagi miras oplosan.
Pendidikan dalam konteks ini tidak semata dilekatkan pada
variabel tahu dan tidak tahu, melainkan pada pendidikan martabat. Kontrol
sosial di sini terbentuk melalui pendidikan ke generasi muda. Bentuknya dapat
berupa sosialisasi dan internaliasi kepada setiap masyarakat bahwa menenggak
miras adalah penyimpangan yang membuat seseorang menjadi tidak bermartabat
atau dalam bahasa kekinian "tidaklah keren".
Negara harus menjamin pendidikan yang bermartabat menjadi
bagian bahan ajar. Negara harus berbicara tidak saja pada pembangunan sekolah
dan memperbanyak jumlah guru, tapi juga pendidikan yang mengajarkan menenggak
alkohol bukanlah perbuatan bermartabat. Negara juga harus menjamin
keterkesediaan lapangan kerja yang layak agar generasi muda kita bangga
berpenghasilan dan profesi baik.
Negara juga harus menjamin kebebasan yang kita nikmati
setelah munculnya era reformasi ini tidak hanya bicara soal kebebasan, tapi
juga tanggung jawab sosial. Negara dan masyarakat harus proaktif menegakkan
praktik publik shaming bagi mereka yang mengonsumsi miras oplosan sebagai
usaha preventif.
Perilaku menyimpang tidak terinkubasi secara soliter,
melainkan fenomena sosial yang terkait penyimpangan kolektif yang
terorganisasi pada kelompok penyimpang—para korban meminum oplosan.
Penanganan masalah maraknya miras oplosan tak bisa lagi dirujuk pada kondisi
penghukuman individual, melainkan intervensi kolektif.
Diperlukan usaha lebih besar dalam membentuk lingkungan
sosial yang sehat secara menyeluruh daripada sekadar razia dan pelarangan
moral. Lembaga sipil dibuat proaktif untuk mendidik warga mereka akan bahaya
alkohol sebagai upaya preventif (Filstead
dan Keller, 1976). Inilah deteksi dini yang kita butuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar