NU
dan Religiositas Politik Kenegaraan
Asep Salahudin ; Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam
PWNU Provinsi Jawa Barat
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
NAHDLATUL Ulama melakukan peringatan hari lahir ke-89 sekaligus
peluncuran muktamar ke-33 (Sabtu, 31/1), yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla dan
sejumlah anggota kabinet yang adalah warga NU. Dalam sambutannya, Ketua Umum
PBNU KH Said Aqil Siraj mengingatkan tentang amar agama dan nasional, yang
meneguhkan keniscayaan dan membuktikan Islam yang ramah. Sementara Jusuf
Kalla dalam sambutannya menyebutkan, NU memiliki tantangan kebangsaan dan
radikalisme. Tantangan terbesar yang paling mendasar adalah kemiskinan umat
dan tantangan yang lain adanya sikap radikalisme yang membuat Islam tercoreng
(Kompas, 1/2).
Ada kata kunci yang
selalu terulang dalam sambutan Wakil Presiden, yaitu umat yang dirujukkan
pada pengikut NU. Umat sejatinya
memiliki arti ”warga”. Umat inilah sesungguhnya yang jadi misi pokok
kenabian: membangun keutamaan warga negara. Umat sebagai simpul komunitas
yang memiliki kesadaran terhadap hak dan kawajiban, pada gilirannya bergerak
bersama-sama mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan. Umat berkewajiban
memberikan kepastian keberagamaan yang damai.
Dalam tubuh umat inheren di dalamnya sebuah sikap politik
untuk merawat pengalaman kemajemukan, menjunjung tinggi multikulturalisme,
bersikap transparan dan akuntabel. Umat seperti inilah yang hari ini disebut
sebagai modal kultural untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
Dalam diksi umat, ”identitas” (politik, agama, etnik
dan hal lainnya) dimaknai bukan
sebagai alasan untuk menafikan liyan, melainkan justru liyan dianggap sebagai
pancaran ilahiah dan realitas sosial yang keberadaannya mustahil ditampik.
”Orang lain” jadi modus eksistensial kehadiran kita. Dalam umat, etos sosial
yang dibangun bukan ”keakuan-egoistik”, tetapi semangat kekitaan, semangat
kebangsaan. Bukan individualitas, tetapi kolektivitas bahkan kohesivitas.
Dalam diksi NU dirumuskan dalam jamiyyah.
Umat pada gilirannya akan
tampil menjadi subyek merdeka yang bisa merumuskan negara. Bukan
sebaliknya, negara yang mendefinisikan umat, seperti dalam pengalaman politik
gelap Orde Baru. Bagaimana negara despotik itu tidak pernah berhenti
membuat sebuah kerangka acuan serba
tunggal.
Pancasila dimonopoli penafsirannya, kekuasaan
didistribusikan kepada kroninya, politik dipasung sesuai nafsunya, ekonomi
dibiarkan menetes ke bawah dan sisanya yang terbesar dikelola segelintir orang
(oligarki). Agama pun dikerdilkan hanya semata sebagai kumpulan fatwa untuk
mendukung pembangunan, sementara sumber daya manusia ditarik dalam
pemaknaan ”manusia seutuhnya” yang
digembar-gemborkan secara serampangan.
Negara Orde Baru dalam konteks kebangsaan menjadi contoh
telanjang bagaimana kekuasaan tampil
dengan wajahnya yang pandir. Anehnya, politik kepandiran ini dimobilisasi,
dilipatgandakan sangat sempurna dengan mengoperasikan semua kekuatan yang dimiliki,
baik secara fisik maupun simbolik.
Dua pintu
Umat jamiyyah yang
mencapai kedewasaan hanya bisa dicapai melalui dua pintu, istilah
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1968). Pertama, pendidikan kewargaan. Warga mendapatkan
pendidikan yang layak, termasuk pendidikan politik yang benar selaras dengan
tujuan negara: mencerdaskan bangsa. Pendidikan kewargaan tak sebagaimana
kurikulum mata kuliah Kewiraan dan Wawasan Nusantara selama ini, yang isinya
melulu mempercakapkan sebatas hafalan jumlah pulau dan batas-batas negara, tanpa
menyentuh aspek bagaimana memetakan kesadaran subtil kewarganegaraan bangsa
ini.
Kedua, civic religion atau agama kewargaan. Agama
kewargaan dalam semangat Rousseau
bukan agama-agama resmi yang justru sering kali dibajak untuk kepentingan
politik sesaat, melainkan ”agama sipil” sebagai hasil kesepakatan warga
tentang bagai mana seharusnya nilai-nilai kebersamaan dijunjung tinggi,
kejujuran dimuliakan, kemanusiaan dihormati, sikap lapang menjadi akhlak, HAM
diagungkan, ruang deliberatif jadi katup untuk menyelesaikan sengketa, serta
etika inklusif menjadi bagian integral dari pengalaman harian
Republikanisme
Misi kaum pergerakan sesungguhnya bukan saja membentuk
”negara” yang terlepas dari sekapan kaum kolonial, lebih dari itu adalah memerdekakan segenap rakyat
semerdeka-merdekanya. Rakyat di sini tak lain adalah lapisan terbesar warga
yang didefinisikan Bung Karno sebagai
marhaen, murba (Tan Malaka), atau masyarakat terdidik dalam istilah Syahrir
dan Hatta.
Maka, tidaklah keliru kalau negeri kepulauan ini kerangka negaranya
bukan imamah, kesultanan, khilafah atau kembali pada zaman format kerajaan
prakolonial dan atau negara teokrasi seperti sering difantasikan para pegiat
politik keagamaan, tetapi republik. Republik lengkap dengan Pancasila-nya
jadi kesepakatan kaum leluhur dalam
sebuah persidangan sengit di Gedung
Konstituante. Para pendiri bangsa, seperti tecermin dari risalah BPUPKI,
dengan elok menempuh rute politik inklusif dan lebih mementingkan kebersamaan
ketimbang sentimen sempit golongan, baik yang dijangkarkan pada isu agama
maupun etnik.
Sidang Konstituante pada tahun-tahun itu seperti jadi
tamparan keras kepada elite politik bangsa hari ini yang sering kali justru
mendiskusikan persoalan bangsa nyaris tanpa landasan etik dan visi yang
jelas. Bahkan, tidak sedikit anak bangsa yang baru lahir kemarin sore sudah
tampil petantang-petenteng menolak Pancasila seraya menawarkan ideologi
politik arkaik, ahistorik, dan selebihnya hanya berisi jualan dongeng penuh
karatan. Padahal, tempo hari, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan resolusi
jihad bahwa mempertahankan republik dari kaum kolonial adalah fardu ain dan
kematiannya dianggap syahid.
Re-publik: memosisikan publik sebagai tempat kembali
seluruh kebijakan yang diambil pemerintah(an). Hatta dalam Ke Arah
Indononesia Merdeka menulis, ”Indonesia
Merdeka haruslah suatu Republik, yang bersendi kepada pemerintahan rakyat,
yang dilakukan dengan perantaraan wakil-wakil rakyat, atau Badan-badan
Perwakilan. Pemerintah ini senantiasa takluk kepada kemauan rakyat, yang
dinyatakan atau oleh badan-badan perwakilan rakyat atau dengan referendum,
keputusan rakyat dengan suara yang dikumpulkan.”
Publik sebagai subyek utama pemilik sah negeri ini.
Republikanisme seperti dalam telaah Robertus Robet, selalu memosisikan
kepentingan publik sebagai sesuatu yang semestinya didahulukan dibanding kepentingan
partikular kekuasaan, ”… pendirian dan
garis Republikanisme Hatta sangat dibutuhkan tidak saja demi mengisi
kekosongan etika politik dan kenegaraan sekarang ini, secara lebih praktis
justru dalam keperluan menghindarkan kita dari keberulangan tragedi demi
tragedi” (2007).
Republik menempatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan
bernegara. Repubik tanpa kemaslahatan warganya bukan hanya keliru, juga kontradiksi
dengan term yang melekat di dalamnya. Kontradiksi inilah yang dialami bangsa
kita hampir selama 68 tahun. Sebagaimana dibilang Bung Karno, ada banyak
negara republik yang tidak konsisten dengan makna res publica. Semacam negara
yang tak pernah jadi pelayan massa, tetapi justru menghamba kepada
kepentingan partai dan kaum kapital.
Sebab negara tersebut hanya be-res publica di lapangan politik semata. Sementara ketika memutuskan kebijakan
politik, ekonomi dan kebudayaan, nyaris spirit republikanisme itu terabaikan.
Kembali ke publik menjadi keniscayaan agar kemudian bangsa
ini lekas menemukan adabnya. Kesejahteraan cepat menjadi bagian tidak
terpisahkan dari batang tubuh negeri kepulauan ini. Bagi saya, Harlah Ke-89
dan Mukmatar Ke-33 NU harus diposisikan dalam konteks semangat kewargaan
seperti ini. NU bergerak dalam politik keumatan dan kebangsaan yang moderat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar