Reformasi
Tata Kelola Listrik
Rinaldy Dalimi ; Guru
Besar UI dan Anggota Dewan Energi Nasional
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
LIMA minggu setelah dibentuk, Komite Reformasi Tata Kelola
Migas pada 21 Desember 2014 mengeluarkan rekomendasi pertama kepada
pemerintah: menghentikan impor premium (RON 88) dan menggantinya dengan
pertamax (RON 92) serta memberikan subsidi pada pertamax. Rekomendasi ini
menimbulkan pro-kontra sehingga diperlukan ketegasan, kehati-hatian dan
”keberanian” serta konsistensi untuk melaksanakannya.
Ada empat tugas yang harus diselesaikan dalam waktu enam
bulan oleh komite ini. Pertama, meninjau ulang, mengkaji seluruh proses
perizinan dari hulu hingga hilir. Kedua, menata ulang kelembagaan, termasuk
memotong mata rantai birokrasi yang tidak efisien. Ketiga, mempercepat revisi UU Migas.
Keempat, mendorong lahirnya iklim industri migas di Indonesia yang bebas dari
pemburu rente dari setiap rantai aktivitasnya.
Waktu enam bulan bukanlah waktu yang panjang sehingga
komite ini harus bekerja cepat, cermat dan komprehensif karena cakupan empat
tugas itu sebenarnya terkait hampir semua aspek tata kelola migas itu
sendiri. Hasilnya akan menentukan arah tata kelola migas di Indonesia di masa
yang akan datang.
Komite reformasi listrik?
Namun, jangan lupa, permasalahan di sektor tenaga listrik
tidak kalah rumitnya. Selama ini sebagian besar diselesaikan dengan ”tambal
sulam” sehingga terjadi inefisiensi.
Karena itu, mereformasi sektor tenaga listrik nasional jadi
keniscayaan.
Hal-hal utama yang perlu direformasi di antaranya
pengadaan energi primer yang ditentukan dari pusat; perencanaan dan perizinan
yang terpusat; struktur organisasi PLN yang besar; dan cakupan tanggung jawab
PLN yang cukup berat untuk melistriki seluruh wilayah Indonesia. Saat ini PLN merupakan salah satu
perusahaan listrik terbesar di dunia dengan jumlah konsumen sekitar 58 juta,
dengan cakupan wilayah kepulauan yang luas seluruh Indonesia.
Perencanaan dan pengoperasian sistem tenaga listrik PLN
yang terpusat mengikuti konsep
negara-negara kontinental. Dengan kondisi geografis negara kepulauan seperti
Indonesia, konsep kontinental itu tidak efisien karena beragamnya kondisi dan
kebutuhan dari wilayah. Apa yang
direncanakan dan diputuskan dari pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan
di daerah.
Dengan adanya momentum yang baik, terutama setelah
berhasilnya pemerintah mengurangi subsidi BBM, seyogianya perlu dibentuk juga
Komite Reformasi Tata Kelola Listrik. Komite ini diperlukan untuk membenahi
inefisiensi pengelolaan sektor tenaga listrik dan melakukan restrukturisasi
tata kelola perlistrikan nasional, paralel dengan reformasi migas.
Merestrukturisasi sektor tenaga listrik yang dimonopoli
PLN tentu harus dimulai dari internal PLN.
Sekarang ini dalam struktur PLN di bawah direktur utama terdapat
delapan direktur: direktur perencanaan; direktur konstruksi dan energi baru
terbarukan; direktur SDM; direktur keuangan; direktur operasi Jawa Bali
Sumatera; direktur operasi Indonesia Timur; direktur pengadaan strategis;
serta direktur kepatuhan dan manajemen risiko.
Dari susunan direksi seperti ini terjadi tumpang tindih
tanggung jawab. Daerah Indonesia yang begitu luas hanya dibagi dua wilayah
operasi, masing-masing di bawah satu direktur. Di setiap wilayah terdapat beberapa general
manager (GM) yang bertanggung jawab kepada direktur yang berbeda.
Contohnya di wilayah Sumatera Utara terdapat empat GM,
yaitu GM wilayah, GM pembangkitan, GM yang membawahi pembangunan proyek
pembangkit, dan GM yang membawahi pembangunan proyek transmisi dan gardu
induk. Setiap GM bertanggung jawab
kepada direktur yang berbeda. Sering
terjadi, keputusan yang diambil di tingkat pusat justru memperlambat proses
penyelesaian suatu proyek pembangunan atau penyelesaian masalah.
Kondisi internal PLN seperti ini perlu diubah terlebih
dahulu. Direktur yang selama ini
bertanggung jawab berdasarkan jenis pekerjaan diubah jadi bertanggung jawab
terhadap operasional dan perencanaan sistem perlistrikan secara keseluruhan
dalam satu wilayah. Jadi, di bawah
direktur utama hanya ada direktur wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Jawa, Papua, dan direktur wilayah kepulauan.
Semua pulau kecil ditangani satu direktur karena
karakteristik daerah kepulauan hampir sama, yaitu isolated system. Dengan kondisi ini, semua GM yang ada di
setiap wilayah hanya bertanggung jawab kepada satu direktur saja. Langkah ini merupakan awal dari pelaksanaan
regionalisasi sektor perlistrikan nasional, yang berujung pada dibentuknya
Perusahaan Listrik Regional. Nantinya
wilayah Indonesia di bagi jadi region Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,
Papua, dan kepulauan.
Regionalisasi kelistrikan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2050, yaitu tentang
desentralisasi tanggung jawab kepada pemerintah daerah, dan UU No 30/2009
tentang Ketenagalistrikan merupakan pendukung dari terwujudnya desentralisasi
dan regionalisasi sektor tenaga listrik nasional, yang harus dilakukan secara
bertahap dan hati-hati, agar proses pembangunan tidak terganggu. Desentralisasi dilaksanakan setelah restrukturisasi manajemen di internal PLN
sudah berjalan baik.
Tugas PLN pusat nantinya hanya menangani dan merencanakan
pembangunan transmisi nasional yang ada di semua Perusahaan Listrik
Regional. Di sinilah peran pemerintah
untuk membangun infrastruktur transmisi dengan dana APBN yang dilakukan oleh
PLN pusat, seperti halnya pemerintah membangun jalan nasional yang dilakukan
oleh Jasa Marga pada Kementerian Pekerjaan Umum (kini: Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat).
Dana subsidi untuk sektor kelistrikan dapat difokuskan
pada pembangunan transmisi nasional tersebut.
Dalam pengoperasian transmisi nasional, pemerintah juga dapat
menerapkan konsep power wheeling yang sama dengan konsep jalan tol atau open
access pada pipa gas sehingga pengembalian investasi dapat diperoleh dan
dananya dapat digunakan untuk memperluas jaringan transmisi nasional.
Salah satu tugas penting Perusahaan Listrik Regional
adalah menerapkan tarif listrik regional berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP)
di setiap wilayah. Tarif listrik di
setiap wilayah nantinya berbeda-beda dan akan ditetapkan oleh pemda dan DPRD,
sesuai UU Ketenagalistrikan. Pada
saatnya nanti jika sebagian subsidi listrik juga sudah menjadi tanggung jawab
daerah (sesuai dengan KEN-2050), pada saat itulah regionalisasi sektor tenaga
listrik tuntas dilakukan.
Reformasi tata kelola listrik merupakan keniscayaan, yang
prosesnya butuh waktu dan kehati-hatian.
Berbeda dengan migas, pada sektor kelistrikan yang harus diubah
terlebih dahulu adalah konsep dasar perencanaan dan pembangunan sektor: dari
konsep kontinental ke konsep kepulauan. Tanpa perubahan konsep, penyelesaian
masalah sektor tenaga listrik akan selalu bersifat ”tambal sulam”, dan
pengelolaannya akan semakin tidak efisien. Ketersediaan energi listrik yang
efisien faktor utama dalam pembangunan Indonesia untuk jadi negara maju
dengan ketahanan energi yang kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar