Korupsi
dan Politik
Yonky Karman ; Pengajar
di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
PROBLEM korupsi politik merupakan akar dari masalah
korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi politik telah memengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan akses kesejahteraan bagi warga negara di Indonesia.
Pernyataan di atas adalah kesimpulan Danang Trisasongko,
aktivis anti korupsi yang juga Sekjen Transparency International Indonesia,
saat peluncuran Indeks Persepsi Korupsi, 3 Desember 2014.
Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia tentang Indeks Daya
Saing Global 2014-2015, posisi Indonesia (dari 144 negara) sedikit membaik
pada peringkat ke-34 dengan skor 4,57 (skala 1-7). Namun, posisi itu hanya
naik 0,04 (4,53) daripada tahun sebelumnya (peringkat ke-38). Daya saing
Indonesia masih tertinggal daripada negara berkembang lain di Asia, seperti
Thailand (31) dan Malaysia (20).
Faktor yang paling menimbulkan masalah bagi kemudahan
berbisnis di Indonesia adalah korupsi, lalu faktor penghambat ketiga adalah inefisiensi
birokrasi. Indonesia masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup
dengan skor di bawah angka 50 (dari rentang skor 0-100). Namun, penguasa
Indonesia sering menganggap pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan
ekonomi.
Dulu, seorang wakil presiden pernah menganggap sepak
terjang komisi anti korupsi yang membuat kepala daerah enggan menjadi kuasa
pengguna anggaran dan karena itu memarkir dana pembangunan di bank.
Gratifikasi dan suap masih dipandang wajar sebagai pelumas mesin pembangunan.
Itu sebabnya sikap penguasa dan elite politik mendua terkait keharusan sosok
bersih pejabat publik.
Darurat korupsi
Korupsi di Indonesia secara hukum dibahasakan sebagai
kejahatan luar biasa dan penanganannya memerlukan cara-cara luar biasa. Meski
efeknya tidak langsung terlihat seperti terorisme, efek korupsi juga
mengerikan dalam jangka panjang. Banyak orang miskin mati atau memiliki
kualitas hidup rendah karena kapasitas sosial negara tergerus, sesuai kata
Latin, corruptio, yang juga berarti
pembusukan.
Korupsi mengakibatkan pembusukan profesi dan ekonomi.
Meritokrasi tidak jalan. Posisi strategis diduduki oleh siapa yang bayar,
tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Ekonomi juga berbiaya tinggi, tetapi
tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Kualitas pembangunan rendah. Jembatan
mudah roboh. Gedung sekolah ambruk. Aspal jalan lekas mengelupas. Jalan rusak
dan kemacetan menyebabkan pengiriman barang tersendat.
Korupsi kita sangat rumit karena bukan lagi kasus
perorangan. Korupsi dilakukan berjenjang dan berjemaah. Bawahan sampai atasan
terlibat. Atasan yang melakukan korupsi dalam skala lebih besar membiarkan
praktik korupsi bawahannya. Korupsi juga dilakukan dengan kerja sama para
pejabat terkait, bahkan lintas sektoral. Pejabat korup berlindung di balik
benteng institusi negara dan leluasa memanipulasi uang negara.
Meski kepolisian dan kejaksaan memiliki jumlah sumber daya
yang memadai, kedua institusi penegak hukum konvensional itu tidak efektif
dalam pemberantasan korupsi. Bukan hanya karena luasnya cakupan perkara yang
ditanganinya, melainkan juga karena korupsi sudah melekat secara
institusional. Pedang hukum keduanya tumpul ke atas, belum pernah menjerat
menteri ataupun lingkaran presiden.
Berdasarkan realitas Indonesia yang terbelenggu korupsi,
konstitusi mengamanatkan pembentukan sebuah institusi penegak hukum ad hoc.
Ungkapan Latin itu secara harfiah berarti ”untuk ini”, tetapi biasanya
merujuk suatu badan yang dibentuk khusus untuk tujuan tertentu. Beberapa
lembaga ad hoc anti korupsi pernah dibentuk, tetapi hanya kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menghasilkan efek gentar bagi koruptor.
Tajamnya pedang hukum dirasakan anggota Komisi Pemilihan
Umum, hakim, jaksa, jenderal polisi, anggota Mahkamah Konstitusi, petinggi
partai berkuasa, anggota DPR, kepala daerah, menteri, sampai kerabat dekat
presiden. Vonis hukum pun meliputi pemiskinan koruptor. Pedang hukum KPK
menusuk jantung korupsi di lingkungan kekuasaan (korupsi politik). Karena
tidak tunduk pada kekuasaan, KPK pun dipandang bukan sahabat penguasa.
Penguatan
KPK dipandang terlalu kuat, meresahkan pejabat dan
politisi korup. Sejak reformasi, wacana dan upaya pelemahannya terus
berlangsung. Tidak ada institusi negara yang mengalami ancaman pelemahan
sesering KPK. Politisi pro status quo
berusaha memperkecil peran KPK dengan mengatakan bahwa tidak ada negara yang
bebas dari korupsi.
Definisi ad hoc
pun sengaja dibuat keliru dengan mengartikannya sebagai ”sementara.” Karena
bersifat sementara, KPK tidak perlu kuat dan diistimewakan. Yang harus
diperkuat adalah kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi penegak hukum
permanen. Akibat sikap ambigu penguasa, beberapa kali terjadi ketegangan di
antara KPK dan Polri.
Kisruh yang menyeret lembaga penegak hukum, DPR, dan
eksekutif kali ini memperlihatkan betapa kuatnya kecenderungan pragmatisme
politik. Politik dan korupsi telah berkelindan menjadi korupsi (proses)
politik. Kalau pemerintahan baru ini serius dalam pemberantasan korupsi,
penguatan KPK adalah sebuah keniscayaan politik.
Untuk menghindari kriminalisasi sebagai serangan balik
kepada KPK dan membuat Indonesia menjadi tontonan tak menarik, perlu
dipertimbangkan semacam perlakuan hukum khusus. Komisioner KPK sudah melewati
proses panjang seleksi serta uji kepatutan dan kelayakan. Masyarakat pun
mendapat cukup waktu untuk memberikan masukan dan pengaduan. Apabila sesudah
menjabat ada kasus hukum sebelum menjabat yang hendak diproses, proses itu
demi hukum harus ditunda sampai yang bersangkutan menyelesaikan masa
tugasnya.
Ketentuan ini tidak berlaku untuk pelanggaran hukum apa
pun semasa ia menjabat. Ketentuan seperti ini juga seyogianya berlaku bagi
pejabat negara yang proses seleksinya seperti itu, sebut saja hakim Mahkamah
Konstitusi. Dengan begitu, kriminalisasi pejabat tidak perlu menimbulkan
kegaduhan politik yang luar biasa. Lembaga negara yang bersangkutan pun dapat
bekerja maksimal.
Penguatan KPK secara institusional juga dapat dilakukan
dengan pembagian tugas yang jelas. Indikasi rekening gendut atau korupsi di
tubuh penegak hukum lain harus ditangani KPK. Apabila yang dicurigai adalah
pegawai atau komisioner KPK, kepolisian atau kejaksaanlah yang menanganinya.
Dengan demikian, proses pembusukan institusi penegak hukum tak dibiarkan dan
masalahnya cepat jelas.
Suka atau tidak, KPK dalam jangka panjang masih menjadi
garda terdepan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi adalah sebuah
jalan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pragmatisme politik. Penegakan hukumnya
tidak akan mulus apabila negara tersandera kepentingan (petinggi) partai.
Partai-partai yang masih lekat dengan citra korupsi saling menyandera, saling
mengunci penegakan hukum. KPK harus dilindungi untuk menerobos jalan
penegakan hukum yang terkunci.
Masa depan republik terletak pada konsistensi
pemberantasan korupsi. Apalah arti pertumbuhan ekonomi apabila itu berarti
kesenjangan kaya miskin yang sudah di luar batas toleransi. Presiden pilihan
rakyat berada dalam pusaran korupsi institusional, tetapi ia harus menjadi
pandu negeri. Pemberantasan korupsi menuntut politik zero tolerance. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar