Ibu
Politik
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
SEORANG ibu tersentak kaget mendengar anaknya aktif di
partai politik. Lebih cemas lagi setelah sang ibu mengetahui bahwa pilihan
anaknya itu sudah final, tidak bisa ditawar lagi.
”Untuk apa aku berkorban nyawa melahirkan kamu jika
ujung-ujungnya cuma jadi orang parpol?” gerutu sang ibu.
Sang ibu membatin. Ini bukan tahun 1950-an, di mana parpol
masih jadi entitas politik yang memiliki kemuliaan perjuangan ideologis.
Waktu itu, orang dengan sadar masuk
parpol karena terpanggil untuk berjuang mewujudkan cita-cita besar
kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam bingkai peradaban.
Parpol dan kios kelontong
Dari catatan sejarah, sang ibu itu tahu bahwa ibu-ibu para
politikus-pejuang sangat bangga atas kiprah anaknya. Sukarno muda, Sjahrir
muda, Bung Hatta muda, Tan Malaka muda, Ki Hadjar Dewantara muda, dan
tokoh-tokoh lainnya bukan hanya telah sukses mengantarkan bangsanya merdeka,
melainkan juga mendirikan dan membangun negara berperadaban tinggi. Seluruh
pengorbanan dan penderitaan ibu-ibu mereka pun menjadi tak lagi berarti.
Sang Ibu sangat paham, jagat politik bukan tempat untuk
mencari penghidupan, apalagi untuk menumpuk kekayaan. Karena itu, kata kunci
dalam politik bukan profesi dan profit, tetapi dedikasi penuh passion yang
berbasis pada integritas, komitmen, dan kapabilitas (visi, misi, kreativitas,
dan karya). Jadi, berpolitik itu sesungguhnya mencipta, berkarya, atau
melahirkan karya-karya agung bermakna bagi kemanusiaan.
”Dunia politik itu sakral, Nak,” ujar sang ibu.
Ada nasib jutaan rakyat yang dipertaruhkan di sana. Ada
kehormatan serta martabat bangsa dan negara yang harus diperjuangkan. Dan,
kamu pun harus paham, doa kebaikan
jutaan rakyat itu telah luluh dalam setiap huruf, kata, kalimat, serta
makna pasal dan ayat konstitusi. Bagi rakyat, konstitusi adalah pusaka,
nilai-nilai yang dijunjung tinggi.
Oleh karena itu, kamu tak bisa menganggap konstitusi
adalah dongeng, yang kamu olok-olok dan kamu singkirkan di gudang sejarah.
Kamu juga tak bisa sembarangan
mengacak-acak undang-undang, peraturan, dan sistem negara demi menggaruk
keuntungan, makan dengan kemaruk, atau mengejar kamukten (kejayaan material).
Jika hal itu kamu lakukan, kamu pasti kena kutuk. Kamu hanya memperoleh
kehinaan dan penderitaan yang tidak bisa kamu tebus dengan harta bendamu yang
menggunung itu.
Kamu pun tak bisa mengelabui rakyat untuk menabiri
perilakumu yang hipokrit karena sejatinya rakyat bisa mengendus seluruh detak
nadimu yang dipenuhi nafsu. Citra kebesaranmu akan rontok digerogoti
kecerdasan rakyat yang luluh dalam kearifan waktu. Karismamu pun akan lumer, leleh, dan mencair. Kamu hanya
bisa merasa terhormat, tetapi sejatinya rakyat tidak lagi menghormati dirimu.
Kepercayaan rakyat telah sirna.
Sambil menangis dalam batinnnya, sang ibu itu berkata,
parpol sekarang tidak lebih dari kios kelontong yang menjual jasa.
Ideologinya adalah laba.
Kalian bikin legislasi dan regulasi hanya dijual kepada
penguasa-penguasa kapital yang tidak jelas komitmen kebangsaan atau
kerakyatannya atau kepada penanam modal asing yang menggaruk kekayaan negara
kita. Kalian bangga menjadi bagian dari lengan-lengan kekuasaan mereka, tanpa
mampu membayangkan jutaan rakyat diterkam kemiskinan ganas.
Setiap hari kamu dan kalian hanya memberi ilusi
kesejahteraan kepada rakyat. Di balik itu, kamu dan kalian bersekongkol
dengan komunitas politik hitam, komunitas ekonomi hitam, dan komunitas hukum
hitam untuk menggaruk kekayaan negara. Sandiwara kalian seolah sempurna
ketika kalian pasang beberapa pemimpin yang baik dan jujur. Mereka tidak
lebih dari kembang atau umbul-umbul penanda bahwa ”negeri ini dikelola para
pemimpin yang bersih dan jujur, merakyat, serta hanya tunduk pada
konstitusi”.
Juragan-juragan politik
Dalam praktiknya, para pemimpin yang baik, jujur, dan
bersih itu tidak memiliki kekuasaan apa pun. Mereka harus tunduk pada
juragan-juragan politik yang mampu mengendalikan parlemen, kabinet, dan
lembaga yudikatif. Dengan mata dan telinga batinnnya, rakyat tahu semua itu,
Nak. Kamu tidak bisa bohong.
Nak, jalan kita memang berbeda, kata sang ibu. Kamu berhak
menentukan pilihanmu, tetapi aku pun berhak menentukan sikapku. Sebagai ibu,
aku selalu mendoakan agar kamu tetap mampu membedakan tangan kanan dan tangan
kiri serta tetap berjalan dengan dua
kaki, tidak empat kaki. Aku pun berharap, kamu mampu membedakan janji, ilusi,
kebohongan, konsistensi, kerja keras, dan dedikasi.
Jika kamu tidak mampu memenuhi semua harapanku, aku akan
sangat kecewa, tetapi tak bisa memaksa. Namun, percayalah, semua pilihan ada
ongkosnya. Kelak, semua itu akan kamu bayar dengan penderitaan dan kehinaan
hingga kamu sadar akan pentingnya menjadi manusia, menjadi politikus mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar