DPR (Bukan) Anutan Rakyat
Victor Silaen
; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 14 Februari 2015
DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang
yang terpilih dengan susah-payah demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka
niscaya cerdas, bijak, dan layak dipercaya. Namun mengapa sejak dulu hasil
survei selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga terkorup? Pakar politik
Fachry Ali pada 31 Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7% responden
mengatakan DPR sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi
Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan pada periode 16-22
Januari 2015 itu juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
partai politik sebagai lembaga yang ”bersih”.
Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik.
Selain itu, survei menunjukkan hampir separuh responden (49%) kurang percaya
dengan DPR dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga
legislatif. Hanya sebanyak 23% responden masih mempercayai DPR. Pada akhir
2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk meminta
penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga
terkorup nomor dua setelah partai politik.
Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen
diposisikan sebagai lembaga terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1
(tidak korup) sampai 5 (sangat korup), parlemen memperoleh skor 4,4 (naik 0,2
poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin. Padahal mereka adalah wakil
rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle) untuk dan atas nama rakyat.
Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah
nafsu besar menumpuk kekayaan bagi diri sendiri tak ada di sanubari mereka.
Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk dan atas nama rakyat,
mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah sebabnya
mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka
”tidur bersama” di ruang sidang.
Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni
bermain gadget, mulai dari SMS (short
messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya
tak terkait dengan kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang
kian lama kian menyebalkan. Sudah digaji besar, dapat fasilitas mewah dan
tunjangan ini itu, masih juga tega mengecewakan rakyat.
Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian
negatif terhadap mereka. Sebab kinerja politisi itu umumnya memang jauh dari
memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian dari mereka yang suka
jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya
nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.
Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke
luar negeri itu pakai bawa-bawa orang lain (entah keluarganya, asistennya,
dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah berpikir bahwa apa yang mereka
lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara secara tidak produktif?
Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para
wakil rakyat itu, khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya
sekarang cukup ”1D” saja, yakni duit.
Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa
”duduk” dan ”diam” di rumah rakyat itu? Itulah gambaran wakil rakyat minus
keterpanggilan. Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR pernah mengungkapkan
keprihatinannya atas kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan para wakil
rakyat itu. ”Itu akan menjadi perhatian bagi kita semua, utamanya Badan
Kehormatan DPR,” kata Ketua Badan Kehormatan Muhammad Prakosa (26/ 2/2013).
”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2 disebutkan bahwa
kehadiran anggota DPR diwajibkan secara fisik,” imbuhnya. Namanya kewajiban,
mestinya diikuti sanksi jika dilanggar. Namun, adakah kita pernah mendengar
tentang anggota DPR yang diberi sanksi karena rajin membolos? Tidak. Itulah
sebabnya sebagian besar dari mereka dengan entengnya mencalonkan diri lagi
untuk periode 2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat kursi
lagi di parlemen, bahkan ada yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden
Jokowi.
Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang,
mereka malah tidak mau menggunakan sistem elektronik melalui cap jempol (finger print) untuk daftar hadir.
Mereka lebih menyukai sistem daftar hadir manual dengan tanda-tangan di atas
kertas. Menurut Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila
memakai finger print , seakanakan hal itu sama dengan praktik absensi pegawai
swasta di dunia perbankan.
”Kami bukan pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti
lembaga lain. Ini lembaga politik, lembaga pengambil kebijakan. Yang penting
adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu. Padahal, pengadaan alat
finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR periode
sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu
tetap akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang
belum diaktifkan karena alasan teknis.
”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah
teknis,” kata Roem Kono. Arogan betul dia. Apa maksudnya membandingkan diri
dengan pegawai bank? Jangankan pegawai bank, sejak beberapa tahun terakhir
ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi lain juga sudah banyak yang
menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya, tentu saja, demi
kedisiplinan dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa
diketahui sesuai dengan ketentuan atau tidak.
Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri, lalu
bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-orang lain? Sejujurnya kita kecewa,
bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya dapat menjadi anutan
bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap masuk ke
DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk
menggapai ambisi berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet,
dan sebagainya.
Maka, layaklah jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat.
Tak pelak, sejumlah kritik patut disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi
wakil rakyat yang terhormat itu sulit karena diperlukan intelektualitas yang
cukup dan wawasan yang dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu
adalah bersidang dan beradu argumen. Untuk itu setiap wakil rakyat harus
berani bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.
Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi
mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang tapi ngawur, (2) mengerti apa yang
dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti apa pun yang dibahas
dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang terjadi,
alih-alih menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen
nyaris sia-sia karena memboroskan anggaran negara.
Seandainya kursikursi politik yang mereka duduki itu
ditempati orang-orang lain yang memang berkompeten, tidakkah rakyat senang
dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya? Kedua, menjadi wakil
rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang bersifat Ilahi).
Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar,
tulus, serius, tekun, dan disertai tanggung jawab yang besar. Ketiga , karena
ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat apa kemauan mereka.
Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar