Jakarta Perlu Belajar dari Kota Lain
Ivan Hadar ; Arsitek, Perencana
Kota, Direktur Eksekutif IDe
|
KORAN
SINDO, 14 Februari 2015
Jakarta kembali menjadi berita yang tidak membanggakan,
meski sudah bisa diprediksi. Metropol Indonesia yang pada 22 Juni 2015 nanti
hampir berusia setengah milenium ini, menggondol gelar terburuk.
Baru-baru ini, setelah sebelumnya oleh The Economist, Jakarta
mendapat predikat kota paling berbahaya, Castrol Magnatec Stop-Start
menobatkan Jakarta menjadi kota paling macet di dunia. Lebih dari itu, tujuh
tahun lalu, penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP, 2009) mendudukkan
Jakarta pada peringkat ke-3 sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di
dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Tinggal di Jakarta yang sangat padat
sungguh jauh dari kenyamanan.
Hampir semua sumber kehidupan yang vital seperti air dan
udara, sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil penelitian UNEP tersebut
menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di kota
metropolitan ini terbukti mengandung ekoli, bakteri yang berasal dari kotoran
manusia. Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak.
Penyebab utamanya adalah emisi gas buang kendaraan
bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah mulai menerapkan
peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus menggunakan
bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan.
Pemprov DKI Jakarta juga telah menyusun RTRW 2010- 2030
yang, sayangnya, diprotes berbagai pihak karena dianggap tidak partisipatif.
Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang
meragukan apakah mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya,
yang kini berpenduduk 20 juta jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog
terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paulo, Brasil,
”berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan
atasnya.
”Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru
berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan, apa kesan mendiang Levi Strauss
seandainya melihat Sao Paulo, apalagi Jakarta saat ini. Menurut World Watch,
arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara berkembang,
bukan disebabkan kemakmuran kota, tetapi akibat kemiskinan desa.
Belajar dari Kota lain
Secara teoretis, arus urbanisasi ini akan lebih terbendung
seandainya sentra-sentra di daerah mampu menawarkan lapangan kerja cukup.
Pada aspek ini, sebenarnya ada ”titik temu” kepentingan antara Jakarta dan
daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk mengurangi beban
kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan, seharusnya
menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.
Jakarta bisa menjembatani— atau melakukan investasi
langsung—di daerah terutama dalam sektor industri padat karya. Boleh juga
dicoba program pemulangan ”putra daerah” dari Jakarta untuk mengisi berbagai
lowongan pekerjaan di daerah. Status Jakarta sebagai ibu kotanegara,
sekaligustempat kegiatan administratif dan bisnis, juga ditengarai
mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di kota ini.
Rencana pemindahan lokasi kegiatan administrasi
pemerintahan ini, kiranya perlu dihidupkan kembali. Pemutusan lingkaran setan
permasalahan Jakarta, tampaknya harus menjadi bagian dari prioritas
perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke
depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan adalah sebuah keharusan,
termasuk dalam kemungkinan merevisi RTRW 2010-2030.
Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek
berisi pertanyaan sekaligus jawaban, ”Apakah kota itu, kalau bukan
penduduknya.” Masyarakatluas, terutamadari lapis sosial menengah-bawah yang
menjadi mayoritas penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya
menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak
dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu
dirugikan.
Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan
lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak
bukti menunjukkan bahwa warga kota sering kali lebih mengetahui permasalahan
sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak
berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut patut
dipertimbangkan.
Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah
model inovatif dan partisipatif, dalam bentuk Orcamento Participativo (OP)
atau keterlibatan warga dalam perencanaan anggaran. Dalam kerangka OP, kota
dibagi dalam sub-regions , di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional
berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.
Sejak beberapa tahun terakhir, warga Porto Alegre dapat
langsung memutuskan penggunaan dana sebagai investasi bagi kemaslahan lapis
sosial bawah terkait air minum, kanalisasi, jalan, pendidikan, pembuangan dan
daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan
pembuangan air limbah. Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan
ratusan dewan kota di Brasilia dan beberapa negara Amerika Latin.
Dalam kaitan ini, model demokrasi
representative-procedural, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor
dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat OP. Dari dalam negeri,
Jokowi yang kini menjadi RI 1, dan sempat menjadi gubernur DKI Jakarta, kala
menjadi wali kota Solo pernah mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan
warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, dia lebih dulu
mendengar inspirasi para pelaku sektor informal itu.
Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau
membakar lokasi. Tak heran, acara pemindahan berlangsung mulus dan meriah,
lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Kita berharap
pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi
masukan bagi pembenahan Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar