Membaca Joko Widodo
Komaruddin Hidayat
; Guru
Besar
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah @komar_hidayat
|
KORAN
SINDO, 13 Februari 2015
Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi,
merupakan sosok fenomenal. Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi
berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di bidang mebel, dia lalu masuk
jajaran kelas menengah.
Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo
yang berhasil. Jika diletakkan dalam deretan bupati dan wali kota lain yang
dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi Jokowi tak jauh berbeda dari Bu
Risma, Wali Kota Surabaya, atau Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi. Yang
membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi politik. Di atas
semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi.
Dalam keyakinan Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat
tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para leluhurnya. Jadi, dalam
kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar wasilah . Adapun
garis tangan sudah ditetapkan dari langit. Kalau dalam pandangan modern,
posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan jejaring politik,
terutama PDIP yang menjagokannya.
Dan kini ketika suasana gaduh, perlu diurai kembali serta
direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya
mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat
ini. Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap
metamorfosis untuk pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya
sangat cepat, menyalip dan mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang
sudah malang-melintang belasan dan puluhan tahun baik dalam tubuh parpol
maupun pemerintahan.
Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang
kemudian berhasil memenangi Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu
loncatan kuantum (political quantum
leap). Agenda penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap
berhasil, ditambah lagi kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi
oleh media massa pendukungnya sebagai antitesis dari gaya kepemimpinan
formal-elitis politisi pesaingnya.
Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber
community tentu saja sangat menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum
selesai mengemban tugas sebagai gubernur, sudah naik dan lebih berat lagi
medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden. Kemenangan Jokowi,
sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik konvensional.
Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan
ucapannya ”Rapopo”.
Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan
bukan sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil
melakukan improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang. Jika
bacaaninibenar, Gus Dur dan Jokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri
heboh. Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan
ongkos sosial-material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.
Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong
Jokowi, melainkan dari mereka yang bersimpati dan memiliki harapan serta
kepentingan dengan kemenangan Jokowi. Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu
saja bermacam- macam dan tidak mesti berkonotasi negatif. Memang selalu ada
orang-orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi dengan cara membayar
saham politik di depan.
Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya
Presiden Jokowi. Bahkan diri Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak
akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas karena setiap pribadi memiliki
potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu dengan variabel
pendukungnya. Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang kemudian
melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan
LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi
yang tak terbayangkan sebelumnya.
Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan
Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga-
duga apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan
berbagai political stakeholder ini. Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok
pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian, dan jebakan yang semua itu
akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri.
Dulu Pak Harto bermodalkan Supersemar untuk merintis
kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut politik yang berdarah-darah
dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang mengatasi
rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para
pembantunya, alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk
duduk di jajaran kabinet. Namun kendali politik tetap di tangannya.
Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang
akan dilakukan Presiden Jokowi yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar
Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang Jawa, memang tidak mudah dibaca
dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap tenangnya.
Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi
Jokowi, akankah perseteruan jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan
mematangkan sosok Jokowi sebagai presiden lima tahun ke depan sebagai sosok
yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik ucapannya: rapopo ? Harapan dan
kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi meskipun
mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama.
Dia boleh saja yakin bahwa posisi presiden
itumerupakantakdirdanpenunjukan dari langit. Namun masyarakat modern semakin
berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak Tuhan itu telah
didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei. Rakyat telah menunjukkan harapan,
kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu sehingga Jokowi jadi
presiden.
Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu dikecewakan,
baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilu sikapnya
sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji
angin surga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar