Nafsu
untuk Menghukum
Geger Riyanto ; Esais,
bergiat di Koperasi Riset Purusha
|
KORAN
TEMPO, 11 Februari 2015
Slahi diikat dan ditutup matanya. Ia tak tahu dirinya
berada di mana. Ia bahkan tak tahu apa yang sudah dilakukannya yang menyebabkan
ia disekap seperti ini. Di hadapannya, berdiri dua sosok penyidik. Ia bisa
merasakannya.
"Apa yang telah kamu lakukan?" tanya satu dari
mereka. "Aku tidak melakukan apa-apa!" jawab Slahi spontan. Para
penyidik kontan tertawa. "Oh, luar biasa! Kau tak melakukan apa-apa,
tapi kau ada di sini!" ujar seorang penyidik. Slahi, yang sebelumnya
gamang, kini membatin geram. "Jadi, aku harus mengakui kejahatan apa
supaya aku bisa dituduh bersalah?"
Satu cuplikan dari cerita Slahi ini mungkin mengingatkan
orang pada novel absurd berjudul The Trial. Josef K., seorang bankir, dalam
cerita gubahan Kafka tersebut, serta-merta saja ditangkap oleh dua agen. Ia
ditangkap atas kejahatan yang tak pernah diketahuinya sampai pada ujung
kisah. Setahun setelah diombang-ambing dalam proses peradilan yang tak jelas,
K dijemput oleh dua agen yang sama. Setelah menggiringnya ke sebidang tanah
galian, kedua agen tersebut hendak membunuhnya. K, tak tahan dengan apa yang
dialaminya, pasrah mempersilakan mereka.
Sayangnya, kisah Slahi bukanlah fiksi. Slahi adalah
seorang insinyur dan pakar telekomunikasi yang tinggal di Mauritania. Suatu
hari, 13 tahun yang lalu, pada usianya yang ke-30 tahun-persis dengan Josef
K.-Slahi didatangi dua petugas badan intelijen negaranya. Yang Slahi ketahui
selanjutnya, ia sudah berada di penjara yang terisolasi dari dunia luar. Ia
tak tahu dirinya berada di mana.
Slahi dituduh terlibat dalam terorisme. Para penyidik yang
mencecar dan menyiksanya, lucunya, tak tahu kejahatan apa yang ia lakukan. "Kau Arab, kau muda, kau berjihad,
kau berbicara dalam berbagai bahasa, kau bepergian ke negara-negara, kau
lulusan ilmu teknik." Hanya ini yang mereka ketahui, dan dakwaan
terhadap Slahi merupakan yang terburuk dari 15 orang terburuk di Guantanamo.
Sayangnya lagi, kisah Slahi-kini terbit dalam buku
Guantanamo Diary-bukanlah kisah yang terlalu jauh dari kita. Ia lebih nyata
dan lebih dekat daripada yang kita bayangkan: ia terjadi dan akan senantiasa
terjadi selama segelintir kelompok punya kekuasaan tak terbatas untuk
mengabulkan prasangkanya menjadi kenyataan, menyulap satu pihak menjadi
bersalah hanya dengan menunjuknya bersalah. Terasa tidak asing? Tentu saja.
Sejak memiliki otoritas penegak hukum, agaknya tak
berlebihan jika dikatakan sejarah Indonesia merupakan sejarah yang rawan
terhadap situasi semacam itu. Hukuman datang jauh mendahului ditemukannya
kesalahan pihak tertuduh. Kita bisa menyebut contohnya satu demi satu. Namun,
kita sendiri tahu bahwa daftarnya akan terlalu panjang, yang dimulai dengan
jutaan orang yang dihukum serta dihilangkan masa depannya dengan stempel
eks-tapol atau keluarga eks-tapol.
Dus, mungkin hiruk-pikuk yang berlangsung saat ini tak
lebih dari sebuah kewajaran: noda sepele dalam lintasan sejarah panjang satu
negeri yang tak pernah menyaring urusan hukum dari urusan kekuasaannya. Dan,
mungkin, saat menyebutnya sebagai kekeliruan sejarah, kita yang keliru. Kita
yang terlalu keras berusaha untuk sok beradab, kendati kenyataannya, apakah
toh yang memotivasi hukum kalau bukan nafsu untuk menghukum? Apakah yang
memotivasi kekuasaan kalau bukan nafsu untuk berkuasa? Ah! ●
|
Satu cuplikan dari cerita Slahi ini mungkin mengingatkan orang pada novel absurd berjudul The Trial
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia